Judul Buku : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indoesia
Penerjemah : Amir Sutaarga
Cetakan : Keempat belas Maret 2019
Tebal :xxiv + 176 hlm; 11 x 17 cm
ISBN :978-602-433-438-3
Sejak lama perempuan masih belum mendapat kedudukan dengan layak. Budak lebih identik dengan mereka. Sedangkan lelaki berperan sebagai majikan sang budak. Majikan sang budak memiliki kemampuan untuk berbuat apapun kepada budaknya. Sebaliknya, sang budak hanya bisa diam dan menahan. Di sini melawan artinya bunuh diri.
Ketimpangan antara perempuan dan lelaki begitu terlihat di belahan bumi Jazirah Arab. Di mana novel apik ini lahir, Mesir. Novel gubahan Nawal el-Saadawi ini dapat menggambarkan sosioculture yang ada di lingkungannya. Karya sastra yang berlatarbelakang kejadian nyata memiliki nilai tersendiri. Otak kita dipaksa merekam setiap sudut dari semua peristiwa yang terjadi.
Bermula dari Nawal yang berprofesi sebagai dokter memiliki ketertarikan untuk meneliti tentang penyakit syaraf (neurosis). Sehingga waktu mempertemukannya dengan perempuan bernama Firdaus di sebuah penjara. Perempuan yang sedang menunggu hari pengeksekusiannya, karena dia telah membunuh seorang Germo. Nawal banyak bertanya dan mendengar Firdaus. Lahirnya buku “Perempuan Di Titik Nol” ini karena adanya Firdaus.
Nawal melukiskan Firdaus dengan sedemikian rupa. Memerankan sebagai perempuan Mesir yang tidak ada kebebasan sama sekali. Masa kecilnya penuh dengan kesengsaraan atas para lelaki di sekitarnya. Para lelaki kenyang namun perempuan menahan lapar. Tak peduli itu istri, anak, saudara perempuan semua akan lapar bila makanan hanya cukup si lelaki.
Mari kita intip kutipan berikut: “Ayah tak akan pergi tidur tanpa makan malam lebih dulu, apa pun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selalu memeperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja. Pada suatu malam saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah piringnya, tetapi ia memberi sebuah pukulan yang keras pada punggung dan jari-jari saya” hlm 26.
Cerita Firdaus secara perlahan mencekik leher kita hingga sesak nafas dibuatnya. Kehidupan yang berat dilaluinya dengan penuh perlawanan dan perjuangan. Firdaus telah terbiasa dengan ketidaknyamanan. Firdaus tak lagi percaya dengan semua orang khususnya para lelaki. Dia hanya percaya pada dirinya sendiri.
Kita lihat ketidakpercayaan Firdaus terhadap laki-laki, “saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para ayah, paman, suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi”. Hlm 167.
Hadirnya karya fenomenal dari Nawal yang sarat akan pesan perlawanan menambah khazanah literatur sastra berbau feminis. Dalam masyarakat Indonesia yang belum dapat meninggalkan budaya patriarkinya, Perempuan Di Titik Nol ikut andil dalam menyuarakan hak-hak perempuan yang belum sepenuhnya terpenuhi.
Pergulatan sastra feminis menarik kita pada dua nama besar di Indonesia, Ayu Utami dan Dee (Dewi Lestari) orangnya. Wiyatmi dalam buku garapannya berjudul Kritik Sastra Feminis 2016 menyatakan, Ayu Utami sebagai pelopor Novelis periode 2000-an dengan novel perdananya Saman.
Dari kalangan penulis laki-laki akhirnya kita temui Muhidin M. Dahlan dengan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Kita dikenalkan dengan Nidah Kirani, tokoh utama pemeran di lembaran itu. Nidah bukan perempuan seperti pada umumnya. Nidah adalah Firdaus di lain sisi.
Anatara keduanya memiliki kesamaan. Perempuan yang tak pernah dengan menolak tunduk pada situasi, adalah kesamaan mereka. Kita tahu Nidah yang patah hati dengan Tuhan, yang menurutnya telah mempermainkan hatinya. Di lain sisi, Firdaus telah banyak dilukai oleh laki-laki dan yang paling tak terlupakan adalah lelaki revolusioner Ibrahim.
Ibrahim yang mulanya memberi sedikit cahanya semangat hidup bagi Firdaus. Firdaus sedikit melihat yang berbeda dengan Ibrahim. Dia memiliki yang tak dimiliki lelaki lain. Firdaus pikir Ibrahim manaruh “cinta” padanya. Hal itu sempat membuat hidup Firdaus bersinar penuh cahaya. Namun tak lama, cahaya yang bersinar itu redup berganti hitam gelap pekat. Sebab, dia melihat Ibrahim bertunangan dengan perempuan lain. Perempuan yang sama sekali bukan dia.
“Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual.” Hlm 145.
Firdaus masih belum berakhir. Walau tak ada yang tahu bagaimana nasibnya. Setelah meninggalkan penjara tak ada lagi kabar tentang Firdaus. Nawal pun tak punya kabar tentangnya. Bak ditelan bumi. Tapi yang perlu diingat, suara-suara Firdaus akan selalu terdengar. Akan selalu bising bagi mereka yang pura-pura tuli. Salam untukmu Firdaus. Begitu kiranya.