Parlemen Spanyol menyetujui undang-undang baru yang memungkinkan keturunan Yahudi yang terusir karena konflik di penghujung abad 15, untuk menjadi warga negara resmi di negeri itu. Undang-undang ini disahkan pada Juni 2015, yang menjadi dasar warga keturunan Yahudi di berbagai negara, untuk kembali ke tanah nenek moyang mereka. Spanyol memanggil!

Upaya memanggil kembali keturunan Yahudi ini merupakan ‘permintaan maaf’ dan ‘penghapusan dosa’ atas kesalahan historis pada abad tahun 1492.

Waktu itu, penguasa Spanyol menyerang orang-orang Yahudi dan juga Muslim, seraya memaksa agar berpindah agama memeluk Katolik. Siapa saja yang tidak setuju dengan aturan penguasa baru, akan dihukum, dibunuh, bahkan dibakar hidup-hidup.

Kisah pedih di akhir abad 15, yang disebut sebagai periode Inkuisisi, membawa derita bagi pemeluk agama Yahudi dan Islam. Orang-orang Yahudi sebagian melarikan diri ke negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Sebagian lain, yang berusaha tetap mempertahankan agamanya, dibunuh serta dibakar beserta rumah tinggalnya. Ini periode menyedihkan dalam periode interaksi pemeluk agama samawi di Andalusia, di kawasan pesisir Iberia.

Pada 1492, monarki Katolik merasuk ke kawasan pesisir Iberia. Penguasa Arab Moor yang sebelumnya menjadi pemimpin pemerintahan Andalusia, tertawan dan dipenjara. Orang-orang Yahudi dan Muslim melarikan diri, dipaksa pindah agama, atau terbunuh secara mengenaskan. Insiden berdarah di penghujung abad XV di kawasan Eropa, merupakan sejarah kusam bagi peradaban kemanusiaan. Sejarawan menyebutnya sebagai peristiwa ‘inkuisisi’.

Pada 2 Januari 1492, Ratu Isabel dari Castille dan Raja Ferdinand dari Aragon secara resmi menundukkan kawasan Granada. Peristiwa ini menyudahi masa jaya peradaban Andalusia muslim yang bertahan selama 700 tahun. Raja terakhir Andalusia, Abu Abdillah, dipenjara beserta istirnya, Maryam dan putra termudanya, Yusuf. Abu Abdillah kemudian menyeberang ke Maroko, seraya menghabiskan waktunya di pengasingan.

Sejarawan mengungkapkan bahwa ada sekitar 200.000 orang Yahudi di Andalusia pada awal abad 15, sebelum mereka diusir oleh penguasa Monarki Katolik. Masjid-masjid yang berdiri megah di Andalusia diubah menjadi gereja. Kita bisa melacak kisah-kisah pedih itu dalam beberapa karya peneliti. Di antaranya Joseph Perez (The Spanish Inquisition: A History), Henry Kamen (The Spanish Inquisition: A Historical Revision) dan Benzion Netanyahu (The Origins of the Inquisition in Fifteenth Century Spain).

Inkusisi monarki Katolik di pesisir Iberia menenggelamkan kegemilangan peradaban Andalusia yang telah mengukir sejarahnya selama tujuh abad. Pada masa kejayaan Islam Andalusia, orang-orang Yahudi dan Muslim hidup berdamai dalam keseharian. Karya intelektual, kedokteran, filsafat, artitektur, seni, dan lainnya bermunculan dari pemikir-pemikir Andalusia lintas agama. Orang-orang Yahudi dan Muslim secara bebas dan merdeka menghasilkan sumbangsih gagasan, bersama-sama membentuk peradaban Andalusia.

Namun, ketika Ratu Isabel dan Raja Ferdinand menguasai kawasan Andalusia, kehidupan yang damai dan menggairahkan terenggut. Orang-orang Yahudi dan Muslim sebagian besar melarikan diri ke kawasan-kawasan lain. Peradaban Ladino (Yahudi-Spanyol), pelan-pelan terkubur sejarah.

