Hijrah telah menjadi topik wacana yang didengungkan beberapa kali oleh intelektual. Keunikan dan kharismanya yang mempengaruhi kawula muda memberi ruang inspirasi kajian hijrah untuk terus didalami. Meskipun demikian, fenomena ini telah disinggung beberapa kali dalam tulisan-tulisan yang lalu, penulis rasa masih ada sesuatu yang baru untuk meminimalisir kemandegan berpikir.

Hijrah(isme) memberi jejak hidup berupa terbentuknya manusia beragama yang memprioritaskan eskatologis. Mau bagaimanapun kognitifnya, afektifnya bahkan psikomotoriknya, dalam kajian hijrah, yang diprioritaskan ialah perihal janji-janji Tuhan dan perihal eskatologis lainnya.

Sasaranya ialah para kawula muda yang belum terkena ajaran agama pesantren; khususnya pesantren tradisionalis, fenomena ini menjadi salah satu ‘tren’; incaran dalam menyebarluaskan doktrin. Hal ini dikarenakan belum ada dogma kajian agama kritis; baik melalui kitab maupun melalui ustaz. Sehingga, sangat mudah sekali terkena doktrin hijrah(isme), mengingat yang diprioritaskan ihwal eskatologis positif.

Pengikut gerakan hijrah umumnya telah didoktrin berbagai ambisi keberagamaan. Umumnya, kader-kader baru yang menjadi sasaran ialah mereka yang lemah atau bimbang dalam beragama. Tentunya dalam beragama masih lemah daya pikirnya. Sehingga, sangat mendukung untuk menerima doktrinnya dan mudah dalam menambah kader hijrah(isme).

Selain itu, individu yang baru menjadi kader hijrah, akan terus-menerus diberikan stimulus eskatologis oleh para ustaz. Alhasil, memberikan dampak kemandegan berpikir yang cukup membahayakan bagi individu dan menjadikan ustaz sebagai dewa yang mahabenar; seakan-akan tidak mungkin salah.

Setelah diberikan stimulus oleh ustaz langsung, individu juga memiliki peluang untuk memasuki hijrah(isme) melalui teman pergaulan. Artinya, lingkungan ikut serta membentuk individu menjadi kader sesuai yang diharapkan temannya. Biasanya, pengaruh teman pergaulan menjadi salah satu kontribusi besar membludaknya hijrah(isme).

Untuk itu, salah satu sumber meluasnya gerakan hijrah dan membludaknya pengikutnya ialah karena terdapat peluang dan ruang untuk mereka mengenalkan hijrah kepada siapa pun. Sehingga, dari lingkungan pergaulan mikro kemudian menjalar ranah ruang makro; yakni kajian bersama ustaz sangat menjamin menjadi sebab membludaknya pengikut hijrah(isme).

Dalam hijrah(isme) ada satu poin yang menjadi sumber permasalahan yang berkembang dan bercabang menjadi banyak problem yakni kemandegan berfikir dalam beragama. Kemandegan berfikir dalam hijrah seperti menjadi tolak ukur atas suksesnya kajian (dogma) hijrah dengan mudah; meluasnya dogma hijrah dalam pemahaman individu baru sebagai kader dalam hijrah(isme).

Para hijrah(isme) tidak memandang kalangan kadernya dan bagaimana latar belakang sosial budayanya. Akademisi pun (idealnya; kritis) memiliki peluang besar terkena virus hijrah taklid ini, jika tidak dapat mengaktualisasikan nalarnya. Bagi gerakan hijrah, yang terpenting ialah tersampainya dogma berupa kemanusiaan dan kebermanfaatan diselubungi transaksi kepada Tuhan, tanpa melihat kader barunya.

Fenomena hijrah memuat berbagai simpang siur informasi. Namun, dari berbagai versi, lazimnya hijrah dikaitkan dengan transaksional kepada Tuhan. Tuhan digambarkan seperti orang tua, sedangkan anaknya ialah manusia. Tuhan seakan mengasihi makhluk karena sebab permintaan (perbaikan diri lahiriah). Atau perbaikan diri dilakukan untuk bertransaksi pada Tuhan.

