Jika hendak mencari suri tauladan sebagai bukti sejarah sebagai akademisi murni di beberapa abad yang lalu, maka figurnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Seorang mujtahid yang lahir pada tahun 164 H.

Semua sepak terjang dalam karirnya hanya untuk ilmu dan ilmu. Ia tidak pernah tergiur untuk melibatkan dirinya pada bisnis, politik, dan kegaduhan aliran-aliran. Hidupnya hanya untuk ilmu.

Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibany dilahirkan di Baghdad tepatnya di kota Maru/Mery, kota kelahiran sang ibu, pada bulan Rabiul awal tahun 164 H. Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin Awf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Zulal bin Ismail bin Ibrahim.

Dengan kata lain, dia keturunan Arab dari suku Bani Syaiban, sehingga diberi laqab (julukan) asy-Syaibani. Nasab keturunannya bertemu dengan Rasulullah saw pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. (Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalak, [Beirut, Syria: Muassasah ar-Risalah 1982], juz 11, hlm 177).

Imam Ahmad bin Hanbal merupakan salah satu dari Imam mazhab yang diakui sebagai mujtahid. Sejarahnya terbukukan, dan diikuti oleh mayoritas ulama dari kalangannya. Juga seorang ahli hadits dan contoh teladan bagi orang-orang yang ahli hadits. Ia adalah seorang mujaddid Islam (pembaharu) abad ketiga dan juga bagian terpenting dalam sejarah peradaban Islam.

Tidak hanya itu, Imam Ahmad bin Hanbal menjadi pokok peletak dasar mazhab Hambali, yang sampai detik ini diikuti oleh berbagai umat Islam. Kontribusinya tidak hanya disiplin keilmuan dalam ilmu fiqih saja, melainkan juga berperan penting dalam ilmu hadist, tafsir, dan lainnya.

Sosok Imam Ahmad bin Hanbal ternyata tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ia harus rela ditinggalkan ayahnya ketika menginjak usianya yang ke tiga tahun. Bahkan, ketika ayahnya meninggal dunia, ia hanya meninggalkan harta pas-pasan untuk menghidupi keluarganya.

Ahmad kecil hidup berdua dengan ibundanya. Sejak saat itu, kehidupan Ahmad kecil dengan ibunya sangat sederhana dan serba pas-pasan.

Meski demikian, Imam Ahmad tetap mempunyai semangat belajar yang tinggi. Tidak adanya senyuman manis dan semangat dari sang ayah tidak membuatnya patah semangat. Meski saat itu Ahmad kecil harus bekerja untuk membantu ibunya, ia tidak lepas dari Al-Qur’an, hadist, dan kitab-kitab karangan ulama untuk dibaca.

Sejak masih kecil, ia selalu belajar tentang ilmu. Kegigihan dan keseriusannya dalam menuntut ilmu sangat luar biasa. Masa mudanya dihabiskan untuk mendalami berbagai cabang ilmu, seperti fiqih, hadist, tafsir, dan lainnya.

Semua ini bisa dilihat dari buah karyanya, yaitu kitab Musnad Imam Ahmad. Di sana ada hadist-hadist Hijaz, Syam, Kufah, Bashrah, Yaman, dan lainnya.

Pada mulanya, Ahmad kecil mendapatkan pendidikan di kota Baghdad hingga usia 19 tahun. Sejak kecil Ahmad disekolahkan kepada seorang ahli Qiroat. Pada umur yang masih relatif muda, yaitu 10 tahun ia sudah menghafalkan al-Qur’an, selanjutnya, ketika ia usia 16 tahun, Ahmad juga belajar hadits.

Karena kecintaannya terhadap hadits pagi-pagi buta dia selalu pergi ke masjid-masjid hingga ibunya merindukannya. Guru pertama Ahmad bin Hanbal muda adalah murid senior dari Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf al-Qadhi.

Ia belajar dasar-dasar ilmu fikih, kaidah-kaidah ijtihad, dan metodologi qias dari Abu Yusuf. Setelah memahami prinsip-prinsip Mazhab Hanafi, Imam Ahmad mempelajari hadits dari seorang ahli hadits Baghdad, yaitu Haitsam bin Bishr.