Belajar dari kisah menyedihkan itu, pemerintah Spanyol berusaha menghapus luka sejarah dengan memberi paspor dan peluang menjadi warga negara resmi, kepada keturunan Yahudi Spanyol yang konversi ke Katolik karena kekerasan sejarah. Kebijakan ini didorong oleh kelompok konservatif Spanyol, untuk menyembuhkan luka atas tragedi sejarah pada abad 15.

“Hukum ini menjelaskan siapa kita di masa lalu, siapa kita di masa sekarang, dan apa yang kita inginkan pada masa mendatang: Spanyol yang terbuka, beragam, dan toleran,” ungkap Rafael Catala, Menteri Hukum Spanyol sesaat sebelum hukum itu disahkan pada Juni 2015 lalu (the Guardian, 11 Juni 2015).

Hukum ini memberi peluang kepada orang-orang keturunan Yahudi Spanyol (Sephardic Jews) untuk memegang dua paspor kewarganegaraan. Sebelumnya, telah ada kebijakan serupa yang memberi peluang bagi keturunan ‘Sephardic Jews’ untuk menjadi warga negara Spanyol. Namun, undang-undang pada tahun 1924 itu, mengharuskan satu kewarganegaraan bagi mereka yang ingin menjadi warga negara Spanyol, serta harus bertempat tinggal di negeri itu untuk periode setelahnya.

Undang-undang yang terbaru, memungkinkan keturunan Yahudi Spanyol mendapat dukungan hukum untuk memiliki kewarganegaraan ganda. Di sisi lain, tidak ada kewajiban untuk langsung bertempat tinggal di Spanyol, bagi warga keturunan Yahudi Sephardic yang telah bermigrasi ke negeri lain sejak abad 15 lalu. Terutama, bagi keturunan Yahudi Sephardic yang telah bermukim di negara-negara koloni Spanyol.

Untuk mendaftar sebagai warga negara resmi, Pemerintah Spanyol mensyaratkan agar keturunan Yahudi itu terdaftar dan bersedia ditelusuri silsilahnya oleh Federasi Komunitas Yahudi Spanyol serta mendapat rekomendasi dari Rabbi setempat, di mana ia bermukim. Di sisi lain, pemerintah Spanyol juga mensyaratkan aplikasi ini disertai dengan tes bahasa Spanyol dan pembuktian punya hubungan erat dengan nilai-nilai kultural negeri itu.

Ribuan orang Yahudi Sephardi dari lintas negara telah mendapatkan kebangsaan status Spanyol dan ribuan lainnya dalam proses yang sama.

Federasi Komunitas Yahudi Spanyol (Spain’s Federation of Jewish Communities/FCJE), menyatakan bahwa pihaknya menerima ratusan ribu aplikasi untuk kewarganegaraan Spanyol dari orang-orang Yahudi lintas negara. Di antaranya Mexico (sekitar 30.000), Colombia (26.000), Venezuela (14.000), Argentina (7.000), Israel (4.900) dan Amerika Serikat (5.400).

Selain itu, aplikasi kewarganegaraan juga muncul dari orang-orang Yahudi yang selama ini bermukim di Ekuador, Brazil, Panama, Turki, Prancis, United Kingdom, Serbia dan Montenegro, Afghanistan, Maroko, Chile dan Peru.

Ketika pemerintah Spanyol memberi peluang bagi orang-orang Yahudi untuk kembali ke negeri leluhurnya, bagaimana dengan kebijakan pemerintah Indonesia?

Di negeri ini, orang-orang Yahudi masih menempati ruang marginal, mereka hidup dalam keterpinggiran. Sejarah luka masa lalu serta marginalisasi sejak zaman Jepang menginvasi Nusantara, turut membentuk stereotype atas orang-orang Yahudi di negeri ini. Demikian pula, populisme Islam dan persebaran Islamisme, turut berdampak pada isu-isu anti-Yahudi di negeri ini. Demikian pula, dinamika konflik Israel-Palestina yang turut mendorong kebencian terhadap orang-orang Yahudi di Indonesia.

Bagaimana kita meraba masa depan komunitas Yahudi di Indonesia? Sejarah yang akan menjawabnya.

Leave a Response