Pernah pada suatu hari, Syeikh Junaid al-Baghdadi, tokoh sufi yang terkenal alim dan zuhud, memberi perintah kepada murid-muridnya untuk membeli seekor ayam di pasar untuk kemudian disembelih oleh mereka. Syeikh Junaid al-Baghdadi hanya memberi isyarat bahwa ketika mereka menyembelih ayam tersebut, tidak boleh ada yang tahu. Dimana pun tempatnya. Sebelum matahari tenggelam di sore hari, mereka harus menuntaskan tugas tersebut.

Sore harinya, satu persatu dari murid Syeikh Junaid al-Baghdadi kembali dengan wajah yang sumringah, karena mereka semua sudah berhasil menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Syeikh Junaid al-Baghdadi tersebut. Hanya satu orang saja yang sepertinya belum selesai, karena di tangannya masih ada satu ekor ayam yang masih hidup.

Tidak ia sembelih sesuai permintaan dari Syeikh Junaid al-Baghdadi. Murid-murid lain yang mengetahui hal tersebut menertawakannya, karena ia tidak sanggup menyembelih ayam yang ia beli di pasar.

Tak lama kemudian, Syeikh Junaid al-Baghdadi meminta murid-muridnya untuk menceritakan bagaimana mereka semua melaksanakan tugasnya.

“Saya pergi ke pasar untuk membeli ayam, dan membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup jendela, dan membunuh ayam itu,” ujar murid yang pertama.

Murid lain berkata, “Saya membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam tersebut ke dalam kamar mandi yang gelap dan menyembelihnya di sana.”

Murid ketiga menjawab, “Saya juga membawa ayam milikku ke kamar yang gelap. Aku bahkan menutup kedua mataku saat menyembelihnya.”

“Saya bahkan pergi ke hutan yang lebat dan terpencil setelah membeli ayam di pasar, lalu memotongnya,” ucap murid keempat.

Hampir semua murid Syeikh Junaid al-Baghdadi sudah menjelaskan bagaimana cara mereka menjalankan tugasnya, hanya satu orang saja yang tidak berhasil menjalankan misi ini. Di tangan murid tersebut, masih ada seekor ayam utuh yang belum ia potong sesuai keinginan Syeikh Junaid al-Baghdadi.

Murid-murid lain yang mengetahui hal ini menertawakannya. Yang bisa ia lakukan hanya menundukkan kepalanya dan berkata lirih di hadapan Syeikh Junaid al-Baghdadi:

“Maafkan saya, ya Syeikh. Saya tidak mampu melaksanakan tugas yang Syeikh perintahkan. Saya sudah mencoba sebisa mungkin untuk menyembelih ayam itu tanpa ada yang tahu, tapi hasilnya nihil.”

Semua yang mendengar penuturannya terdiam sejenak, menanti kelanjutan dari cerita yang akan ia katakan.

“Saya sudah membawa ayam milik saya ke rumah kosong dan mengunci semua jendela, atau ke kamar yang gelap, atau bahkan di kamar mandi yang sepi, tapi tetap saja Allah yang Maha Mengetahui sudah pasti tahu apa yang saya lakukan.

Tidak ada satu tempat pun yang tidak Allah ketahui. Karena hal itulah, Syeikh, saya tidak bisa melaksanakan perintah yang Syeikh berikan.”

Mendengar penuturan tersebut, Syeikh Junaid al-Baghdadi tersenyum. Dari sekian banyak muridnya, hanya dialah yang lolos. Hanya dialah yang paham tentang apa yang dimaksudkan oleh Syeikh Junaid al-Baghdadi tentang tugas yang ia berikan.

Sebenarnya, kita sendiri sadar dan tahu betul bahwa apa yang kita lakukan setiap harinya, apa yang kita lakukan setiap detiknya selalu diawasi oleh Allah swt. Hanya saja, kita merasa acuh tak acuh atau merasa “bodo amat” dan tidak peduli tentang hal itu. Kita tidak pernah mengimani bahwa Allah swt. itu Maha Melihat, seperti yang tercermin dalam al-Qur’an surat ayat 18:

“Sungguh, Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Kita semua tahu betul bahwa Allah swt. adalah Dzat yang Maha Melihat, dan Maha Mendengar. Namun entah kenapa, hanya sifat Allah swt. yang kedua saja yang kita imani. Kita sepakat akan hal ini.

Saat kita memiliki segudang masalah yang tidak pernah selesai, saat kita menyimpan beban pikiran yang begitu banyak sampai membuat kita merasa down dan putus asa, saat kita punya harapan yang tak kunjung terkabulkan, hanya doa yang bisa menjawabnya. Hanya doalah yang bisa menjadi jawaban dari pertanyaan yang meliuk-liuk di pikiran kita.

Dan ketika sedang berdoa, kita berharap dengan sangat bahwa Allah swt. akan mendengarnya, bahwa Allah swt. akan merasa kasihan kepada kita dan memberikan kita jalan keluar dari problem yang kita hadapi. Kita sadar betul bahwa Allah swt. Maha Mendengar. Kita sangat mengimani hal ini.

Tapi kenapa saat berbuat maksiat, kita lupa bahwa Allah swt. juga Maha Melihat? Kenapa saat berbuat buruk kepada orang lain, kita seakan-akan lupa bahwa Allah swt. Maha Mengetahui?

Harusnya kita bisa menyeimbangkan dua sifat Allah swt. tersebut. Dalam artian, kita selalu mawas diri setiap detiknya dan selalu berupaya agar tidak berbuat maksiat karena sadar bahwa Allah swt. Maha Mengetahui, dan terus berupaya untuk beristighfar atau memohon ampun pada Allah swt.

Semoga, kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan lebih bertakwa pada Allah swt. di mana pun dan kapan pun serta menyadari bahwa Allah swt. selalu mengawasi kita setiap detiknya, seperti yang dirasakan oleh murid Syeikh Junaid al-Baghdadi dalam cerita di atas.

Amin.

Sumber: Kisah Hikmah Par Sufi dan Ulama Salaf. Abdullah, Ali. Cetakan-1. 2018. Qudsi Media: Yogyakarta.

Leave a Response