I’tikaf pada umumnya dilakukan umat muslim laki-laki dan perempuan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Namun, di tengah situasi wabah saat ini, beberapa problema muncul. Salah satunya adalah bagaimana i’tikafnya perempuan saat wabah corona?

Dalam kajian fiqih madzhab, syarat dan rukun I’tikaf menurut kalangan ulama jumhur itu ada 4, antara lain: orang yang i’tikaf (mu’takif), adanya niat mu’takif, tempat dilangsungkannya i’tikaf dan diam di dalam tempat i’tikaf tersebut. Para ulama dari kalangan Madzhab Abu Hanifah, meringkas keempat syarat dan rukun tersebut sebagai satu, yaitu diamnya seseorang di dalam masjid saja.

Meskipun demikian, kalangan ulama ini, tidak menafikan akan keberadaan 3 syarat lainnya, melainkan dicakup dalam satu rukun diam di dalam masjid saja. Oleh karenanya, yang nampak di permukaan hanya satu rukun, padahal hakikatnya adalah tiga rukun.

Sementara itu, kalangan ulama Madzhab Maliki, menyebut keempat rukun, dengan menambah satu syarat dan rukun lainnya yaitu keharusan seorang mu’takif berpuasa. Alhasil, diamnya seseorang di masjid, namun tidak berpuasa, maka i’tikafnya tidak sah. Sementara kalangan Syafiiyah dan Hanabilah, bersepakat akan keempat rukun yang telah disebutkan.

Adapun ketentuan mengenai kriteria mu’takif, para ulama’ fiqih bersepakat bahwa i’tikafnya laki-laki dan perempuan, meskipun masih berusia anak-anak dan mumayyiz, hukumnya adalah sah. Beberapa syarat mu’takif lain yang ditambahkan adalah pelakunya harus: Islam, beraqal, mumayyiz, naqa’ (masa terputus dari haidl atau nifas), dan suci dari hadats besar (jinabah).

Selama ketentuan mengenai mu’takif ini terpenuhi, dan memenuhi keempat rukun di atas, maka hukum i’tikafnya mu’takif, adalah sah. Sudah barang tentu, dengan tidak mengenyampingkan adanya catatan lain mengenai i’tikaf menurut Madzhab Maliki, yaitu, keharusan orang yang i’tikaf itu sebagai yang berpuasa.

Ada sebuah catatan dari Syeikh Ibnu Hajar al-‘Asyqalany di dalam karya masterpice-nya, Fathu al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari. Beliau menukil sebuah keterangan dari Ibnu Mundzir rahimahumullah sebagai berikut:

إن المرأة لا تعتكف حتى تستأذن زوجها، وأنها إذا اعتكفت بغير إذنه كان له أن يخرجها فإن كان بإذنه هل له أن يرجع فيمنعها؟ خلاف على ثلاثة أقوال: الأول: إذا أذن لها الزوج، ثم منعها أثم بذلك، وامتنعت. وهذا قول أهل الرأي. الثاني: ليس له ذلك، وبهذا قال مالك، وهذا الحديث حجة عليهم. الثالث: له أن يرجع فيمنعها

“Sesungguhnya seorang perempuan tidak boleh i’tikaf sehingga meminta ijin suaminya. Dan bilamana ia nekad i’tikaf tanpa seidzinnya, maka boleh bagi suaminya memerintah agar keluar dari i’tikafnya. Maka jika suaminya telah mengidzinkan sebelumnya, apakah boleh suaminya itu menarik izinnya dan melarangnya? Terdapat tiga perbedaan pendapat: 1) apabila suaminya telah mengizinkan sebelumnya, kemudian balik ia mencabut izin itu dan melarangnya, maka tercegahlah ia dari melakukan i’tikaf. Pendapat ini merupakan pendapat ahlu al-ra’yi (Hanafiyah). 2) Suaminya tidak berhak untuk melarang. Ini adalah pendapat Imam Malik, dan hadits tentang Aisyah itu dijadikan landasan hujjah bagi para ulama Malikiyyah. 3) Suami boleh menarik izinnya dan melarangnya secara mutlak.” (Ibn Hajar al-Asyqalany, Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 4, halaman 323).

Selanjutnya, dengan tidak mengabaikan keterangan di atas, Syeikh Ibnu Hajar al-Asyqalany menyatakan:

المسجد شرط للاعتكاف؛ لأن النساء شرع لهن الاحتجاب في البيوت، فلو لم يكن المسجد شرطاً ما وقع ما ذُكر من الإذن والمنع، ولاكتفى لهن بالاعتكاف في مساجد بيوتهن

“Masjid merupakan syarat utama melakukan i’tikaf. Namun, karena perempuan itu disyariatkan agar melakukan ‘iddah di rumah saja, maka andaikan saja masjid bukan merupakan syarat bagi kondisi yang telah kami sebutkan tadi, yaitu keharusan adanya izin suami dan bila tidak maka terhalang baginya i’tikaf, maka tentu cukup baginya beri’tikaf cukup di dalam masjid rumahnya saja.” (Ibn Hajar al-Asyqalany, Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 4, halaman 323).

Menariknya dari pendapat ini, adalah pernyataan bolehnya seorang perempuan melakukan i’tikaf di masjid bait. Sudah pasti ketentuan ini, keluar dari kriteria masjid menurut madzhab Syafii sebagaimana telah disebutkan terdahulu, yaitu masjid jami’, mushalla, zawiyyah dengan batas utama harus wakaf. Adanya ketentuan harus wakaf ini, sudah pasti menafikan keberadaan masjid bait (tempat salat di rumah). Bagaimanapun juga, seseorang bisa mendirikan atau menyediakan tempat khusus untuk melakukan salat bersama keluarga di rumah. Dan tempat khusus ini ditengarai sebagai masjid bait.

