Al-Wahathiyyah Ummu al-Fadl adalah sufi perempuan yang hidup di abad 10 M. Tak banyak dari kita yang mengenal namanya. Meski namanya tidak sepopuler Rabi’ah al-Adawiyah, tapi kesufiannya tak bisa disangsikan. Ia adalah perempuan dengan pengetahuan dan maqam spiritual yang tinggi.

Kolega-koleganya adalah juga guru-guru sufi kondang di zamannya, di antaranya Syaikh Abu Abdullah Ibn Khafif, Abu Amr ibn Nujayd, dan Abu al-Qasim al-Nashrabadhi. Beberapa sufi lain malah kerap menghadiri ceramah-ceramah al-Wahatiyyah, seperti Abu Sahl Muhammad ibn Sulayman, Abu al-Qasim al-Razi, Muhammad al-Farra’, dan Abdullah al-Mu’allim.

Abad 4 H/10 M memang merupakan zaman di saat tasawuf sedang berkembang subur, baik dalam gerakan maupun dalam keilmuan. Sebagaimana cabang ilmu-ilmu yang lain dalam Islam, tasawuf memiliki peran penting di mata masyarakat.

Kerap kali pengajian atau ceramah-ceramah sufi diadakan di ruang publik, sehingga masyarakat sekitar pun dapat menyimaknya. Tak terkecuali ceramah-ceramah al-Wahathiyyah yang sebagai sufi pada masanya.

Seseorang pernah bertanya kepada Al-Wahathiyyah mengenai definisi tasawuf. Ia memberikan jawaban, “Tasawuf itu bermakna menolak semua sarana duniawi dan melepaskan dirinya dari keterikatan duniawi.” Baginya, seseorang harus menyingkirkan hal-hal duniawi yang bisa mengganggu perjalanan spiritual seseorang kepada Allah.

Sementara itu, mengenai bagaimana “sikap seorang sufi” terhadap dunia dan seisinya, ia memberikan penjelasan bahwa sufi bukanlah orang yang meminta-minta, juga tidak pernah memperkaya dirinya sendiri. Meskipun begitu, seorang sufi tidak boleh menolak rezeki nomplok yang datang dari sumber yang tak diragukan. Dalam laku keseharian, seorang sufi tidak bermalas-malasan dan menunda-nunda pekerjaan.

Nasihatnya yang paling terkenal, sebagaimana didokumentasikan oleh al-Sulami, berisi wejangan, “Waspadalah agar tidak sibuk memburu kedamaian pikiran, dan mengira bahwa kau sedang mencari ilmu; karena orang yang mencari ilmu adalah orang yang mengamalkan ilmunya.

Sedangkan orang yang mengamalkan ilmunya bukan sekadar dilihat dari berapa banyak jumlah puasa, sedekah, dan salatnya; melainkan juga dibarengi dengan ketulusan hati bahwa amalnya ditujukan dengan maksud dan kesadaran semata-mata kepada Allah yang selalu mengawasinya.

Suatu waktu, ia juga pernah ditanya mengenai “cinta ilahi”. Ia memberikan jawaban yang sangat mendalam. “Cinta adalah bahwa seorang pencinta mesti bisu di hadapan segala sesuatu kecuali dirinya, buta di hadapan segala seauatu kecuali kehadiran-Nya, dan tuli atas segala sesuatu kecuali firman-Nya; karena Nabi Muhammad bersabda, ‘Cintamu atas suatu hal membuatmu buta dan tuli.‘”

Leave a Response