Gebrakan Muhammadiyah lainnya adalah “Tafsir at-Tanwir”, yang mana menampakkan karakteristik ideologinya yang sudah dikonstruk sejak awal berdiri. “Tafsir at-Tanwir” digadang-gadang selesai dalam waktu kurang lebih 50 tahun. Lahirnya “Tafsir at-Tanwir”, menurut Yunahar Ilyas sebagaimana dikutip Indal Abror sebagai pengenalan PP Muhammadiyah akan tafsir Al-Qur’an Indonesia yang khas dibandingkan tafsir-tafsir terdahulu.

Secara substansial, proyek tafsir ini diharapkan dapat membangun etos ilmiah dan ekonomi, bersama dengan etos ibadah, iman dan mu’amalah untuk menyeimbangkan tuntutan kehidupan duniawi dan akhirat (Indal Abror dan M. Nurdin Zuhdi, 2018). Adapun penggunaan “At-Tanwir” sebagai judul mencerminkan filosofi gerakan Muhammadiyah, yaitu pencerahan (at-tanwir).

Indal Abror dalam artikelnya mengatakan cukuplah bahwa “Tafsir at-Tanwir” adalah representasi dari penafsiran progresif terhadap Al-Qur’an yang diharapkan memberikan jawaban atas permasalah kontemporer umat Islam. Menariknya, “Tafsir at-Tanwir” ini bukan penafsiran yang cenderung mengulang hasil penafsiran-penafsiran sebelumnya, dalam hal ini Muhammadiyah memperlihatkan pemikiran tajdid-nya guna memberikan kontribusi baru dalam masalah masyarakat kontemporer yang ditandai dengan kontekstualisasi ayat.

Indal Abror juga menambahkan, “Tafsir at-Tanwir” bukan hanya kumpulan kutipan dari penafsiran yang sudah ada sebelumnya. Bagi PP Muhammadiyah menyusun tafsir bukan sekadar mengutip kitab-kitab tafsir, tetapi bagaimana ijtihad juga “bermain” dan harus mampu responsif dengan fenomena terkini.

Secara metodologi, “Tafsir at-Tanwir” ditulis dengan pendekatan kontekstual. Hal ini terwujud dikarenakan tafsir kolektif ini disusun oleh para intelektual dan akademisi Muhammadiyah. Sebagaimana disebutkan dalam artikel Arivaie Rahman bahwa separuh dari penulis “Tafsir at-Tanwir” telah bergelar professor.

Adapun presentasenya 50% Profesor, 29% Doktor dan 21% Magister (Arivae Rahman dan Sri Erdawati, 2019). Sementara secara metode “Tafsir at-Tanwir” ditulis dengan metode tahlili dengan tartib mushafi yang dikelompokkan menurut tema tertentu. Inilah yang menjadi keunikan “Tafsir at-Tanwir” yang membedakan dengan tafsir konvensional, sebagaimana Muhammad Amin menyebutnya dengan tahllili-metode tematik.

Sebagaimana tafsir yang disusun kolektif oleh akademisi, “Tafsir at-Tanwir” memperlihatkan sisi ilmiahnya, yaitu pertama, menggunakan kaidah-kaidah tafsir dan ulum al-Qur’an, kedua, menafsirkan dengan pendekatan kebahasaan, misalnya ketika menafsirkan kata al-rahman dan al-rahim, “Tafsir at-Tanwir” merujuk kepada pakar mufradat Al-Qur’an, di antaranya Raghib al-As}fahani.

Ketiga, “Tafsir at-Tanwir” juga sangat memperhatikan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, meskipun metode ini cenderung klasik namun memiliki kedudukan utama, sebagaimana ketika menafsirkan kata al-rahman dan al-rahim, Muhammadiyah mengutip beberapa ayat, di antaranya Q.S. al-A’raf [7]: 156, Q.S. al-Qasas [28]: 86, Q.S. al-Dukhan [44]: 6 dan Q.S. al-Anbiya [21]: 107.

Adapun ayat-ayat yang dikutip tersebut memiliki kandungan kata al-rahman. Keempat, menafsirkan dengan pendekatan filosofis. Misalnya dalam menafsirkan kata “rabb” merujuk pada tokoh filsuf Muslim, al-Kindi dan Peter Adamson.

Kelima, menafsirkan dengan pendekatan sains. Berdasarkan analisis Arivaei Rahman nuansa sains lebih kental dalam “Tafsir At-Tanwir”. Ayat Al-Qur’an kebanyakan dijelaskan melalui sudut pandang ilmu pengetahuan: biologi, fisika, astronomi dan lainnya. Bahkan tafsir “Tafsir At-Tanwir” membantah teori evolusi dengan sederet ayat-ayat Al-Qur’an (Rahman dan Erdawati).

