Ikatan pernikahan disebut dalam ar-Rum (30): 21 sebagai sebuah relasi yang akan menimbulkan ketentraman, kenyamanan, dan kerahmatan serta akan mendatangkan sebuah pahala. Akan tetapi, tidak semua orang merealisasikan ikatan perkawinan dengan apa yang telah disebut dalam ayat tersebut.
Permasalahan-permasalahan kecil, terkadang menjadi hal yang sangat riskan dan mempengaruhi keharmonisan kehidupan dalam rumah tangga. Misalnya, curhatan diungkapkan oleh @sophiamega dalam sebuah tweetnya (27/7) tentang betapa susahnya ia menjadi seorang ibu.
“Cerita betapa melelahkannya menyusui, gak pernah tidur malam selama sebulan lebih ke lelaki adalah kesia-siaan. Ngeresponnya, “Kan kamu menyusui sambil tidur”. Mengadu pada Twitter saja kalau begitu,” ujarnya.
Tweet tersebut direspons oleh ratusan pengguna twitter. Salah satunya @barbieproletar dengan tweet “Setelah menyusui suatu malam aku pernah ngebenturin kepalaku ke tembok karena lelah dan frustasi. Suamiku sampai detik ini gak pernah paham aku kenapa dan apa yang terjadi. Relasi itu gak sama lagi pasca aku sadar ada jarak besar diantara kami. Jarak itu: beban reproduksi.”
Selain itu, ada pula beberapa tanggapan dari laki-laki yang turut mengikuti tweet tersebut. Dari @pak_daviddd misalnya, ia bertanya “Pas momen begitu, para istri pengen ny suami kyk gmn ya enakny? Apakah begadang barengan? Atau pas istri kasi ASI suami mesti pijitin leher n punggung yg pegal2?”.
Satu permasalahan tersebut bisa saja menjadi sebuah keretakan baru dalam hubungan rumah tangga. Belum lagi, berbagai permasalahan lain yang turut melingkupi kehidupan mereka, tentu tidak sedikit. Apa yang dijunjung dalam QS. Ar-Rum (30): 21 tersebut terkadang seolah tidak ada realitanya sama sekali, karena keharmonisan yang terkikis seiring dengan permasalahan yang hadir.
Dari berbagai permasalahan yang muncul dalam kehidupan berumah tangga, Islam sendiri sudah secara jelas mengatur relasi yang baik dalam sebuah keluarga. Dalam buku Qira’ah Mubadalah yang digagas oleh Faqihuddin Abdul Kodir, salah satu pilar dalam berumah tangga yang ditegaskan dalam al-Qur’an adalah bermusyawarah dan berbagi pendapat.
Misalnya, dalam QS. Al-Baqarah (2): 233 dijelaskan bahwa ibu hendaknya menyusui anaknya, ayah berkewajiban menanggung nafkah, tidak boleh di antara ibu dan ayah menderita karena ayahnya, serta salah satu point penting yakni Allah meminta untuk bermusyawarah yang dalam contoh ayat tersebut adalah dalam hal penyapihan.
Menurut Faqih, ayat tersebut berbicara tentang pentingnya berembuk dalam relasi antara suami dan istri atau ayah dan ibu. Mengajak bicara kepada pasangan merupakan salah satu bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap harga diri dan kemampuannya. Selain itu juga bisa untuk melihat dan memperkaya suatu masalah dari perspektif yang lain dan bisa berbeda.
Dengan demikian, ketika muncul permasalahan pun seseorang ketika kaya akan perspektif dan pendapat akan bisa mengambil keputusan dalam keadaan penuh kesadaran dengan berbagai manfaat serta akibat yang timbul dari keputusan tersebut.
Di samping musyawarah, ada pula pilar lain yang menurut Faqih cukup penting dalam sebuah rumah tangga. Yakni saling merasa nyaman dan memberi kenyamanan pada pasangan yang dalam bahasa al-Qur’an disebut taradhim minhuma (ada kerelaan/penerimaan dari kedua belah pihak).
Pilar ini dalam kehidupan rumah tangga harus selalu dijadikan sebagai pijakan penyangga dalam segala aspek, perilaku, ucapan, sikap, dan tindakan. Agar rumah tangga yang tercipta tidak hanya kokoh tetapi juga melahirkan rasa cinta kasih dan kebahagiaan.
Sehingga, pemahaman yang menganggap bahwa istri saja yang harus mengusahakan dan mencari kerelaan suami harus dimaknai secara mubadalah (kesalingan), bahwa suami juga didorong untuk memperoleh kerelaan istri. Hal ini tentunya akan menciptakan kehidupan surgawi yang memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi kedua belah pihak baik suami pun istri.
Perlu diketahui pula, rumah tangga merupakan sebuah akad pernikahan sebagai janji yang kokoh. Dari akad ini, laki-laki dan perempuan menjadi pasangan yang diharapkan oleh Islam agar satu sama lain memperlakukan dengan baik atau muasyarah bil ma’ruf.
Hal inilah yang menjadi prinsip fundamental dalam sebuah kehidupan berumah tangga dan yang menjadi ruh dan etika puncak bagi semua pilar, ajaran, aturan, serta hak dan kewajiban relasi suami istri dalam Islam.
Dengan demikian, apabila prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Faqih ini dipegang dalam sebuah rumah tangga dengan sungguh-sungguh, maka ikatan pernikahan akan menjadi sebuah ibadah karena membuka kebaikan yang begitu banyak.
Ketika kebaikan merupakan sebuah sedekah, maka sedekah akan diapresiasi pula dengan pahala. Dari sinilah makna ibadah yang sesungguhnya dalam sebuah pernikahan.