Asmah Syahruni, Aktivis Tangguh Muslimat NU
Muslimat NU adalah organisasi perempuan di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang mewadahi kaum perempuan untuk turut aktif dalam mendakwahkan ajaran Islam. Organisasi yang berdiri pada 29 Maret 1946 M ini, mempunyai tujuan untuk menyadarkan perempuan Islam Indonesia akan kewajibannya supaya menjadi ibu yang sejati. Sehingga mereka dapat turut memperkuat dan membantu pekerjaan NU dalam menegakkan Islam.
Berbagai tokoh perempuan pun lahir dari organisasi ini. Di mana para tokoh perempuan tersebut mempunyai peran besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Salah satu tokoh yang lahir dari Muslimat NU dan mempunyai peran besar dalam sejarah bangsa Indonesia adalah Asmah Syahruni. Sosok aktivis perempuan dari Kalimantan Selatan yang pernah menjabat ketua Muslimat selama tiga periode dan juga aktif dalam dunia politik.
Asmah lahir pada 28 Februari 1927 M di Rantau, Kandangan, Kalimantan Selatan. Beliau terlahir dari pasangan Buhajar dan Imur. Kedua orang tuanya adalah orang yang sangat teguh memegang tradisi. Asmah sendiri merupakan anak pertama dari sembilan bersaudara. Ia anak yang selalu dekat dengan orang tuanya.
Sebagai anak pertama, beliau sering menggantikan peran kedua orang tuanya. Sedangkan nama Syahruni adalah nama sang suami dan masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya.
Pada masa kecil Asmah, pendidikan bagi perempuan masih sulit dan langka. Hal tersebut dilatarbelakangi adanya anggapan bahwa pendidikan bagi kaum perempuan tidaklah penting. Yang penting pada waktu itu adalah adanya tenaga kerja yang bisa membantu keluarga.
Sehingga anak-anak perempuan harus segera dicarikan suami unyuk menambah tenaga kerja keluarga. Dan ketika seorang perempuan tidak segera dinikahkan dianggap sebagai sebuah aib. Hal tersebut tidak lain adalah budaya yang diciptakan oleh penjajah kepada orang pribumi, supaya tidak pernah maju. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Asmah Syahruni.
Asmah sejak kecil sudah mengenyam dunia pendidikan, setidaknya pendidikan dari keluarganya sendiri. Karena lahir dari keluarga yang tahu tentang agama, Asmah sering diajari oleh ayahnya bagaimana cara membaca Alquran dengan baik, kemudian belajar fikih, dan tauhid sebagai pijakan awal.
Namun ayah Asmah juga menginginkan putrinya itu mengenyam pendidikan umum untuk bekal masa depan. Di mana pada waktu itu, pendidikan umum bagi perempuan sulit didapatkan walaupun pada tingkat Sekolah Rakyat.
Namun hal tersebut tidak menghalangi Asmah dan keluarganya untuk mendukung putrinya tersebut mendapatkan pendidikan. Sebagai seorang yang ingin maju dan dengan adanya kesempatan, Asmah pada akhirnya masuk ke sekolah umum.
Hal ini juga tidak lepas dari peran kakeknya yang merupakan tokoh masyarakat dan bibinya yang seorang guru. Ia akhirnya bisa masuk ke sekolah umum. Walaupun harus ditempuh dengan jarak yang sangat jauh dengan berjalan kaki.
Asmah masuk ke sekolah dasar dan diajar langsung oleh bibinya yang merupakan sosok nasionalis tulen. Oleh bibinya tersebut, Asmah juga diajari tentang syair yang mengandung makna perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Di mana saat itu, tidak ada seorang pun yang berani melantunkan syair tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh Musthafa Helmy dalam karyanya Asmah Syahruni: Muslimah Pejuang Lintas Zaman, syair yang dajarkan oleh bibinya tersebut berjudul “Di Timur Matahari” yang teksnya sebagaimana berikut:
“di timur matahari, mulai bercahya, bangun dan berdiri kawan semua, marilah mengatur barisan kita, pemuda pemudi Indonesia.”
Sejak kelas empat, Asmah mulai merasakan perbedaan cara berfikir dengan orang tuanya. Bahkan terkadang muncul pertentangan pandangan dengan keluarganya, terutama dari keluarga ayah. Karena di keluarga ayahnya, tidak ada saudara perempuannya yang sekolah. Beliau juga sempat diberhentikan oleh ayahnya selama dua tahun dari sekolah. Namun ia bisa meneruskan kembali sekolahnya dan lulus di usia 14 tahun sekolah dasar yang tingkatan kelasnya hanya sampai di kelas lima.
Setelah menikah, Asmah kemudian berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di Sekolah Rakyat III. Sedangkan sang suami yaitu Syahruni, mengajar di Sekolah Rakyat I. Pada tahun 1943 hingga 1954, Asmah menjadi guru dan pernah menjadi guru di Futsu Tjo Gokko yang merupakan sekolah bentukan Jepang yang setara dengan sekolah dasar yang ada di Rantau I. Beliau juga pernah menjadi wakil Futsu Tjo Gakko di Rantau III. Dan malang melintang sebagai pendidik mulai di Sekolah Rakyat VI di Rantau III, Sekolah Rakyat VI Batang Kulur Kandangan dan Sekolah Rakyat VI di Ulin Kandangan.
