Apa arti dan maksud Khilafah Islamiyah? Sebagian umat Muslim terkadang memunculkan pertanyaan ini saat awal-awal mendengar atau membaca sekilas tentang sejarah kekhalifahan dalam Islam. Istilah “khilafah Islamiyah” selain sebagai produk sejarah klasik, pada era modern ini ada segelintir kelompok yang mengkampanyekan dan memperjuangkan tegaknya khilafah. Atau dalam istilah lain disebut daulah Islamiyah.

Ternyata, belakangan ini tidak sedikit umat Muslim yang keliru memahami serta memaknai sejarah. Hal ini akibat hanya sepotong-potong dalam membaca sejarah Islam klasik tersebut. Kita harus tahu bahwa, sejarah sangat beragam versi sumber dan tafsirannya. Apalagi sejarah tentang khilafah merupakan catatan politik di mana aroma kepentingan kekuasan sangat terasa.

Berikut penjelasan mendasar tentang konsep khilafah Islamiyah serta implementasinya dalam konteks Indonesia.

Khilafah (الخلافة) menurut bahasa (etimologi) berarti penggantian, kekhalifahan. Khilafah mempunyai akar kata khalafa (خلف) yang bermakna mengganti. Sedangkan kata yang beriringan dengan khilafah yakni khalifah (الخليفة) berarti pengganti (Lihat Kamus Al-Munawwar, hlm. 361-363). Selanjutnya, untuk makna kata Islamiyah (الإسلامية) berarti yang sesuai Islam.

Adapun khilafah menurut istilah (terminologi) banyak didefinisikan para ahli. Berikut pendapat kalangan ulama atau cendekiawan Muslim Indonesia tentang definisi/pengertian khilafah dalam konteks kekinian.

Khilafah Islamiyah benar-benar bisa ditegakkan di Indonesia yang merupakan negara kesatuan, di mana masing-masing provinsinya tetap memiliki perbedaan. Cita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah teramat jauh untuk bisa direalisasikan. Kecuali ada konsep baru mengenai khilafah, misalnya khilafah diartikan sebagai kesatuan arah (visi), bukan kesatuan pemerintah.

Gerakan khilafah itu lebih didasarkan pada romantisme historis, tidak didasarkan pada realitas historis yang ada. Kekuasaan dinasti-dinasti pada masa itu sangat despotik dan absolut. Karena itu tidak realistis dalam konteks sekarang menuntut untuk menegakkan kembali khilafah.

Konsep khilafah itu tidak ada perintahnya dalam Al-Qur’an, pun juga tidak ada perintah tentang konsep negara sebagai sistem pemerintahan. Karenanya tidak ada kewajiban untuk mendirikan khilafah. Lebih baik agama dan negara itu dipisahkan saja karena agama adalah wahyu dan negara adalah hasil ijtihad supaya tidak timbul absolutisme.

Islam tidak mendorong pembentukan “Negara Islam”—sebagai puncak dari pemikiran tentang agama dan negara. Kita perlu bersyukur, usaha tokoh-tokoh Islam yang hendak menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia gagal terwujud. Apalagi jika yang dimaksud dengan dasar negara Islam itu dikaitkan dengan pelaksanaan syariat Islam.

Penetapan sistem kekhalifahan sebagai satu-satunya yang bersifat syar’i sama bahayanya dengan memutarkan jarum jam ke belakang. Merumuskan teori politik yang egalitarian adalah salah satu tugas mendesak yang harus kita lakukan sekarang dan di masa datang yang tidak terlalu jauh.

Istilah khilafah tidak bersifat politis. Tidak ada di dalam Al-Qur’an. Khilafah artinya adalah kita sebagai manusia merupakan seorang pengelola bumi yang menerima amanat untuk memakmurkan kehidupan di bumi ini. Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifah, bukan berarti khalifah dalam arti politik, lebih tepatnya sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas bumi ini (Gatra, 2019). Sistem khilafah ini pada akhirnya hanyalah sebuah ilusi dan mimpi belaka, kalau hanya membatasi diri pada satu sistem.

Khilafah dalam Islam memang pernah ada konsepnya. Tetapi, salah juga ketika mengatakan khilafah satu-satunya model kepemimpinan dalam Islam, karena banyak contoh lain yang pernah diterapkan. Empat sahabat Nabi, Abu Bakar dipilih melalui sistem musyawarat terbatas, Umar bin Khattab dipilih karena ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman bin Affan terpilih atas panitia yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dipilih oleh satu kelompok sedangkan ada satu kelompok lainnya tidak mengakui.

