Menjadi seorang pemimpin di negara berpenduduk mayoritas muslim bukan perkara mudah. Hal ini dikarenakan kontruksi sosial dan budaya masyarakat yang masih menganggap perempuan berada di bawah bayang laki-laki. Mereka tidak pantas untuk berpartisipasi di bidang publik. Namun, Benazir Bhutto berhasil mendobrak tradisi yang berkembang di masyarakat. Ia berhasil menjadi Perdana Menteri perempuan pertama di Pakistan yang dikenal konservatif.

Benazir Bhutto lahir pada 21 Juni 1953 di Karachi, Pakistan. Ia merupakan putri dari Zulfikar Ali Bhutto, mantan Perdana Menteri Pakistan yang digulingkan dalam kudeta militer pimpinan Jenderal Mohammad Zia ul-Haq. Ia telah dituduh atas pembunuhan lawan-lawan politiknya walaupun tak pernah terbukti. Penggulingan tersebut berakhir dengan eksekusi yang dilakukan pada tahun 1979.

Status sosial yang dimiliki oleh Benazir Bhutto membuat dirinya memiliki akses pendidikan yang berkualitas. Dari tingkat dasar sampai menengah, ia belajar di sekolah berbahasa Inggris. Hal ini memberikan jalan mulus kepadanya untuk melanjutkan jenjang sarjananya di Universitas Harvard di bidang ilmu politik. Tak puas, ia melanjutkan studinya di Universitas Oxford untuk magister di bidang yang sama.

Selepas eksekusi ayahnya, Benazir Bhutto memantapkan diri untuk terjun ke dunia politik. Ia menuntut keadilan dan memprotes pemerintahan presiden Zia ul-Haq. Karena ini pula, ia menjalani tahanan rumah. Dalam situasi politik yang kurang kondusif, ia diasingkan ke Inggris pada 1984. Di pengasingan ini, ia memotori gerakan politik dengan memimpin Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang didirikan ayahnya.

Peran politiknya tidak terlalu berpengaruh sampai presiden Zia ul-Haq meninggal pada tahun 1988. Pada masa transisi kekuasaan tersebut, Benazir Bhutto kembali ke Pakistan dan ikut bertarung dalam pemilu langsung di sana. Tak disangka, partainya menjadi pemenang dan sekaligus mengantarkan Benazir menduduki kursi Perdana Menteri Pakistan. Di usia yang baru mencapai 35 tahun, ia menjadi perempuan pertama yang memimpin pemerintahan di sebuah negara muslim.

Statusnya sebagai seorang perempuan telah menimbulkan perlawanan dari kaum konservatif terhadap kepemimpinannya. Ada banyak usaha yang telah dicoba untuk menjatuhkan pemerintahannya. Hingga akhirnya tahun 1990, di masa jabatannya yang baru berjalan dua tahun, Benazir Bhutto harus menanggalkan jabatannya atas tuduhan korupsi. Pemberhentian ini dipimpin langsung oleh presiden Ghulam Ishaq Khan.

Keadaan tersebut berdampak pada pemilu selanjutnya di mana Benazir dan partainya mengalami kekalahan. Pada titik itu, ia menjadi oposisi pemerintah hingga diadakan pemilu lagi tahun 1993. Di tahun tersebut, ia berhasil merebut kembali kemenangan dan diangkat menjadi Perdana Menteri untuk kedua kalinya.

Akan tetapi, badai nampaknya belum berlalu dalam karir politiknya. Setelah tiga tahun menjabat, tepatnya tahun 1996, Benazir Bhutto diberhentikan dari posisinya sebagai PM oleh presiden Farooq Leghari. Alasannya masih sama yakni tuduhan korupsi dan ketidakmampuan menjalankan pemerintahan dengan baik. Ia dianggap gagal menentukan arah kebijakan untuk negara.

Untuk pemberhentian yang kedua ini, tuduhan korupsi tidak hanya menyeret Benazir, tetapi juga suaminya, Asif Ali Zardari. Bahkan, suaminya harus mendekam di penjara selama 8 tahun. Sementara, ia bersama ibu dan anaknya menjalani pengasingan kedua kalinya di London dan Dubai.

Setelah suaminya bebas, Benazir Bhutto berniat untuk kembali ke Pakistan dan mencalonkan diri pada pemilu selanjutnya yang akan diselenggarakan tahun 2008. Setahun  sebelumnya, ia pulang ke negaranya untuk mulai berkampanye. Rupanya, naas menghampiri. Sebuah bom meledak di dekat rombongan yang membawanya ketika ia akan menghadiri pertemuan. Beruntung, kali ini ia masih selamat walaupun mengalami luka-luka.

Nampaknya, ada pihak yang bersikeras menginginkan Benazir Bhutto mati. Dua bulan setelah bom pertama, pada 27 Desember 2007, ia ditembak oleh seorang pemuda berusia 15 tahun yang bernama Bilal. Setelah melancarkan aksinya, pelaku langsung melakukan bom bunuh diri. Peristiwa tersebut terjadi setelah Bhutto melangsungkan kampanye di Rawalpindi. Kali ini, nyawanya tidak terselamatkan.

Sesaat setelah kematiannya, pihak Taliban mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Mereka telah mendoktrin dan memerintahkan Bilal untuk mengeksekusi Benazir Bhutto. Alasannya adalah mereka berkeyakinan bahwa perempuan haram hukumnya untuk menjadi pemimpin negara. Karena Bhutto bersikeras, maka membunuhnya menurut mereka adalah jalan satu-satunya.

Benazir Bhutto adalah korban dari teologi kekerasan yang bersumber dari pemahaman keliru terhadap teks keagamaan. Tak dipungkiri, perempuan masih dianggap tabu untuk berpartisipasi dalam bidang publik, terlebih memimpin suatu negara oleh sebagian kelompok. Keberaniannya untuk terjun ke dunia politik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan harus dibayar dengan nyawanya. Ia adalah simbol perlawanan bagi kaum perempuan.

 

Sumber:

Mashad, Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996.

Ali, Zainal, Tragedi Benazir Bhutto, Yogyakarta: Narasi, 2008.

 

Leave a Response