Bunuhlah aku, O, Kasihku / Kematianku adalah hidupku / Kematianku ada dalam hidupku / Hidupku ada dalam kematianku / Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar / Hidupku seperti ini tak lagi berharga / Bunuhlah aku, bakarlah aku / Bersama tulang-tulang yang rapuh (Diwan Al-Hallaj, Qasidah 10)

Ada kisah unik yang diilhami dari diwan Al-Hallaj di atas, kisah ini ditulis dalam buku Hikayat-hikayat Mistis Syaikh Al-Isyraq Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi (1992). Kisahnya begini;

Suatu kali pernah timbul pertentangan antara beberapa ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian antara mereka sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu sudah melampaui batas.

Para kelelawar setuju bahwa jika saat petang menjelang malam telah menyebar melalui ceruk lingkaran langit, dan matahari telah turun di hadapan bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya matahari, mereka akan bersama-sama menyerang si bunglon dan, setelah menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka hati dan melampiaskan dendam.

Ketika saat yang dinantikan tiba, mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan semuanya bersama-sama menyeret bunglon yang malang dan tak berdaya itu ke dalam sarang mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya.

Ketika fajar tiba, mereka bertanya-tanya apakah sebaiknya bunglon itu disiksa saja. Mereka semua setuju bahwa dia harus dibunuh, tetapi mereka masih merencanakan bagaimana cara terbaik untuk melaksanakan pembunuhan itu. Akhirnya mereka memutuskan bahwa siksaan yang paling menyakitkan adalah dihadapkan pada matahari.

Tentu saja, mereka sendiri tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan, selain berada dekat dengan matahari; dan, dengan membuat analogi dengan keadaan mereka sendiri, mereka mengancam supaya dia memandang matahari. Bunglon itu sudah pasti tidak mengharapkan yang lebih baik lagi. ‘Penghukuman’ semacam itu persis seperti yang diinginkannya, sebagaimana dikatakan oleh Husein Manshur Al-Hallaj.

Bunuhlah aku, O, Kasihku / Kematianku adalah hidupku / Kematianku ada dalam hidupku / Hidupku ada dalam kematianku / Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar / Hidupku seperti ini tak lagi berharga / Bunuhlah aku, bakarlah aku / Bersama tulang-tulang yang rapuh (Diwan Al-Hallaj, Qasidah 10).

Maka ketika matahari terbit, mereka membawanya keluar dari rumah mereka agar dia tersiksa oleh cahaya matahari, siksaan yang sesungguhnya merupakan jalan keselamatan baginya.

Hikmah kisah di atas tak ubahnya menjadi contoh betapa reduksi pengetahuan suatu makhluk sangatlah beragam dan bahkan saling bertentangan. Para algojo yang menghukum Al-Hallaj menganggap bahwa hukuman kepada Al-Hallaj merupakan suatu kepedihan, namun Al-Hallaj menganggap itu adalah cara untuk mempercepat bertemu dengan kekasihnya –Allah.

Sementara itu bagi kelelawar, sinar matahari merupakan hukuman yang teramat pedih, hal itu tentunya menjadi jalan keselamatan bagi sang bunglon. Ketika kelelawar ngacir pergi menghindari sinar matahari dan meninggalkan bunglon seorang diri, tentunya ini menjadi sebuah kebebasan yang hakiki bagi sang bunglon. Wallahu A’lam.

Leave a Response