Perdebatan tentang status Al-Qur’an sebenarnya bukan perdebatan baru. Persoalan ini tidak jarang menyita perhatian para ulama terdahulu, sehingga kerap memunculkan pertanyaan di antara mereka, apakah Al-Qur’an kalam (firman) Allah yang tidak diciptakan (ghairu makhlūq) atau kalam Allah yang diciptakan (makhlūq) yang sama dengan bahasa manusia?

Perdebatan tentang ini dapat kita lacak ke belakang hingga abad ke-2 H/8 M. Pada masa ini pandangan tentang kebaharuan Al-Qur’an dimotori oleh “madzhab Muktazilah”. Ideologi ini merupakan doktrin resmi negara pada masa pemerintahan khalifah al-Makmun (memerintah selama 817-833M).

Al-Makmun memaksakan doktrin tersebut dan menghukum siapapun yang menentangnya. Namun, beberapa dekade berikutnya khalifah Abbasiyah lain yaitu al-Mutawakkil (periode 847-861 M) mengubah kebijakan itu. Ia mendapatkan dukungan dari ulama tradisional seperti Ahmad bin Hanbal (w. 855 M) untuk menghapuskan posisi doktrinal pada masa al-Makmun (Mun’im Sirry, 2015: 14-15).

Untuk lebih jelasnya penulis akan memetakan berbagai pendapat ulama terkait problematika keazalian atau kebaharuan Al-Qur’an. Pada hakikatnya pembahasan masalah ini masuk dalam ranah teologis. Secara umum pendapat para teolog terbagi menjadi tiga kelompok (Aksin Wijaya, 2009 59-63):

Pendapat ini dimotori oleh kalangan Muktazilah. Tujuan dari pendapat mereka adalah untuk mentransendensikan Tuhan sebagai dzat yang suci yang tidak memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya. Dia-lah tuhan yang maha esa baik dari segi sifat-sifat dan dzat-Nya.

Dengan prinsip itulah Muktazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan yang qadīm (lama, tidak ada awalannya), sebab kalau begitu berarti ada yang qadīm selain dzat Tuhan. Sifat qadīm adalah simbol yang tidak bisa dimiliki kecuali Allah. Ketika ada entitas lain yang bersifat qadīm, maka akan terjadi pluralitas qadīm, dalam bahasa Muktazilah yakni ta’adudul qudamā’ muhālun (banyaknya qadīm itu mustahil).

Menurut al-Jabbar, firman Allah termasuk jenis kalam ma’qūl dalam alam shahīd (alam yang disaksikan, lawan dari alam ghaib). Sedangkan kalam-Nya berupa rangkaian huruf dan suara yang diciptakan Allah pada jism dengan mekanisme tertentu agar dapat didengar dan dipahami maknanya. Dalam artian, firman tersebut merupakan produk material yang bermakna eksistensi al-Qur’an yang terikat dengan ruang dan waktu (Awal Muqsith, 2017: 102).

Adapun tujuan kalam dan wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi-Nya agar menjadi petunjuk dan ilmu atas kenabian. Hal ini jua sekaligus menjadi dalil bagi umat manusia akan suatu yang halal dan yang haram.

Secara tidak langsung al-Jabbar beranggapan bahwa Al-Qur’an merupakan bagian dari nikmat-Nya, makhluk-Nya, dan bukanlah sifat-Nya. Sebagai nikmat-Nya Al-Qur’an memiliki sifat baharu, maka kata-katanya yang berurutan dan suatu yang berurutan tidaklah qadīm.

Konsekuensi logis dari pendapat di atas, membuat Al-Qur’an ditempatkan di bawah atau setara dengan akal. Sedangkan untuk memahami Al-Qur’an tidak boleh dalam konteks yang bertentangan dengan akal. Alhasil, dalam hal ini Al-Qur’an dituntut untuk menyesuaikan dengan akal. Namun, jika terdapat pertentangan antara keduanya, maka akal harus diutamakan.

Pendapat ini dimotori oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Konon ia mengemukakan pendapatnya dengan mengacu pada pendapat tokoh madzhab Imam Hanbali.

