Muhammadiyah baru saja menggelar resepsi Hari Lahir Persyarikatan pada 18 November lalu. Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah telah berkiprah 109 tahun di Indonesia sebagai salah satu ormas Islam arus utama terbesar.

Kiprahnya membentang dalam berbagai aspek kehidupan di tengah masyarakat Indonesia. Mulai dari keagamaan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini penulis mengulas kiprah Muhammadiyah dalam bidang keagamaan, khususnya kontribusinya dalam membumikan nilai-nilai Al-Qur’an di tengah masyarakat Indonesia.

Dalam merespons perkembangan zaman, Muhammadiyah membentuk majelis yang bergerak di bidang keagamaan, yaitu Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam korpus keagamaan yang lebih khusus, Muhammadiyah mulai mengembangkan pemahaman terhadap Al-Qur’an dengan mengadakan kajian tafsir sebagai upaya untuk mendapatkan keterangan yang jelas dari Al-Qur’an (Rohmansyah, 2018). Sebagaimana dijelaskan Manna’ al-Qattan, Al-Qur’an bersifat mujmal (global) sehingga perlu penafsiran secara tafshil (terperinci).

Muhammadiyah sendiri sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber kepada Al-Qur’an dan sunah, atas kesadaran kolektif perlu memberikan pemahaman tafsir yang rinci dengan mengungkap pesan-pesan Al-Qur’an guna sebagai tuntunan keagamaan bagi warganya maupun dalam rangka menjalankan dakwahnya secara keseluruhan, di samping juga sebagai kontribusi dalam pengembangan peradaban Indonesia dan pembinaan karakter bangsa.

Meneropong Muhammadiyah dengan gerakan tajdid-nya dalam hal pemikiran keagamaannya tidak dapat dipisahkan dari salah satu ciri yang cukup menonjol, yaitu tradisi “kritis” dalam pemaknaan dan penafsiran terhadap Al-Qur’an. Aly Aulia (2014) dalam hal ini menegaskan bahwa Muhammadiyah dengan sendirinya mampu mempertanyakan ulang bagaimana sesungguhnya pertautan antara “teks” dan “realitas” atau dalam bahasa Amin Abdullah antara “normativitas” Al-Qur’an dan Sunnah dan “historisitas”.

Proses penafsiran Al-Qur’an dalam tubuh Muhammadiyah sendiri mengalami perkembangan yang dinamis. Muhammadiyah dalam upayanya memberi pemahaman Al-Qur’an turut ambil bagian dalam memproduksi tafsir Al-Qur’an. Di antaranya pada tahun 1932, Syarikat Kweek School Muhammadiyah mengarang tafsir dengan judul “Al-Qur’an Indonesia”. Iskandar Idris pada tahun 1934 menulis “Tafsir Hibarna”, “Tafsir Asy-Syamsiyah” oleh KH. Sanusi, kemudian pada tahun 1938 lahir karya tafsir “Tarjamat al-Qur’an al-Karim” oleh Mahmud Yunus (Usman, 2014).

Selanjutnya pada tahun 1960-an muncul karya tafsir utuh 30 juz, yaitu “Tafsir Al-Azhar” karya Prof. Dr. HAMKA yang pernah menjabat sebagai anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1953 sampai tahun 1971 dan “Tafsir Al-Bayan” karya Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang pernah menduduki posisi sebagai Consoel (Ketua PW) Muhammadiyah Aceh (Aly Aulia, 2014).

Pada periode kedua abad ke-20, tepatnya pada tahun 1970-an sampai 1980-an lahir tafsir yang mengemuka di kalangan Muhammadiyah, yaitu “Tafsir Sinar” yang disusun secara tartib al-nuzul Al-Qur’an karya H. Abdul Malik Ahmad, seorang anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1970-an (Aly Aulia, 2014).

Sepanjang sejarah penafsiran dalam Muhammadiyah, karya tafsir yang lahir dominan adalah karya individual. Meskipun secara pribadi penulis-penulis tafsir tersebut adalah berafiliasi ke Muhammadiyah secara pemikiran dan ideologi, tetap saja sebuah karya tafsir merupakan representasi dari penulisnya yang dipengaruhi oleh pandangan di luar Muhammadiyah.

Hingga akhirnya pada tahun 1990-an Muhammadiyah secara resmi mengeluarkan tafsir kolektif dalam bentuk tafsir maudhu’i, yaitu “Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama” (Syarif Hidayatullah, 2010).

Adapun kemunculan tafsir ini dianggap sebagai sebuah gebrakan bagi tradisi penafsiran di Muhammadiyah, yang awalnya ditulis secara individual dan dengan metode tahlili, serta dinilai kaku dan konservatif karena terkesan hanya peduli dengan ideologinya dan acuh dengan perubahan sosial.

Melalui “Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama”, Muhammadiyah menggeser metode penulisan tafsir dan anggapan yang disematkan pada organisasinya. Tidak hanya itu, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyusun “Tafsir at-Tanwir” pada Juli 2015.

Kemunculan tafsir ini seakan mengisyaratkan ada hembusan angin penyegaran baru dalam tubuh Muhammadiyah. Pasalnya, tafsir-tafsir perintis sebelumnya yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dianggap tidak mampu memberi sumbangsih banyak. Khususnya terhadap perkembangan zaman dan persoalan umat.

Begitu juga dengan “Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama” yang menimbulkan kontroversi di kalangan Muhammadiyah. Hingga Komisi Munas V Tarjih XXV 5-7 Juli 2000 mendesak PP Muhammadiyah Majelis Tarjih membatasi peredarannya.

Leave a Response