Kesejarahan pengajaran pendidikan Islam secara kelisanan dan keaksaraan di Indonesia bermula dari genealogi sosial-pendidikan pesantren. Di masa kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan keilmuan agama (Islam) dan kebudayaan di Hindia-Belanda (Indonesia).

Di masa kolonial, pesantren juga menjadi ruang sekaligus institusi pendidikan di Indonesia yang bergerak dalam memberikan pembelajaran ilmu-ilmu keagamaan (Islam). Ilmu teologi keislaman tersebut senantiasa diajarkan di pesantren dengan cara kelisanan maupun keaksaraan sejak ratusan tahun silam lamanya. Hal itulah yang menjadikan pendidikan pesantren menjadi corak identitas yang melekat terhadap religiusitas masyarakat Indonesia.

Dari tinjauan sejarah, Karel A. Steenbrink pernah menulis buku berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (1994). Karel A. Steenbrink berhasil meneliti sistem pengajaran pendidikan Islam mulai abad ke-19 hingga pascakolonialisme di Indonesia.

Sejak masa kolonialisme, pesantren pernah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tidak memiliki konsistensi kuat terhadap pengembangan keilmuan dan sistem pendidikan (umum). Peristiwa itu dapat dilacak pada 1865, ketiaka J.A. van der Chijs seorang inspektur pendidikan pribumi, sering kali memberikan kritik sinis terhadap pendidikan pesantren dan pola tradisi pembelajarannya.

Kritikan itu berkaitan dengan kebijakan serta otoritas tradisi keilmuan di pesantren. J.A. van der Chijs menilai, bahwa pengajaran rutinitas membaca kitab suci Alquran, pengajian kitab kuning, pembelajaran ilmu tasawuf, hadis dan lain-lain hanya mengacu pada metode kelisanan dan keaksaraan. Namun, hal itu menyebabkan masyarakat pribumi kurang memahami makna dan arti yang disampaikan tanpa didasari otoritas individual.

Kritik tersebut dianggap wajar oleh para sarjana Indonesia seperti Mohammad Radja dan Achmad Djajadiningrat. Mereka adalah tokoh penggerak pendidikan pesantren awal abad ke-19 di Indonesia. Kontestasi penyebaran ilmu-ilmu agama dianggap wajar ketika selalu menuai kritik yang berlebihan antar kubu kolonial dan tokoh pergerakan.

Mafhum, di masa itu tokoh pergerakan dan tokoh kolonial memiliki misi menyebarkan ajaran yang berbeda. Dampak dari penyebaran agama tersebut membuat perkembangan pendidikan Islam sedikit mengalami hambatan ketika tidak adanya dukungan materiil dari pemerintah kolonial.

Meski tidak memperoleh dukungan secara materiil, perkembangan kebudayaan pesantren di masa itu tetap mampu memberikan kontribusi pembelajaran untuk kemaslahatan sosial. Hal ini dapat terjadi karena pendidikan Islam di pesantren memperoleh dukungan dari segi kehidupan sosial, kultur, politik, dan keagamaan orang-orang perdesaan di Indonesia.

Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya berjudul Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (2011), menjelaskan tentang kesejarahan pendidikan agama di pesantren adalah bentuk pengenalan sosial-budaya di Indonesia. Pengenalan itu dapat dicermati dari perilaku orang-orang pribumi dalam menjunjung sikap saling menghargai (toleransi).

Di dalam pendidikan pesantren memang tidak sekedar diajarkan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga ilmu sosial dan etika. Pergulatan keilmuan itu sering kali diajarkan oleh para kyai tatkala mengisahkan selipan cerita dalam pembelajaran ngaji sehari-hari.

Selain mengulas agama, sosial, politik, budaya, dan ekonomi di pesantren, Zamakhsyari Dhofier juga memberikan penjelasan terhadap paradigma pembaharuan sistem kurikulum pesantren. Pada pertengahan abad ke-20, pendidikan Islam di pesantren mengalami modernisasi secara komunal yang digagas oleh Wahid Hasyim. Pada masa Orde Lama, Wahid Hasyim resmi dipercaya oleh Soekarno untuk menjadi Menteri Agama pertama di Indonesia.

Setelah memperoleh kepercayaan itu, Wahid Hasyim lantas membentuk berbagai lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama. Lembaga itu didirikan untuk mengembangkan modernisasi pendidikan Islam di pesantren dan memberikan wawasan keindonesaan lewat perkembangan pendidikan Islam (PTIN dan UIN).

Wahid Hasyim memang merupakan pemikir, perumus, serta pelaku sejarah Indonesia modern abad ke-20. Gagasan masuknya kurikulum pendidikan umum (Barat) tidak hanya terjadi di kalangan internal pesantren, tetapi juga turut memasuki lingkup eksternal bagi perguruan tinggi Islam.

Gagasan memadukan ilmu-ilmu agama dan umum ini yang semestinya perlu dikembangkan sebagai kajian pemikiran Islam kontemporer untuk menciptakan perdamaian. Namun, seiring perubahan sosial-budaya yang terjadi, para ulama orodoks menganggap konsep modernisasi pendidikan Islam  dianggap menyimpang hingga menjadi perdebatan di kalangan internal umat muslim.

Mafhum, sejak era reformasi mulai muncul berbagai sempalan gerakan muslim ortodoks yang menyebabkan merebaknya tindakan intoleransi. Sempalan muslim ortodoksi ini sering kali menyuarakan dakwah untuk mengembalikan Islam secara murni. Pemahaman keagamaan ortodoks ini dianggap memiliki kebenaran secara universal demi menunjukan identitas kesalehan. Sempalan Muslim ortodoksi sering luput untuk mempelajari ilmu antropologi, bahwa kehadiran Islam di Indonesia terjadi akibat pertukaran sosial-kebudayaan.

Berpikir Islam secara tekstual inilah yang pernah dinasehati Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017). Gus Dus selalu mengingatkan kita untuk senantiasa merasionalisasikan pemahaman ilmu-ilmu  agama yang telah kita terima. Baik itu lewat pengajian, seminar, media sosial dan lain-lain. Jangan sampai kita menjustifikasi kebenaran keagamaan yang paling kita yakini namun sering kali melukai dan menyakiti (mengkafirkan).

Tindakan tersebut seolah berasumsi bahwa pemikiran teosentris akan jauh lebih penting ketimbang berpikir Islam secara antroposentris. Pemahaman ortodoksi inilah yang menjadi penyebab konflik internal di kalangan umat Muslim tatkala minimnya dialog yang terjadi.

Semestinya orang-orang yang memiliki pemahaman ortodoksi tersebut perlu banyak belajar tentang kesejarahan pendidikan Islam di Indonesia. Ratusan tahun yang lalu, pendidikan Islam di pesantren tetap berhasil menumbuhkan sikap toleransi. Keberhasilan itu tidak lepas dari metode sistem dakwah Islam secara keaksaraan dan kelisanan secara otoritatif keilmuan.

 

Leave a Response