Dengan berbagai kiprahnya dalam dunia pendidikan yang umum tersebut, bukan berarti Asmah tidak bergulat dengan pendidikan agama. Bersamaan dengan karirnya sebagai seorang guru, beliau juga aktif dalam mengikuti pendidikan keagamaan. Adanya rasa masih kurang dalam soal agama, membuatnya sering mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan oleh para Kiai NU di tempatnya.
Dari mengikuti berbagai pengajian tersebut, Asmah bukan hanya mendapatkan ilmu agama. Tetapi beliau juga mengenal dan dikenal oleh para tokoh NU. Berbagai aktivitas tersebut, kemudian membuatnya paham tentang NU dan bergabung dengan NU dan Muslimat NU.
Ketika Jepang menjajah Indonesia, Asmah juga pernah ikut aktif di dalam perkumpulan wanita bentukan Jepang di daerah-daerah yang diketuai oleh bupati yaitu Fujinkai. Namun aktivitasnya di Muslimat NU membuat dirinya ingin berkiprah lebih luas lagi. Beliau merasa saat bergabung dengan Muslimat NU tidak ada pengekangan terhadap perempuan untuk berkiprah dan berperan lebih luas.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa. Asmah mulai aktif di Muslimat NU pada 1952 dan pernah diberi kepercayaan memimpin Muslimat NU Kalimantan Selatan dan mendapat hak untuk membentuk beberapa cabang.
Beliau juga pernah diangkat menjadi konsulat Muslimat NU Kalimantan Selatan 1952-1956. Dari aktivitasnya dalam organisasi perempuan tersebut, Asmah kemudian mengubah arah kehidupannya dari dunia pendidikan ke dunia politik organisasi.
Muktamar NU dan Kongres Muslimat di Surabaya tahun 1954, adalah awal mula nama Asmah Syahruni dikenal di kalangan luas NU. Bukan hanya di kalangan wilayahnya sendiri, tetapi juga di luar Kalimantan. Pada masa ini, Asmah juga dipilih menjadi anggota panitia penyusun anggota konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Pemilu 1955 saat NU masih menjadi partai politik. Muslimat NU juga menunjuknya untuk menjadi wakil ketua.
Ketika Pemilu 1955, Asmah menjadi wakil NU di daerahnya dan beliau juga terpilih menjadi anggota DPR yang membuatnya melenggang ke Senayan. Sebagai seorang pendidik, politikus dan organisator, Asmah Syahruni pernah diamanahi menjadi ketua PP Muslimat NU sebanyak tiga periode.
Ketika berada di Jakarta, Asmah tidak hanya aktif di dunia politik saja. Beliau juga masih aktif di Muslimat NU. Yang pada Kongres VII di Jakarta 1959, Kongres VII di Solo 1962 dan Kongres IX di Surabaya 1967 memberi kepercayaan kepadanya sebagai ketua II PP Muslimat. Pada Kongres X di Semarang 1979, Kongres XI Probolinggo 1984 dan Kongres XII Yogyakarta, Asmah Syahruni selalu mendapat amanah untuk menjadi ketua umum Muslimat NU.
Dalam kehidupan, titik balik dalam perjuangannya memang tidak bisa dilepaskan dari kekuatan mental, keberanian dan pengorbanan. Hal inilah yang pernah terjadi dalam diri Asmah Syahruni, yaitu saat terpilih menjadi anggota DPR dan akan berangkat ke Jakarta.
Demi tercapainya cita-cita besar dan pemenuhan tanggung jawab sebagai anggota DPR dan aktivis Muslimat, Asmah Syahruni rela menjual rumahnya untuk ongkos berangkat ke Jakarta bersama suaminya. Bahkan ketika sampai di Jakarta, beliau hanya memegang uang sisa untuk mengontrak rumah tanpa perabotan.
Tahun 1965, NU menuntut pembubaran PKI dan Asmah Syahruni pun ikut andil dalam merealisasikan tuntutan tersebut. Beliau memimpin demontrasi besar yang diikuti oleh perempuan muda dan ibu-ibu, jauh sebelum muncul kesatuan-kesatuan aksi menuju Kostrad. Dengan berada di atas tank, Asmah Syahruni menyerukan kutukan terhadap PKI dan menuntut supaya ABRI bertindak membubarkan PKI.
Asmah Syahruni juga sering menyuarakan tentang pentingnya peran perempuan dalam perjuangan membangun bangsa, perempuan harus bangkit dan berpendidikan. Selain itu, beliau juga mampu membawa Muslimat NU menyeimbangi organisasi perempuan lain seperti Aisyiah dari Muhammadiyah.
Saat memimpin Muslimat NU, Asmah Syahruni juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat luwes dan responsif. Sikap yang diambil dalam melihat persoalan bangsa selalu berorientasi pemahaman fikih dan tradisi keilmuan ulama.
Dari sosok perempuan tangguh yang bernama Asmah Syahruni kita bisa belajar bahwa pendidikan bagi kaum perempuan itu sangat penting. Dan demi cita-cita besar dan tanggung jawab sebagai seorang manusia, kita memang harus mempunyai mental yang kuat, keberanian dan perlu adanya pengorbanan.