Keenam, menafsirkan dengan hadis. Meskipun kedudukan hadis sebagai penafsir Al-Qur’an menempati posisi teratas dalam metode penafsirkan klasik, namun hal ini tidak begitu diperhatikan dalam “Tafsir At-Tanwir”. Dalam tafsirnya hadis kurang mendapat perhatian istimewa. Ditemukan dua hadis riwayat al-Bukhari yang dijadikan sebagai landasan menyatakan keutamaan dan hukum membaca surat al-Fatihah. Selebihnya tidak terlalu masif di setiap penafsiran.

Ketujuh, menafsirkan dengan qira’at. Dalam “Tafsir At-Tanwir” dijumpai menafsirkan ayat “maliki yaum al-din” dalam QS. Al-Fatihah. Huruf ‘mim’ pada kata ‘malik’, berdasarkan penjelasan Muhammadiyah yang mengutip dari penjelasan Ibn Kasir dapat dibaca panjang dan dibaca pendek.

Ketujuh, menafsirkan Al-Qur’an tidak keluar dari koridor Muhammadiyah, seperti ketika menekankan trilogi tauhid yang dianut Muhammadiyah, Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah dan Tauhid Uluhiyah.

tafsir at tanwir muhammadiyah

Tafsir At-Tanwir (Sumber: suaramuhammadiyah.id)

Sebagai tafsir yang muncul di era kontemporer, maka dapat dilihat bahwa tafsir Muhammadiyah memiliki maraji’ (sumber) yang luas, baik dari tafsir-tafsir klasik sampai tafsir kontemporer. Mengutip mulai dari tafsir bi al-ma’sur yang ditulis oleh generasi awal hingga seterusnya hingga tafsir-tafsir bi al-ra’yi dari masa klasik sampai era kontemporer.

Adapun referensi yang dirujuk tidak terbatas pada karya bahasa Arab, namun juga merambah ke bahasa Indonesia dan Inggris. Yaitu karya berbahasa Arab sebanyak 14 karya, di antara karya-karya tersebut menggambarkan dominasi tafsir-tafsir yang ditulis oleh pemikir dan penggerak moderasi Islam di Timur-Tengah abad 20 M.

Tidak ketinggalan “Tafsir At-Tanwir” merujuk pada tafsir-tafsir produk Indonesia, seperti “Tafsir al-Azhar” karya Hamka. Tentu karena Hamka bervisi dan berideologi Muhammadiyah. Akan tetapi, yang tidak diperhatikan oleh tim penulis dan dapat dibilang dianak-tirikan adalah “Tafsir al-Nur” karya Hasbi al-Shiddieqy dan “Tafsir Sinar” karya Abdul Malik Ahmad.

Padahal jika melihat di kata pengantar “Tafsir At-Tanwir” kedua penulis tersebut disebut sebagai perintis tafsir Muhammadiyah.

Sementara untuk literatur berbahasa Inggris terdapat 17 karya, di antaranya Peter Scoot Adamson (lahir 1972) seorang filsuf dari Amerika; Peter L. Berger (w. 2017) seorang sosiolog; pakar kitab suci Maurice Bucaille (w. 1998), bahkan dari pakar medis dan kesehatan muncul nama Erminia Guarneri; penggagas Islamisasi ilmu, Ismail Raji al-Faruqi (w. 1986) dan lain-lain.

Selanjutnya karya berbahasa Indonesia yang dikutip di antaranya, Said Agil Husain al-Munawwar dan Abdul Halim, Nurkholis Majid, dan Quraish Shihab. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa Muhammadiyah memandang tafsir Al-Qur’an di era kontemporer ini bahwa tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk tidak hanya sekadar melakukan  pengulangan secara mentah atas tafsir-tafsir terdahulu, akan tetapi bagaimana teks Al-Qur’an yang statis dapat dibaca secara dinamis sesuai konteks zaman untuk dapat memberikan kontribusi baru dalam menjawab berbagai problem umat.

Di samping itu, sebagai produk tafsir perserikatan, “Tafsir At-Tanwir” masih mengadopsi dan berorientasi pemikiran ideologis Muhammadiyah. Tafsir ini mengutip “Himpunan Putusan Tarjih (2011)”, “Manhaj Gerakan Muhammadiyah (2009) dan “Tanya Jawab Agama (1998)” yang semuanya ditulis oleh tim PP Muhammadiyah.

Berdasarkan rujukan langsung ke tubuh Muhammadiyah tidak dapat disangkal lagi bahwa “Tafsir At-Tanwir” mengandung bias pemikiran ke-Muhammadiyah-an. Namun yang perlu digaris bawahi, bagi Muhammadiyah tafsir Al-Qur’an sebagaimana “Tafsir At-Tanwir” dapat membangkitkan dinamika. Artinya uraian tafsir tidak hanya menyajikan petunjuk-petunjuk kehidupan secara normatif, meskipun ini sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Tetapi juga memuat gagasan-gagasan dan pikiran baru dan orisinal.

Leave a Response