Imam Hanbali menyatakan bahwa kalam Allah merupakan sifat tuhan. Karena sifat-Nya dipahami qadīm, maka kalam tuhan pun dipahami sebagai yang qadīm. Pendapat Asy’ari ini berlandaskan atas dalil Al-Qur’an: “Ingatlah hanya Allah yang berhak menciptakan dan memerintah” (QS. al-‘Arāf: 54).

Dalam ayat di atas terdapat dua hal mendasar yang dijadikan landasan status hadits dan qadīm-nya kalam tuhan. (1) Hak “mencipta” ada pada Allah. Yang ada berarti makhluk, yang ada karena diciptakan. (2) “Memerintah” disebutkan setelah kata “menciptakan”. Memerintah adalah kalam-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa kalam-Nya, bukan makhluk, akan tetapi sifat-Nya yang qadīm.

Konsekuensi dari pendapat kedua ini menjadikan Al-Qur’an berada di atas akal. Sedangkan akal hanya dapat mengetahui sesuatu hal melalui Al-Qur’an. Akibatnya akal harus selalu dalam kendali kitab suci sehingga akal terhegemoni oleh teks normatifnya.

Menurut kelompok ini, al-Qur’an pada suatu sisi sebagai sifat tuhan yang qadīm, di sisi lain sebagai makhluk tuhan yang hadīth. Pendapat ini dianut oleh Imam Baidhawi, ia mengatakan bahwa dari segi bentuknya al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, kalam nafsī. Kalam ini merupakan kalam asli tuhan yang terdiri dari dzat Allah yang qadīm yang tidak bisa digambarkan dengan huruf, lafal, suara dan gerak. Ia tidak berwujud dan tidak bergerak sebagaimana suatu yang ada dalam alam ini.

Ia tidak tergambar dalam akal dan berada di lawh al-mahfūzh yang tidak bisa tersentuh kecuali oleh makhluk tuhan yang suci seperti malaikat dan nabi. Wahyu dalam hal ini bersifat qadīm sebagai bagian dari diri tuhan.

Kedua, Al-Qur’an sebagai kalam lafdhi. Kalam ini merupakan representasi dari kalam tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad di bumi melalui Malaikat Jibril. Ia berupa huruf, lafal dan suara.

Kalam ini merupakan makhluk tuhan. Sekalipun ia tidak sama dengan makhluk-Nya yang lain, karena ia merupakan ‘konkretesasi’ kalam nafsī tuhan yang berada di lawh al-mahfuzh.

Menurut Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip Aksin Wijaya (2009: 69), pendapat kelompok pertama dan kedua tidak berdasarkan pada kategori-kategori kalam nafsī atau kalam lafzhi. Bahkan, bisa jadi kelompok pertama mengarahkan pendapatnya pada kalam lafdzi. Sehingga menjadi baru dan sebaliknya kelompok kedua menujukan pendapatnya pada kalam nafsī sehingga menganggap Al-Qur’an sebagai wahyu tuhan yang qadīm.

Sebagai solusi dari keduanya, Ibn Rusyd memandang bahwa seharusnya kedua hal tersebut tidak perlu dipisahkan, melainkan disatu padukan. Dalam artian kalam nafsī tuhan yang menurut kalangan Asy’ariyah tidak menggunakan lafadz disebut qadīm dan kalam lafzhi tuhan yang berbentuk lafadz dan diciptakan disebut baharu. Sebagaimana yang dapat kita lihat dari kelompok ketiga yang mengkategorikan kalam tuhan dengan kalam nafsī dan kalam lafzhi sehingga tidak ada tumpang tindih dalam pendapatnya.

Demikian penjelasan tentang status Al-Qur’an tentang persoalan makhluk atau bukan makhluk dalam perdebatan teologi.

 

Aksin Wijaya, Arah baru studi Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Awal Muqsith, “Reinterpretasi Khalq al-Qur’an Dalam Pengembangan Pragmatika Linguistik,  dalam Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam, vol. 3 no. 2 (Desember 2017).

Mun’im Sirry, Tradisi Intelektual Islam; Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama, (Malang: Penerbit Madani, 2015).

Topik Terkait: #Al-Qur'an#alquran

Leave a Response