Sudah pasti, pendapat ini sangat kontras dengan pernyataan Imam Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarah Nawawi, yang menyatakan:

إن الاعتكاف لا يصح إلا في المسجد؛ لأن النبي -صلى الله عليه وسلم- وأزواجه وأصحابه إنما اعتكفوا في المسجد مع المشقة في ملازمته، فلو جاز في البيت لفعلوه ولو مرة لا سيما النساء؛ لأن حاجتهن إليه في البيوت أكثر

“Sesungguhnya i’tikaf tidak sah bila tidak di masjid. Karena sesungguhnya Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama istri-istri beliau dan para sahabat senantiasa i’tikaf di masjid, meski dengan susah payah dalam melaksanakannya. Andaikan dibolehkan melakukannya di rumah, maka pasti beliau-beliau itu akan melakukannya, meskipun itu sekali, apalagi bagi para istri, karena hajat mereka dirumah itu justru lebih besar bila dibanding di masjid”. (Syarah Nawawi ‘ala Muslim, Juz 4, halaman 201)

Padahal, Imam Nawawi adalah termasuk salah satu pembesar dari Madzhab Syafii. Bagaimana mungkin Imam Nawawi bisa bertentangan dengan pernyataan kebolehan melakukan i’tikaf di rumah sebagaimana yang disinggung oleh Syeikh Ibnu Hajar di atas? Dan bagaimana mungkin pula, Syeikh Ibnu Hajar menisbikan adanya ketetapan bolehnya i’tikaf di rumah? Padahal ada pernyataan Imam Syafii yang menegaskan:

لا تعتكف إلا في مسجد بيتها، ويجوز في غيره مع الكراهة

Perempuan tidak boleh i’tikaf melainkan di masjid rumahnya. Akan tetapi boleh bersama kemakruhan baginya bila melakukan di masjid selain masjid rumahnya.” (Ibn Hajar al-Asyqalany, Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 4, halaman 323).

Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata kedua penegasan di atas, sumber asalnya adalah berdasarkan pendapat Imam Syafii yang tertuang di dalam Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Menurut qaul qadim, Imam Syafii menyatakan bolehnya perempuan melakukan i’tikaf di masjid rumah. Jika tidak, maka ia jatuh dalam kemakruhan.

وقد أطلق الشافعي كراهته لهن في المسجد ، الذي تصلى فيه الجماعة ، واحتج بحديث الباب ، فإنه دال على كراهة الاعتكاف للمرأة إلا في مسجد بيتها ؛ لأنها تتعرض لكثرة من يراها

“Imam Syafii memutlakkan sifat kemakruhan perempuan yang i’tikaf di masjid, yakni tempat di mana banyak para jamaah laki-laki salat di dalamnya. Beliau berpedoman pada hadits Aisyah juga dan menyatakan bahwa hadits itu menunjukkan sifat kemakruhan i’tikafnya perempuan, kecuali di masjid rumahnya. Alasannya, karena ia bisa dilihat oleh banyak orang.” (Ibn Hajar al-Asyqalany, Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 4, halaman 323).

Sementara dalam qaul jadid, Imam Syafii menegaskan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di dalam masjid. Di luar masjid sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, maka i’tikafnya tidak sah. Lihat Syarah Nawawi ‘ala Shahihi  Muslim, Juz 4, halaman 201.

Oleh karena pendapat di atas keluar dari pernyataan satu Imam Madzhab, maka dari itu, langkah terbaik dalam situasi Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini adalah menerapkan kaidah:

الأمر إذا ضاق اتسع إذا اتسع ضاق

“Urusan itu kalau terlalu sempit maka diperluas, dan jika terlalu luas, maka dipersempit.” (al-Asybah wa al-Nadhair).

Maksudnya adalah, masjid tetap merupakan syarat sah dari melaksanakan i’tikaf. Akan tetapi, karena perempuan memiliki illat wajib lainnya yang harus dipenuhi, yaitu wajib adanya izin dari suami untuk beri’tikaf, dan adanya syariat yang mengharuskannya untuk menjaga diri dari pandangan orang lain selain suami dan mahramnya. Maka baginya, memenuhi perintah wajib ini adalah yang lebih utama. Dengan demikian, taraf hukum minimal agar ia tetap bisa beri’tikaf adalah memakai hukum masjid dalam scope yang paling kecil, yaitu masjid rumah.

Alhasil, sah bagi perempuan melakukan i’tikaf di rumah, karena dlarurat syar’i, meski tanpa memandang kondisi pandemi covid-19 karena illat sebagaimana telah disebutkan di atas. Dan pendapat ini ternyata diwadahi semua oleh dua ulama Madzhab terdahulu lainnya, yaitu Madzhab Hanafi dan Maliki. Akan tetapi, tidak oleh Madzhab Hanbali, disebabkan adanya pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal yang dinuqil oleh Syeikh Ibnu Hajar al-Asyqalany, sebagai berikut:

وفي رواية لهم أن لها الاعتكاف في المسجد مع زوجها وبه قال أحمد

“Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa bagi perempuan boleh melakukan i’tikaf di masjid bersama suaminya. Dan pendapat ini dinyatakan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal.” (Ibn Hajar al-Asyqalany, Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 4, halaman 323).

Alhasil, sebagai solusi i’tikaf di tengah Pandemi Covid-19 ini, bagi kaum perempuan, dibolehkan melakukan i’tikaf di masjid rumahnya karena faktor kemaslahatan bagi dirinya. Adapun untuk kaum laki-laki, i’tikaf minimal yang dibolehkan baginya dan dicakup oleh tiga ulama madzhab, adalah berada di musholla. Akan tetapi pendapat ini dengan sedikit mengabaikan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Leave a Response