KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu pengajian kitab bersama para santri, menceritakan alasannya pernah menolak bantuan dari donatur yang jumlahnya mencapai miliaran untuk pembangunan.

Berikut penjelasan Gus Baha:

Konsep kiai itu tidak perlu dibantu orang lain. Kalau dibantu malah tambah ruwet. Saya juga pernah ditawari donator.

“Gus, saya ini punya uang sekian dari Arab Saudi, jumlahnya hampir miliaran. Kalau Gus Baha mau membesarkan pondok, ini saya sumbangkan.” Kata donatur tersebut.

Pikiran saya, buat pondok (pesantren) itu agar orang senang Tuhan. Kalau fasilitasnya banyak, orang suka fasilitas. Bagi saya ini musibah.

Kamu tidak usah ikut-ikut. Aku kiai lebih tahu dari pada kamu. Kamu mengertinya uang, ya teruskan!

Bukannya saya anti pembangunan. Tetapi, saya punya teori yang saya yakini. Karena ciri ulama itu da’a ilaallah, ngajak ke Allah.

Meskipun saya tidak menentang cara pandang “fasilitas baik akan menghasilkan produk yang baik”. Itu urusannya dia yang berpaham demikian. Saya tidak termasuk orang yang berpahama itu. Kiai lebih tahu. Paham nggeh?

Oleh karena itu diingat-ingat. Saya itu pernah (mengalami), tapi kalian jangan niru saya. Kalau ada yang nyumbang terima saja, kalau uangnya banyak terima saja. Ini cerita yang pernah saya alami.

Saya pernah tersiksa dengan hadis,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ مِثْلَهُ

Orang yang membangun masjid, bangun lho bukan i’tikaf, itu bakal dibangunkan rumah di surga.

Saya kasihan beberapa hanya i’tikaf terus tidak pernah bangun. Nanti yang menang yang bangun tapi tidak pernah i’tikaf. Saya pikir, “Wah hadis ini kok agak materealistik”. Tak pikar-piker piye iki?

Saya ini kan penggemar Rasulullah sejati. Saya sholat istikhara’ tentang maksud Nabi ini (dalam hadis tersebut) bagaimana?

Ternyata saya dapat jawabannya itu lucu. Seakan-akan dibacakan ayat

أَوَ مَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ 

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia…” (Al-An’am: 6)

Begini jawabannya, misalnya Rukhin kaya punya masjid mewah. Tentu keinginan Rukhin kalau masjid ini dipakai jum’atan, dipakai jamaah dia dapat pahalanya.

Ok, kita sepakat. Gara-gara ada fasilitas sesuci, orang sholat nyaman dan sebagainya. Kita sepakat sebab Rukhin layak dapat bangunan di surga (بَنَى اللَّهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ).

Tapi pertanyaan berikutnya, apabila tidak ada ulama mengajari sholat benar berarti malah menjadi aliran sesat kan? Karena semua yang sholat di situ dengan cara yang salah. Sesucinya dengan cara yang salah.

Walhasil dalam mimpi itu, “Wes ta Ha’, kowe iku seng ridho, tukang ndandani carane kelakuane wong, ra usah kepengen gawe masjid! (Sudah Ha’, kamu itu yang ridho, bagian cara memperbaiki kelakuan orang, tidak usah punya keinginan bangun masjid!)”.

Lho nggeh makanya, saya di mana-mana itu marah. Orang sekarang sudah goblok massal. Ketika ada orang bisa haji, pasti yang dipuji-puji itu yang uang.

Gara-gara dikasih orang uang 100 juta bisa haji. Oke, kita sepakat gara-gara ada uang 100 juta kita bisa haji.

Tapi, apa artinya bisa haji di Mekkah tapi terus cara tawaf salah, cara wukuf salah, cara sa’i salah. Jadi sah tidak hajimu?

Artinya uang ini hanya mengantar Anda ke pesawat, ke hotel. Tapi, kaifiyatul ibadah (tata cara ibadah) tetap bergantung ke ilmunya ulama.

Kulo nggeh matur nuwun (saya berterima kasih), bahkan sampai mati pun matur nuwun kepada orang beramal kepada kulo. Tapi, kulo tetap GR (yakin) kalau orang yang beramal kepada kulo harus lebih berterima kasih karena nggantung aku, nggantung ilmuku.

Ini buka urusan sombong, tapi proposional.

Apa artinya masjid dan Mekkah mewah misalnya kalau kaifiyah tawaf salah, sa’i salah. Jadi aliran sesat kan?

Coba bayangkan kalau tidak ada ulama. Oleh karena itu ulama tidak usah bangun masjid, tidak usah bangun madrasah. Cukup memperbaiki perilaku umat manusia. Cukup nurron nafsi bihi fiinnas,  yaitu menanamkan paham yang dijadikan nur di hati manusia.

Kalau bukan ulama, harus ikut bangun. Kalau tidak punya uang yang ikut mengangkat bata. Jadi, jelas. Aturan mainnya, kalau tidak bisa semua jangan dengki kepada yang ngimami (sholat). Paham ya?

Kadang kalau tidak bisa semua itu punya dengki. Itu sejelek-jeleknya orang. Tidak urun (iuran), tapi malah dengki. (Hafidhoh Ma’rufah)

Klik sumber pengajian ini di sini.

Leave a Response