Lies Marcoes adalah salah satu pakar Islam dan gender terkemuka di Indonesia. Dia telah memainkan peran perintis dalam gerakan kesetaraan gender di Indonesia dengan menjembatani kesenjangan antara Muslim dan feminis sekuler. Ia mendorong feminis untuk bekerja dalam Islam untuk mempromosikan kesetaraan gender.

Lies adalah pelatih yang bersemangat dan berbakat dan telah menggunakan keterampilan ini untuk mengubah sikap orang terhadap status perempuan dalam Islam. Dengan kepemimpinan dan komitmen yang kuat, Lies telah memberdayakan perempuan Indonesia yang tak terhitung jumlahnya dan membawa gender ke dalam bahasa arus utama di Indonesia.

Lies dibesarkan di sebuah kota kecil di pedesaan Jawa Barat sebagai anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ibunya adalah anggota Aisyiyah, sayap perempuan dari organisasi Muslim modernis Muhammadiyah. Dia adalah seorang vendor dan tulang punggung keluarga Lies.

Ayah Lies berasal dari latar belakang Muslim tradisionalis. Tetapi kemudian mendukung Muhammadiyah dan kegiatan keagamaan ibu Lies. Lies mengatakan dia “tidak tertarik dengan hal-hal yang menarik minat anak-anak dari keluarga kelas menengah Muhammadiyah seperti sains dan kedokteran.” Dia menikmati pramuka, berkemah dan bermain di tepi sungai.

Ini bukan untuk mengatakan bahwa dia kurang memiliki keingintahuan ilmiah. Pada usia dini, ia menghabiskan waktu berjam-jam di malam hari membaca novel karya Buya Hamka (sarjana agama Minangkabau yang terkenal 1908-81) dan buku-buku IPS di perpustakaan ayahnya.

Pada tahun 1978 Lies meninggalkan kota asalnya. Ia mengikuti kakak perempuannya masuk ke IAIN (Institut Studi Islam Negeri) Syarif Hidayatullah di Jakarta. Lies menemukan kehidupan universitas sangat menggairahkan dan dia terjun ke dalam kegiatan ekstrakurikuler.

Beruntung berada di sana saat kampus-kampus di Indonesia masih memiliki suasana demokrasi yang kental, tepat sebelum kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) membatalkan aktivitas politik di kampus.

Mahasiswa secara tradisional datang ke universitas ini untuk mempelajari Islam. Tetapi ketika Lies mulai kuliah, para mahasiswa dan dosen juga mulai menyelidiki ilmu-ilmu sosial sebagai cara untuk memahami dunia.

Pendukung utama perubahan ini adalah dosen teologi Lies, Profesor Harun Nasution, yang memiliki pengaruh besar pada Lies. Dia mengatakan dia mengajarinya “bagaimana berpikir bebas dan (melihat) bahwa Islam dapat dipahami dari berbagai perspektif.”

Tanpa disadari, Lies sudah memulai karirnya sebagai antropolog. Pelatihan formalnya di bidang antropologi dan gender dimulai ketika ia mulai bekerja dengan Martin van Bruinessen, seorang sarjana Indonesia dari Belanda. Pada tahun 1982 Lies menjadi asisten peneliti Martin dan dia mulai mengikuti kehidupan pekerja seks di masyarakat perkotaan.

Dia sangat tertarik dengan bagaimana para perempuan ini hidup sehingga dia menghabiskan berjam-jam di rumah mereka. Lies ingat bahwa pada suatu waktu dia berpikir dia mungkin harus menghentikan penelitian karena, dia berkata, ‘sebagai seorang gadis berusia 24 tahun dari Universitas Islam’ dia merasa terkejut melihat laki-laki keluar masuk rumah pekerja seks.

Setelah menyelesaikan penelitian ini Lies mengikuti seminar tentang peran perempuan di Indonesia. Di sana ia bertemu dengan aktivis feminis ternama saat itu, seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, dan Julia Suryakusuma.

Saat itulah Lies mulai belajar tentang teori feminis. Awal 1980-an adalah masa ketika peran perempuan sangat dipolitisasi dalam ideologi yang sangat patriarkal dari rezim Orde Baru Suharto. Ideologi itu menempatkan perempuan pada posisi bawahan dalam masyarakat.

Terlepas dari kesadaran tentang status kelas dua perempuan, Lies ingat bahwa para feminis tidak dapat sepenuhnya menjelaskan situasinya. Dia mengatakan perdebatan dan analisis kacau dan orang-orang menggambarkan masalah perempuan dengan istilah yang menyesatkan ‘genderisme’.

Tidak puas dengan penjelasan ini, Lies memulai kerja lapangannya sendiri dengan menggunakan observasi langsung untuk membantunya memahami masyarakat Indonesia dan tempat perempuan di dalamnya.

Sekitar waktu Lies pertama kali memulai lokakarya pelatihan gender ini, semakin banyak perempuan Indonesia yang mulai mengenakan jilbab. Tren ini menyebabkan perpecahan antara feminis sekuler Indonesia dan feminis muslim. Sejumlah feminis muslim mulai menutupi rambut mereka.

Sebagai tanggapan, para feminis sekuler mengadopsi posisi teori feminis barat bahwa jilbab menindas dan perempuan harus melepasnya sebagai tanda kemerdekaan mereka. Lies bisa melihat posisi kedua kelompok tetapi dengan latar belakang Islam yang kuat dia tahu bahwa tidak mungkin untuk menolak sepenuhnya jilbab. Masalah ini harus dipahami dalam konteks ganda Islam dan Indonesia.

Untuk memperkuat pemahaman teoritisnya tentang tantangan tersebut, bersama temannya Wardah Hafidz, Lies mengundang para feminis dan ulama dari negara lain untuk datang ke Indonesia dan membahas feminisme dalam Islam. Para ulama ini (Amina Wadud, Riffat Hassan dan Insinyur Asghar Ali) menawarkan metodologi feminis untuk menafsirkan kitab suci Islam.

Dengan memanfaatkan cara-cara baru untuk menafsirkan Al-Qur’an dan hadits (tradisi Nabi), Lies mulai dengan percaya diri menegosiasikan pertemuan antara feminis Islam dan sekuler. Dia membawa feminis sekuler ke sayap perempuan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dan meyakinkan mereka bahwa jika Anda ingin berbicara tentang masalah perempuan Anda harus berbicara tentang agama.

Kebohongan meyakinkan feminis sekuler bahwa banyak prinsip universal yang terkandung dalam Islam dapat menjadi dasar untuk mempromosikan hak-hak perempuan. Apalagi, seperti yang dikatakan Lies, semua aktivis perempuan punya tujuan yang sama. Kebijakan rezim Orde Baru yang mensubordinasikan dan mendiskriminasi perempuan bisa lebih efektif diatasi jika bekerja sama.

Sekitar tahun 1995, Lies mulai memberikan pelatihan teori gender kepada para pemimpin Islam yang disegani, termasuk Kiai Hussein Muhammad. Kiai Hussein kemudian mengembangkan metodologi sensitif gender yang otoritatif untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Kiai Hussein dan Lies menggunakan pendekatan tersebut saat memberikan lokakarya pelatihan tentang kesetaraan gender dan masalah kesehatan reproduksi di sekolah dan komunitas Islam.

Leave a Response