Maka, jangan mati-matian mengatakan semua yang tidak khilafah adalah salah. Jadi, dalam konteks Indonesia jangan memaksakan kehendak menegakkan khilafah. Sepanjang sejarah Islam tidak semuanya menganut khilafah. Jangan juga alergi terhadap khilafah. Tetapi, kita serahkan kepada permusyawaratan, karena itulah yang paling tinggi dalam Al-Qur’an. Jika hasil musyawarah kita NKRI, maka itu yang terbaik untuk kita. Jangan lagi mengatakan NKRI itu negara kafir.

Tidak ada sama sekali istilah khilafah dalam Al-Qur’an. Hanya dua kali Al-Qur’an menggunakan istilah Khalifah, yang ditujukan untuk Nabi Adam (QS. Al-Baqarah [2]: 30) dan untuk Nabi Dawud (QS. Shad [38]: 26).

Kitab suci Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa ayat 59 memang disebutkan tentang perintah untuk menaati Allah, Rasul dan Ulil amri. Dalam terjemahan populer, ulil amri bermakna pemimpin suatu kelompok yang memiliki otoritas dan teritorial kekuasaan.

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Nahdlatul Ulama (NU) dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diadakan di Jakarta pada tanggal 1-2 November 2104 memutuskan beberapa poin penting sehubungan dengan khilafah, sebagaimana dilansir dari situs NU Online:

Pertama, Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar (mabadi` asasiyyah). Islam telah memberikan panduan (guidance) yang cukup bagi umatnya.

Kedua, mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan manusia akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh pernyataan para ulama terkemuka, antara lain:

1) Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` ‘Ulum al-Din:

الدين والملك توأمان، فالدين أصل والسلطان حارس، فما لا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع

“Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi, akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan.”

2) Syaikh al-Islam Taqi al-Din Ibn Taimiyyah dalam as-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’i  wa al-Ra’iyyah:

إن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، إذ لا قيام للدين إلا بها

“Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak (dalam sebuah pemerintahan dan negara) adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara.”

Ketiga, Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajaran agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan.

Keempat, Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states).

Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.

Sistem khilafah merupakan masalah ijtihadiyah sebagaimana hasil keputusan hukum pada Konferwil Genggong Tahun 2007. Syekh Waliyuddin Abu Zurah Ahmad Al-Iraqi dalam karyanya yang berjudul al-Ghaitsul Hami’ ‘ala Syarhi Jam’i al-Jawami’ menjelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah menjelaskan tentang sistem pemerintahan tertentu. Sistem negara dan pemerintahan merupakan ijtihad para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Untuk memperkuat argumentasi ini, Syekh Waliyuddin mengutip pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Muslim.

قلت: مراده أنه عليه الصلاة والسلام لم يستخلف نصا أو تصريحا كما قدمته وقد قال النووى فى شرح مسلم : فيه دليل على أن النبي صلى الله عليه وسلم لم ينص على خليفة وهو إجماع أهل السنة وغيرهم

ولكنه لم ينص لا على أمة الإسلام يجب أن يتطابق معها ملك الإسلام أو دولة الإسلام ولا على من يختلف الرسول فى تدبير شؤون هذه الأمة ولا حتى على ضرورة أن يكون هناك من يختلفه فذلك بل ترك المسئلة للمسلمين وكأنها داخلة فى قوله عليه الصلاة والسلام أنتم أدرى بشؤون دنياكم اه

Pertama, bangsa Indonesia bisa lepas dari penjajahan sebab perlawanan dari masyarakat dan para tokoh yang berlatarbelakang agama yang berbeda-beda.

Kedua, dasar dan sistem negara Indonesia berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan agama tertentu.

Ketiga, mayoritas Muslim Indonesia merupakan jamaah yang  berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang mana kedua ormas memandang Indonesia sudah ideal sebagai negara kesatuan, bukan sebagai negara agama.

Keempat,  mayoritas ulama di Indonesia memahami bahwa tidak ada sistem baku tentang pemerintahan Islam, termasuk khilafah pun tidak ada di dalam sumber primer ajaran Islam; Al-Qur’an dan Sunnah. Mayoritas mengetahui bahwa khilafah merupakan salah satu ijtihad politik, sehingga bukan satu-satunya gagasan politik dalam Islam.

Kelima, sistem khilafah tidak sesuai dengan konteks zaman sekarang. Pengusung khilafah merujuk sistem pemerintahan pada era Umayyah, Abbasiyah, hingga Usmaniyah. Padahal sekarang, sistem pemerintah saat ini sudah bergeser menjadi nation state. Lalu ditambah populasi Muslim di seluruh dunia mencapai lebih dari 1,8 miliar, yang berbeda-beda mazhab, aliran, ormas, komunitas, dan sebagainya. Keragamaan Muslim ini tentu berbeda pemahaman dan kepentingan, apalagi ini soal urusan politik. Sejarah membuktikan, bahwa perbedaan kepentingan politik menjadi salah satu faktor konflik, perpecahan dan peperangan, termasuk yang dialami oleh umat Muslim.

Leave a Response