Santri pondok pesantren pasti sudah tak asing lagi dengan kitab Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah karangan Syeikh Imam Ibnu Ajrum atau yang biasa disebut Imam as-Shanhajiy, ulama asal Maroko yang lahir di Abad ke-7 Hijriyah, tepatnya 672 H. Hampir diseluruh lembaga pendidikan islam di Indonesia terutama pesantren salafi memakai kitab ini untuk dipelajari sebagai dasar dalam membaca kitab gundul.
Agama islam sendiri menetapkan bahwa selaku seorang muslim haruslah memahami ilmu-ilmu hukum yang ada dalam agama islam, baik itu tafsirnya, hadisnya, fikihnya dan lain-lain. Dan semua itu memerlukan ilmu perantara atau yang biasa anak pesantren sebut ilmu alat yaitu Nahwu dan Sharaf. Tanpa ilmu Alat kita tak akan mampu memahami dengan baik dan benar kitab-kitab ulama, kitab turast gundul tak berharakat. Dan kitab ini menjadi kitab dasar untuk mempelajari ilmu alat, dilanjut ke Imrithy dan Alfiyah Ibnu Malik jika sudah khatam.
Ilmu Nahwu bukanlah ilmu yang bisa dipahami secara meloncat, baca satu bab lalu lompat ke bab yang lain. Tidak. Ilmu Nahwu adalah ilmu yang bisa dipahami jika dipelajari secara terstuktur dari dasar sampai bab terluar. Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah datang menjadi cahaya untuk menerangi pembelajaran dasar bagi para santri pemula. Zaman itu belum ada kitab yang padat, jelas, dan ringkas seperti karangan beliau, bahkan sampai sekarang. Sungguh kitab yang tak ada duanya.
Kitab Al-Muqadimah al-Ajurrumiyyah tak ada duanya bukanlah karena tidak ada yang lebih ringkas, padat, dan jelas dari yang lainya. Tapi hal ini dimotori oleh catatan kisah sejarah indah dalam penyusunan kitab ini. Bagaimanakah kisah penyusunan kitab tersebut sampai bisa sampai ke tangan kita saat ini?
Disebutkan dalam kitab Al-Kawakib Ad-Dhurryiyah, kitab Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah itu ditulis oleh beliau empat tahun sebelum wafatnya beliau tahun 723 H. Beliau memulai penyususan kitab ini di sisi ka’bah. Kisah menarik nan istimewa terjadi setelah beberapa waktu kitab ini rampung. Imam ibnu Ajrum membuang kitabnya tersebut ke laut sambil berkata: ”Kalau memang kitab ini kutulis ikhlas karena Allah, niscaya ia tidak akan basah.” Ternyata kitab tersebut kembali ke pantai tanpa basah sedikit pun.
Dalam riwayat yang lain disebutkan, ketika Imam Ibnu Ajrum telah rampung menulis dengan menggunakan botol tinta, ia berniat meletakkan kitabnya tersebut di dalam air sambil berkata dalam hati “Ya Allah, jika saja karyaku ini akan bermanfaat jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak akan luntur.” Ternyata dengan kuasa Allah tinta tersebut tidak luntur sedikitpun.
Dan dalam riwayat lain lagi disebutkan, ketika merampungkan karya tulisnya ini beliau bermaksud menenggelamkan kitab beliau ini ke dalam air yang mengalir. Jika kitab tersebut terbawa arus maka berarti kitab tersebut kurang manfaat, sedangkan bila ia tetap tidak terbawa arus maka ia akan tetap dikaji orang dan akan besar manfaatnya.
Sambil meletakkan kitab tersebut ke dalam air berliau berujar: “Jurru Miyah! Jurru Miyah” (Mengalirlah wahai air!). Anehnya setelah diletakkan dalam air kitab tersebut tetap bertahan tidak terbawa oleh arus. Dan Masyhurlah kitab tersebut dengan sebutan Jurmiyah. Subhanallah.
Beliau menulis kitab bukan berharap kemasyhuran. Beliau tulus dan ikhlas menuliskannya untuk Allah dan kemanfaatan ummat. Kekekalan itu pun datang sebagaimana janji Allah dalam surat Ar-Ra’d ayat 17:
“………………….. adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya, tetapi yang bermanfaat bagi manusia akan tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan”(QS. Ar-Ra’d:17)
Segala sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas pasti akan selalu berbuah manis. Prof Quraisy Shihab pernah bertutur di salah satu kajiannya bahwa “Ikhlas itu inti keberagamaan.” Karena setelah kita islam, lalu kita beriman, kita dituntut untuk ber-ikhsan dan pengaplikasian ikhsan itulah yang bisa kita dapati jika kita berbuat ikhlas.
Dalam penjelasan hadis pertama di kitab Syarh Arba’in Nawawi karya Imam Daqiqul ‘Ied disebutkan bahwa Imam Abdurahman Al-Mahdiy menegaskan kepada setiap guru dan penulis ketika ingin mengajar dan menulis untuk mengingat hadis yang menjelaskan tentang pentingnya niat, karena niatlah yang menentukan diterima dan tidak diterimanya amal perbuatan manusia.
Ikhlas itu laksana menanam buah labu, walau ia tak terlihat dimana akar pusatnya, tapi buahnya akan kita dapati berkecambah dimana-mana. Begitupun ikhlas, walau tak bisa dilihat dan diketahui oleh siapapun kecuali Allah, tapi manfaatnya akan dirasakan dimana-mana.
Semoga kita dijadikan manusia yang Ikhlas. Amin.