Nama Didi Kempot tengah naik daun kembali. Penyanyi kawakan asal Solo ini berhasil menjaring penonton dari kalangan anak muda. Lirik patah hati yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari muda-mudi memang membawa bius tersendiri.

Panggung-panggung musik yang menghadirkan penyanyi yang dijuluki Dewa Patah Hati ini pasti selalu disesaki pengunjung. Para pengunjung asyik menenggelamkan diri dalam lirik menohok yang dibalut musik nan mengundang keinginan untuk berjoget. Semua saling melantunkan lagu yang mereka yang hafal di luar kepala.

Mencuatnya nama Didi Kempot turut membawa angin segar bagi perkembangan musik campursari. Anak muda kini tidak malu untuk mendendangkan lagu yang diaransemen dengan musik campursari. Berbeda dengan kondisi beberapa tahun ke belakang. Ketika musik campursari dianggap ketinggalan zaman dan hanya digandrungi kalangan tua.

Golongan muda tidak ingin dicap kuno. Makanya, mereka menjauhi musik campursari. Apalagi, musik campursari kerap diputarkan saat hajatan pernikahan di kampung-kampung. Sehingga, musik ini diidentikkan untuk masyarakat kelas menengah bawah.

Selera musik memang secara tidak langsung menjadi indikator dari dan kelas mana seseorang itu. Mengklasifikasikan seseorang dalam kelompok high atau low culture. Musik yang menentukan itu.

Jelas kita tidak bisa mengelak. Orang-orang yang menyukai musik jazz, umumnya adalah kalangan atas. Pasalnya, musik jenis ini sulit dijangkau aksesnya oleh mereka yang tinggal di pedesaan atau mereka yang tidak berduit. Coba sesekali iseng mencari info harga tiket untuk pertunjukkan musik jazz, pasti akan dibuat melongo.

Itulah contoh sederhana yang harus kita akui, bahwa musik memang universal tapi sekaligus membedakan masyarakat. Kita pun akhirnya jadi berpura-pura menjadi penggemar musik tertentu agar dikira sebagai masyarakat kelas tinggi. Jadi suka memaksakan diri untuk menggapai apa yang bukan diri kita sesungguhnya.

Namun, musik campursari ini lain.  Entah memang sudah naik kelas atau memang sedang tren saja sehingga didengarkan oleh banyak anak muda lintas golongan ekonomi. Dulu, kita langsung tergagap ketika ketahuan tengah asyik mendengarkan musik campursari. Segala dalih untuk mengelak dilancarkan agar tidak dilabeli sebagai fans berat musik campursari.

Sekarang, justru anak muda yang mengisi barisan terdepan konser musik campursari. Sampai mengalahkan dominasi kaum tua yang lebih memilih mendengarkan musik campursari dari rumah melalui radio dengan kaset usang dan pemutar vcd dengan vcd bajakan.

Anak-anak muda begitu fasih tanpa terbata mendendangkan lagu demi lagu, meskipun terhalang ratusan penonton lain. Mereka tetap antusias berjoget dan bernyanyi padahal panggung tidak kelihatan dan sang diva hanya bisa disaksikan dari layar LCD.

Padahal pakaian dan aksesoris yang dikenakan anak muda ini berasal dari ritel-ritel internasional. Yang harganya mulai dari setengah juta rupiah hingga jutaan rupiah. Sepatu yang melindungi kaki mereka pun bukan tanggung-tanggung. Terlihat ada yang memakai edisi terbatas dari sebuah brand. Jelas bukan produk KW, malu dong. Pasti ori.

Wabah campursari ini akhirnya terdengar sampai telinga penyelenggara konser musik anak muda. Didi Kempot direncanakan bakal pentas di panggung Synchronize Fest. Keputusan tepat yang diambil panitia. Teman-teman saya langsung berbondong-bondong memesan tiket. Mengosongkan jadwal untuk menonton khusus aksi panggung diva sejati musik campursari. Tak hanya teman saya, antusiasme pemuda-pemudi lain juga terlihat dari komentar yang membanjiri akun resmi acara tersebut.

Ketertarikan warganet tergambarkan. Pemesanan tiket awal laris diburu dan cepat ludes. Sungguh Didi Kempot adalah sebuah magnet yang berhasil memikat anak muda untuk menyukai musik campursari.

Apakah fenomena campursari yang berhasil menggeser selera musik anak muda ini bakal bertahan? Saya rasa, iya. Lirik-lirik yang mudah diingat adalah kunci dari populernya sebuah musik. Tak hanya itu, tema yang diangkat dalam musik campursari juga sangat relevan dengan kondisi kaum urban sekarang.

Patah hati, ditinggal menikah, diputusin, menunggu pisahnya seseorang, bercerai, diselingkuhi, dan kesabaran menanti pasangan adalah santapan sehari-hari yang menghiasi kehidupan.

Sehingga anak muda dibuat terkekeh ketika mendengarkan musik campursari. Bukan malah berkerut. Karena musik campursari tak meminta penggemarnya berpikir keras untuk mencerna lirik.

Mungkin, agak kesulitan menangkap pesan dari musik campursari ketika bahasa ibu yang kita pergunakan bukan bahasa Jawa. Pasalnya, Didi Kempot secara penuh memasukkan lirik berbahasa Jawa. Tapi ternyata itu bukan masalah. Buktinya, ketika Didi Kempot manggung di Jakarta, kawula muda Jakarta meresponsnya secara luar biasa. Menghadiri aksi panggung sang seniman papan atas tanpa kesusahan menghayati liriknya.

Sungguh mulia peran Didi Kempot. Merangkul semua kalangan lewat musik campursari dan mengangkat derajat bahasa Jawa.

Semoga karyanya lebih diakui dan diapresiasi. Dan tidak ada lagi yang mengkomersilkan karyanya tanpa memberikan imbalan yang layak untuknya.

Leave a Response