Sunan Giri adalah seorang wali yang memiliki pengaruh besar terhadap penyebaran Islam di Jawa Timur dan beberapa daerah di bagian timur Indonesia. Bukan sekadar cerita tentang pengaruh Giri terhadap proses Islamisasi di beberapa daerah timur, pengaruh itu terekam dalam berbagai naskah-naskah penting di daerah. Sebagaimana dalam proses Islamisasi Gowa, dalam Lontara Wajo merekam dengan jelas kedatangan murid dari Giri di Gowa.
Lontara Wajo menyebut bahwa telah datang tiga datuk pada awal abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan sebutan datuk tellue atau datuk tallua, datuk itu antara lain bernama Abdul Makmur (Khatib Tunggal) yang kemudian dikenal dengan nama Datuk ri Bandang, Sulaiman (Khatib Sulung) yang lebih popular dengan nama Datuk Patimang dan Abdul Jawad (Khatib Bungsu) yang dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.
Tentang kedatangan para datuk ini terdapat beberapa versi mengenai asal daerah, pada naskah Wajo disebut bahwa para datuk berasal dari tanah Minangkabau dan sumber lain menyebut mereka diutus oleh Kerajaan Aceh. Akan tetapi, Kerajaan Aceh pada zaman itu memiliki pengaruh di Minangkabau.
Kedatangan para datuk ini, merupakan angin segar atas penerimaan masyarakat Gowa terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh ketiga datuk, dari salah satu datuk yaitu Datuk ri Bandang sebelum melakukan proses Islamisasi di tanah Gowa, ia telah lama menyantri di Giri, berguru langsung ke pemimpin agama di Giri bahkan dalam Babad Lombok disebutkan Datuk ri Bandang mempunyai hubungan kerabat dengan Dinasti Giri.
Pernyataan ini diperkuat oleh berbagai sumber, salah satunya ialah Graaf dan Pigeaud yang menuliskan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar lebih dulu menyantri di Giri :
“Menurut cerita setempat, islamisasi di Makassar dilaksanakan oleh kegiatan seseorang dari Minangkabau, Sumatra Tengah, yang bernama Datuk ri Bandang. (Dahulu) ia murid pemimpin agama di Giri, dan menurut sebuah Babad Lombok, ia masih mempunyai hubungan kerabat dengan Dinasti Giri (mungkin karena perkawinan). Jadi, pengaruh Giri juga sampai di Sulawesi Selatan.”
Akan tetapi, terdapat sumber lain yaitu Risalah Kutai yang menyebut bahwa, Datuk ri Bandang sudah pernah datang ke Makassar pada akhir abad XVI. Karena beberapa faktor, sang datuk kemudian berlayar ke daerah Kutai dan kemudian bersama Tuan Tunggang Parangan menyebarkan Islam di daerah Kutai.
Menyoal asal daerah para datuk pembawa Islam di Makassar ini diyakini berasal dari Minangkabau karena di naskah Lontara Gowa, Lontara Tallo dan Lontara Sukkuna Wajo menyebut bahwa para datuk berasal dari daerah Koto Tangah, Minangkabau.
Jejaring Giri inilah yaitu Datuk ri Bandang yang berjasa pada penyebaran Islam di Makassar, Kutai dan Bima. Jasa Datuk ditulis dengan jelas oleh berbagai sumber lokal di berbagai daerah, bahkan pengaruh sang datuk sampai ke jantung kekuasaaan di Makassar dan juga di Bima.
Di Makassar, seperti termuat dalam Lontara’Pattorioloanga ri Togowaya mengenai penerimaan Islam oleh Raja Gowa :
Ia (Raja Gowa) mengendalikan pemerintah semasih berumur tujuh tahun, nama kecilnya, semoga saya tidak berdosa menyebutkannya, adalah I Mangngarangi, nama daengnya adalah I Daeng Manra’bia, nama arabnya adalah Sultan Alauddin. Setelah ia memerintah selama dua belas tahun, ia masuk Islam yang dibawa oleh orang dari Koto Tangah, Minangkabau. Orang inilah yang mengajarkan kepadanya kalimat syahadat. Ia digelar Datuk ri Bandang setelah ia bertempat tinggal di Kampung Pammatoang (Bandang). Raja (Gowa) masuk Islam pada hari Jumat, 9 Jumadil Awal bertepatan dengan 22 September.
Dalam naskah Gowa dan Tallo, memberi bukti bahwa Islam diterima oleh Raja Gowa dan Tallo melalui murid Sunan Giri yaitu Datuk ri Bandang. Pengaruh Giri terhadap Islamisasi Gowa dan Tallo adalah satu bukti bahwa jejaring wali songo tidak saja berada di Jawa, akan tetapi juga memiliki pengaruh di luar Jawa seperti di Makassar, Minangkabau, Bima dan Lombok sesuai dengan naskah-naskah sejarah di masing-masing daerah.