Salah satu penyakit ahli ibadah adalah ia merasa sudah menjadi ahli ibadah yang sejati. Ia merasa sudah benar-benar menyembah Allah dan menjalankan perintah-perintahnya. Seperti kisah di bawah ini.
Dikisahkan, dalam kitab An-Nawadir karya Syihabuddin Al-Qalyubi, ada seorang ahli ibadah melaksanakan shalat. Ketika bacaan shalat dia sampai pada “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu aku menyembah), tebersit di dalam pikirannya bahwa dia adalah seorang ahli ibadah sejati.
“Kamu bohong,” tiba-tiba ada suara yang berkata demikian, membantah apa yang dia pikirkan. “Yang kamu sembah adalah makhluk,” lanjut suara itu. Mendengar suara gaib itu dia kemudian bertaubat. Ia menjauh dari manusia.
Ia mengerjakan shalat lagi dan ketika bacaannya sampai pada “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu aku menyembah), suara itu muncul kembali. “Kamu bohong,” kata suara itu, “yang kamu sembah adalah istrimu.” Dia kemudian menceraikan istrinya.
Dia kembali mengerjakan shalat dan saat bacaannya sampai pada “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu aku menyembah), lagi-lagi suara itu muncul. “Kamu bohong. Yang kamu sembah adalah hartamu.” Dia kemudian mendermakan seluruh hartanya.
Kembali dia mendirikan shalat dan tatkala bacaannya sampai pada “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu aku menyembah), suara itu masih muncul. “Bohong kamu. Yang kamu sembah adalah pakaianmu.” Dia pun menyedekahkan pakaiannya, kecuali yang dia kenakan.
Dia lalu melaksanakan shalat lagi dan pada saat bacaannya sampai pada “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu aku menyembah), suara itu muncul kembali. Tetapi kali ini dengan nada yang lain. “Benar, kamu adalah seorang ahli ibadah sejati.”
Kisah di atas tidak boleh kita maknai secara tekstual. Untuk menjadi ahli ibadah yang sejati bukan berarti kita harus menjauhi manusia, menceraikan istri, dan mendermakan seluruh harta kita, dalam artian secara tekstual. Kisah itu mengajarkan kepada kita bahwa pada saat beribadah, pikiran-pikiran mengenai manusia, istri, harta, dan makhluk lainnya harus kita enyahkan. Wallahu a’lam bis shawab.