Ketaatan seorang hamba kepada Ibu adalah ketaatan yang hanya bersumber kepada Allah Swt. Begitu besar kemuliaan seorang anak yang bisa membahagiakan Ibunya. Namun, akan lebih mulia jika seorang anak bisa mengamalkan perintah Allah Swt. disertai dengan rida seorang Ibu. Sebetulnya, sebaik-baiknya kisah adalah tentang keridaan seorang Ibu. Hal ini terjadi pada keluarga Khansa binti Amru—sosok sahabat yang mempersembahkan keempat anaknya sebagai syuhada.
Tamadhar binti ‘Amru bin Haris bin Syuraid bin ‘Ushayyah as-Sulamiyah atau dikenal dengan al-Khansa berasal dari Bani Sulaim dan terhenti nasabnya itu pada Bani Madhar, kemudian bangsa Arab pada zaman itu memberinya sebuah laqab dengan sebutan al-Khansa. Al-Khansa berasal dari keluarga kaya raya dan lahir pada tahun 575 M di sebuah kota di wilayah tengah Arab Saudi yang bernama Najd. Wafat pada tahun 645 M di kota kelahirannya tersebut.
Nama Tamadhar sendiri merupakan nama yang lumayan sering dibubuhkan untuk anak perempuan yang lahir dari bangsa Arab pada zaman itu. Yang berarti wanita cantik, putih, dan berkulit bersih. Al-Khansa dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas, sempurna akal dan jiwanya, fasih ketika berbicara, bijaksana serta mapan dalam bertutur kata. Dalam catatan sejarah sastra Arab, al-Khansa dianggap sebagai penyair perempuan satu-satunya yang paling berpotensial di bidang sastra, baik sebelum masanya maupun sesudahnya.
Al-Khansa terkenal dengan gubahan-gubahan syair ritsa’ untuk kedua saudara kandung laki-lakinya, yaitu Sakhr dan Muawiyah yang pergi meninggalkannya. Ritsa’ sendiri merupakan syair ratapan yang digunakan bangsa Arab Jahiliyah untuk merefleksikan ratapan dan kesedihan yang mendalam atas kemalangan yang menimpa mereka, baik dari segi kematian maupun peperangan.
Berbicara tentang ritsa’, seperti yang disebutkan di atas bahwa sosok al-Khansa adalah seorang penyair perempuan yang hampir seluruh syairnya bergenre ritsa’. Syair-syairnya itu, ia ciptakan secara khusus untuk mengenang kedua saudaranya. Namun, di antara keduanya, ia lebih sayang kepada Sakhr.
Hal ini tentu tampak jelas dari mayoritas syair ritsa’-nya yang ditujukan kepada Sakhr yang terkenal memang sangat luhur budi dan akhlaknya, dermawan, serta sangat pemberani. Setelah Sakhr mati terbunuh dalam Perang Kulab, al-Khansa menghabiskan banyak waktunya di samping pusara saudaranya tersebut. Dari sanalah syair-syair ratapan itu terlahir.
Al-Khansa masuk Islam di saat mendatangi Nabi Muhammad saw. bersama dengan Bani Sulaim. Semua pakar keilmuan telah sepakat bahwa tak ada seorang wanita pun, baik sebelum al-Khansa maupun sesudahnya yang dapat menandingi kepiawaiannya dalam bersyair. Setelah ia masuk Islam, al-Khansa berujar bahwa dulu dirinya menangisi kehidupan, tetapi sekarang ia menangis karena takut akan siksa neraka.
Al-Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Azis as-Sulami. Dari pernikahan itu, ia mendapatkan empat orang anak laki-laki, yaitu Yazid, Muawiyah, ‘Amr, dan ‘Amrah yang semuanya telah memeluk agama Islam. Keempat anaknya itu pernah diberi hadiah oleh Umar bin Khattab, masing-masing dari mereka diberi sebanyak 400 dirham.
Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah di masa Umar bin Khattab, al-Khansa turut berangkat bersama keempat putranya untuk menyertai pasukan tersebut. Empat putra kandung al-Khansa bergabung dengan pasukan Muslim yang ditugaskan menyerang Qadisiyah. Sehari sebelum perang, al-Khansa menyampaikan beberapa wasiat kepada putra-putranya.
“Wahai putra-putraku, kalian semua memeluk Islam dengan suka rela dan berhijrah dengan senang hati. Demi Allah Swt. yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah keturunan dari satu Ayah dan satu Ibu. Aku tidak pernah merendahkan kehormatan dan mengubah garis keturunan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia yang fana. Putra-putraku, sabarlah, tabahlah, bertahanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Semoga kalian menjadi orang-orang yang beruntung. Jika kalian melihat gendering perang telah ditabuh dan apinya telah berkobar, maka terjunlah ke medan laga serta serbulah pusat kekuatan musuh. Pasti kalian akan meraih kemenangan dan kemuliaan di dalam kehidupan abadi dan kekal selama-lamanya.”
Keesokan harinya, keempat putra al-Khansa terjun ke medan perang dengan gagah berani. Dikisahkan, jika ada seorang di antara mereka yang semangatnya mulai surut, maka saudara-saudaranya langsung mengingatkannya dengan nasihat Ibunda mereka yang telah tua renta. Dengan begitu, semangatnya berkobar kembali dan menyerbu musuh seperti singa yang mengamuk.
Serangannya seperti siap melumat musuh-musuhnya, mereka tetap berjuang dengan penuh semangat hingga satu per satu berguguran menjadi syuhada. Ketika al-Khansa mendengar berita kematian empat putranya itu dalam satu hari yang sama, ia begitu ikhlas menerima berita duka tersebut dengan penuh keimanan dan kesabaran. Begitu mulianya seorang al-Khansa sang penyair cerdas, Ibunda para syuhada.