Persoalan ini menjadi rumit, ketika yang mereduksi dan mengelola tidak cukup kritis dalam berteolog. Hal tersebut menjadi lazim, karena sebagian kelompok memandang teologi rumit dan tidak mengasyikan. Akhirnya, dilalaikan pentingnya tauhid dalam Islam dan kemudian merambah wilayah Islam amaliyah.

Islam amaliyah dengan janji-janji eskatokogis yang dipaparkan (umumnya) ustaz, memberi kontribusi besar akan kemandegan berfikir. Didukung lagi oleh, minimnya kesadaran berfikir dan literasi dewasa kini untuk mendialektikan problema keberagamaan secara apik, ilmiah dan objektif.

Hal-hal tersebut menjadi landasan mudahnya paham ini menyebar dan pesat. Kemandegan berfikir seakan menjadi jurus jitu yang harus diprioritaskan dalam pemahaman beragama individu. Rangsangan-rangsangan dogma yang irasional berdampak pada lahirnya generasi taklid yang membludak.

Taklid merupakan problem yang aktual sampai detik ini. Manusia beragama seperti kehilangan jati diri atas esensinya sebagai makhluk berfikir. Anjuran-anjuran Tuhan kepada manusia untuk menemukan-Nya dalam setiap perbuatan diluluhlantakkan dengan dogma; seakan berfikir berbeda menjadi problem besar dalam fenomena hijrah(isme).

Islam merupakan agama ilmiah, kebertuhanan dalam Islam bisa digali dengan pemaksimalan berfikir. Ketaklidan yang berlebih akan menimbulkan berbagai macam problem, konflik bahkan kerugian sosial. Hal ini tidak sesuai dengan asas Islam sebagai rahmat.

Berpikir menjadi modal utama beragama seorang manusia. Dalam berpikir, seorang manusia seharusnya mendudukan ihwal Tuhan menjadi objek prioritas dalam berpikir. Segala apapun kegiatan dalam aktivitas kehidupan idealnya ditujukan kepada Tuhan, termasuk perbaikan diri dan lain-lain.

Fenomena hijrah(isme) dengan dampak negatif yang cukup berpengaruh pada wajah Islam melalui subjektivitas generasi, terkhusus dalam kegiatan berfikir dan berdialektika ihwal ketuhanan, menjadi bukti bahwa ketaklidan adalah suatu hal yang dianggap luar biasa. Seakan-akan ketaklidan adalah suatu pencapaian atas keberagamaan.

Miris dan ironis, wajah beragama seperti demikian. Di mana mencari pasangan yang baik menjadi tujuan atas perubahan cara bicara, sikap dan berbusana. Di mana mencari surga dan pahala menjadi tujuan prioritas atas segala rutinitas keberagamaan yang diikuti. Tuhan seakan seperti makelar.

Idealnya, berhijrah diawali dengan menata dengan baik konsep nalar. Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa hijrah itu sesuatu yang baik. Mengubah tatatanan keburukan menjadi kebaikan bukanlah hal sulit bagi hijrah(isme).

Problem hijrah(isme) dalam tulisan ini merujuk pada kondisi berfikir dalam memahami agama dan Tuhan. Segala perbuatan dan kesadaran perubahan tidak ditujukan pada Tuhan, melainkan selainnya. Hal ini menjadi oroblem besar ketika merambah wilayah keyakinan.

Memprioritaskan berpikir dalam berhijrah bukanlah suatu permasalahan. Objektif dalam beragama untuk memperkuat pemahaman sangatlah penting. Lebih-lebih hasil objektif dalam beragama memberi stimulus baik pada subjektivitas individu dalam beragama. Sehingga, tecipta individu yang berhijrah dengan logis, akademis dan moderat.

Dari sini, dapat diambil hikmah. Bahwa sebagai manusia yang diberi fitrah berpikir, sudah idealnya memfungsikannya untuk memperkuat keyakinan. Berfikir menjadi modal penting beragama, terkhusus dalam memahami agama sebagai suatu ajaran dan suatu ilmu. Terlebih, mendudukan kuasa Tuhan (penuh) dalam pikiran.

Leave a Response