Di antara hal terpenting dalam kehidupan adalah adab dan akhlak. Keduanya saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan. Jika kita mempunyai adab yang baik, maka akhlak yang kita miliki akan baik.

Banyak keterangan di dalam al-Qur’an dan hadis yang membahas mengenai adab dan akhlak. Salah satu hadis yang sering kita dengar adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya:

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak” (H.R. Ahmad)

Dari penjelasan hadis di atas, tampak jelas bahwa Nabi Muhammad SAW diutus di dunia tak lain hanyalah menyempurnakan akhlak. Masih banyak lagi hadis yang menjelaskan tentang pentingnya beretika atau beradab, tetapi penulis di sini akan mencoba mengupas sedikit mengenai nilai-nilai adab yang tertuang pada kisah Nabi Musa ketika berguru kepada Khidhir dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 66-70.

Terdapat suatu kisah di dalam al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai adab seorang murid terhadap gurunya. Di antaranya adalah kisah Nabi Musa as ketika berguru kepada Khidhir.

“Musa berkata kepada (Khidhir): “Apakah boleh aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (66).

Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (68)

Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun” (69). Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (70). (Q.S. Al-Kahfi [18]: 66-70).

Al-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya, ketika Musa berhasil bertemu dengan Khidhir, Musa dengan sopan memberitahunya dan meminta persetujuannya sambil mengatakan kepadanya  apa yang dia inginkan: “Bolehkah aku mengikutimu untuk mengajariku pengetahuan yang benar di antara pengetahuan yang telah diajarkan kepadamu?”

Ini berarti bahwa apakah aku boleh mengikutimu agar engkau mengajariku dari ilmu-ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu, yang akan kujadikan sebagai pegangan dan panduan, dan agar saya juga dapat mengenali kebenaran masalah itu? Khidhir diberkahi dengan ilham dan karomah oleh Allah untuk menemukan rahasia masalah yang tersembunyi dari pandangan Musa.

Dalam ayat tersebut terdapat beberapa nilai adab yang perlu kita pahami terutama pada ayat ke-66. Salah satu penekanan dan pesan tersirat dalam ayat tersebut adalah pentingnya memiliki adab yang baik dan seseorang yang menuntut ilmu hendaknya mempunyai seorang guru.

Fakhruddin al-Razi dalam kitab tafsirnya mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa ayat tersebut berisi dua belas nilai adab, antara lain:

Pertama, nilai adab pada lafadh هَلْ أَتَّبِعُكَ bermakna bahwa seorang murid harus mempunyai guru dan wajib taat/patuh terhadap gurunya. Hal ini juga merupakan adab talaqqi antara seorang murid kepada guru dan di sini juga telah tergambar jelas adab nabi Musa as. Bahwa beliau memohon untuk menjadi khadim Khidhir bukan langsung memohon agar Khidhir mengajarinya.

Kedua, terlebih dahulu meminta izin kepada guru untuk mengikutinya, meskipun hal ini remeh tetapi termasuk bentuk perendahan diri di hadapan guru (tawadhu’).

Ketiga, lafadh عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ memiliki nilai adab yakni, seorang murid harus mengakui bahwa dirinya bodoh, sementara gurunya lebih berilmu.

Keempat, meminta sebagian kecil dari sekian banyak ilmu gurunya yang telah dianugerahkan Allah SWT. Hal ini merupakan wujud kerendahan hati murid, bukan semata-mata untuk menyaingi gurunya. Hal itu digambarkan sebagaimana orang miskin yang meminta sedikit harta kepada orang yang kaya.

Kelima, nilai yang terkandung dalam lafadh مِمَّا عُلِّمْتَ adalah mengakui bahwa semua pengetahuan atau ilmu yang dipelajari merupakan pemberian dari Allah SWT.

Keenam, رُشْدًا, lafadh ini ditafsiri oleh al-Razi agar selalu meminta tuntunan dan bimbingan kepada guru supaya tidak mudah tersesat ke jalan yang salah.

Ketujuh, hendaknya murid memposisikan dirinya seperti seorang budak. Artinya, seorang murid wajib melaksanakan apa saja yang diperintahkan oleh guru seperti perintah Allah terhadap hambanya. Hingga kebalikannya, apabila seorang murid tidak melaksanakan perintah guru maka sama halnya dengan orang yang durhaka kepada Allah SWT.

Kedelapan, apabila murid sudah berguru, setelah itu tiba lagi kepada guru yang lain, sebaiknya dia meninggalkan perselisihan serta rasa keberatannya jikalau terjadi perbandingan pendapatnya dengan gurunya tersebut.

Kesembilan, seorang murid harus menyerahkan diri dan mengikuti gurunya secara total tanpa ada alasan-alasan lain.

Kesepuluh, mempunyai kemauan yang kokoh walaupun sudah memiliki banyak ilmu. Karena berada di dekat orang yang berilmu akan senantiasa merasakan kebahagiaan yang mendalam.

Kesebelas, menuntut ilmu dengan mendahulukan pengabdian (khidmah) kepada guru kemudian menuntut ilmu dengan sistem belajar.

Adapun adab yang kedua belas adalah tidak mengikuti guru karena tujuan lain, selain hanya menuntut ilmu semata.

Kisah Nabi Musa yang tertulis dalam ayat al-Qur’an di atas merupakan sebuah contoh adab yang perlu dilakukan sorang murid terhadap gurunya. Wallahu A’lam.

Al-Sa’di, Abd Rahman bin Nasir, Tafsir Al-Sa’di (t.t: Muassasaturrisalah, 2000) hal 630

Al-Razi, Fakhruddin, Tafsir Mafatih al-Ghaib (Birut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1420 H), Juz 21 hal. 484.

 

Leave a Response