Rihlah yang ditempuh oleh Imam Ahmad sebagai sosok yang haus akan ilmu, bukanlah perjalanan yang gampang. Cobaan demi cobaan selalu berdatangan, berbagai rintangan selalu menghampirinya, apalagi dalam masalah keuangan, sama sekali ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai hidupnya sendiri ketika mencari ilmu.

Ia lebih suka kelaparan tanpa makan daripada rasa haus akan ilmu tak kunjung ia dapati. Tidak ada dalam kamusnya tentang kekayaan dunia. Ia fokus pada pencapaiannya akan kekayaan pengetahuan. Kondisi ekonomi yang kurang beruntung tidak lantas menyurutkan semangatnya untuk mengembara ke berbagai Negara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Di kota Baghdad, Imam Ahmad bisa dikatakan sebagai sosok yang sudah malang melintang dalam pengembaraannya mencari ilmu. Satu persatu para ulama didatangi untuk bisa mendapatkan ilmu darinya.

Tidak hanya menimba ilmu dari ulama-ulama Baghdad, Imam Ahmad juga menempuh safar dalam mempelajari ilmu. Ia pergi mengunjungi kota-kota ilmu lainnya seperti Makkah, Madinah, Suriah, dan Yaman.

Dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan Imam asy-Syafi’i di Makkah, lalu ia manfaatkan kesempatan berharga tersebut untuk menimba ilmu darinya selama empat tahun. Imam asy-Syafi’i mengajarkan pemuda Baghdad ini tidak hanya sekadar menghafal hadits dan ilmu fikih, akan tetapi memahami hal-hal yang lebih mendalam dari keduanya.

Setelah 4 tahun belajar dengan Imam asy-Syafii, Imam Ahmad akhirnya mulai mandiri, dan bisa merumuskan pendapat sendiri dalam cabang ilmu fiqih. Imam Ahmad menjadi seorang ahli hadits sekaligus ahli fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berebagai penjuru negeri Islam. Terutama setelah Imam asy-Syafi’i wafat, ia seolah-olah menjadi satu-satunya sumber rujukan utama bagi para penuntut ilmu yang senior maupun junior.

Pada tahun 204 H, ketika guru mulianya Imam asy-Syafi’i wafat, dan bertepatan pada usianya 40 tahun, Imam Ahmad mendirikan sebuah madrasah. Madrasah yang didirikan olehnya, hanya fokus mengajarkan tentang pokok-pokok ilmu syariat. Seperti, hadist, fiqih, dan ilmu tafsir.

Dengannya, Imam Ahmad mendapatkan banyak pujian dari para ulama dan umat Islam saat itu. Di samping ia sebagai sosok yang sangat luas pengetahuannya, ia juga diakui ketaqwaan, kesalehan, dan akhlak luhurnya.

Tidak hanya bergelut dalam dunia pendidikan dan dakwah. Imam Ahmad bin Hmbal juga sukses dalam menulis berbagai kitab. Utamanya tentang hadist Nabi Muhammad saw. Di antara karyanya dalam ilmu hadist yang sangat masyhur adalah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal.

Kitab yang menghimpun hadist-hadist Rasulullah. Kitab ini ditulis pada tahun 180 H, dan kemudian menjadi salah satu rujukan hadist dalam dunia Islam.

Dalam kitab ini, setidaknya terhimpun 40.000 hadist dengan pengulangan, atau sekitar 27.000 hadist tanpa pengulangan. Banyak para ulama saat itu yang mengatakan bahwa hampir semua hadist yang dihimpun Imam Ahmad merupakan hadist sahih.

Ada juga ulama setelahnya yang menemukan beberapa hadist lemah (dhaif). Meski demikian, kitab Musnad Ahmad bin Hanbal tetaplah karya agung dalam kajian ilmu hadist.

 

Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalak, [Beirut, Syria: Muassasah ar-Risalah 1982], juz 11, hlm, 177-179).

Leave a Response