Bagaimana Kesalehan Sosial Para Jamaah Sepulang Berhaji?
Pada dasarnya kemabruran sebuah ritual ibadah, termasuk ibadah haji, tidak hanya terletak pada praksis pelaksanaan ibadah itu sendiri secara syari’ah, tetapi juga pada dampak yang ditimbulkan dari ibadah tersebut terhadap kehidupan individual dan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Dengan kata lain sepulang melaksanakan ibadah haji, para jemaah idealnya dapat meningkatkan derajat kesalehan sosial yang memberi manfaat kepada kehidupan masyarakat sekitar. Harapan ini menjadi sesuatu yang wajar karena dalam tradisi masyarakat Indonesia, orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji, selain telah melaksanakan rukun Islam yang terakhir, juga secara sosial akan menempati derajat yang terhormat dilingkungan masyarakat dimana mereka berkiprah. Hal ini nampak pada gelar yang disematkan oleh masyarakat dengan sebutan “haji” bagi mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji ini.
Sebagaimana diketahui bahwa pada sebagian masyarakat Islam tertentu, ibadah haji merupakan salah satu ritual ibadah memiliki dimensi spiritual dan sosial. Secara spiritual keutamaan ibadah haji tergambar dalam dalil-dalil naqli baik al-Quran maupun al-Hadits yang menempatkan posisi orang yang beribadah haji secara mabrur sebagai calon penghuni surga.
Sementara secara sosial privilege terbentuk sebagai penghormatan masyarakat kepada mereka yang sudah melaksanakan haji sehingga mereka menempati kedudukan istimewa dalam kehidupan keagamaannya. Hal demikian mendorong antusiasme masyarakat untuk berhaji yang terbukti dengan besarnya minat masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji dalam setiap tahunnya.
Dengan gelar dan meningkatnya status sosial para haji, mereka diharapankan dapat memiliki peran sosial ini. Artinya, derajat kesalehan sosial para jemaah sepulang dari berhaji (pasca haji) akan meningkat dengan melekatnya gelar dan status sosial ditengah masyarakat.
Penelitian tentang peran sosial para jemaah pasca-haji ini diarahkan untuk melihat bagaimana ibadah haji dalam mendorong terbentuknya status dan peran sosio-religius dari para jemaah pasca ibadah haji dalam membentuk kesalehan individual dan sosial.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat fenomenologis, agar mendapatkan pemahaman dan penafsiran masyarakat secara mendalam terhadap ibadah haji ini. Dalam penelitian ini digunakan tiga teknik pengumpulan data. Pertama, observasi yang dilakukan dengan mengikuti berbagai kegiatan kemasyarakatan, seperti musyawarah warga, pengajian dan kegiatan sosial lain dimana peran-peran sosial para jemaah haji dapat terlihat dalam berbagai peran merka dalam kegiatan sosial dilingkungan mereka.
Kedua, wawancara. Wawancara ini ditujukan kepada para jamaah haji, para kyai dan ustad, pelaku biro perjalanan haji dan umrah, Dewan Kemakmuran Masjid, kepala desa Cibiru Hilir Kab. Bandung, Kepala Seksie haji di Kementrian Agama Jawa Barat, Ksie Haji di Kab. Bandung dan Kab. Garut. Teknik pengumpulan data yang ketiga adalah kajian pustaka. Penelitian ini dilakukan di dua wilayah di Jawa Barat, yaitu Kab. Bandung dan Kab. Garut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para jemaah haji di wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, sekembali mereka dari tanah suci umumnya terhimpun dalam ikatan alumni jemaah haji yang dikelola oleh pihak KBIH dimana mereka terdaftar sejak awal bimbingan haji. Karena itu aspek peran jemaah haji juga terkait dengan pelayanan di masing-masing KBIH.
Banyak variasi kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh KBIH ini, seperti pengajian dan arisan yang dilakukan setiap bulam. Aspek pembinaan silaturahmi ini diperkuat dengan bimbingan yang berkelanjutan dari pihak KBIH terhadap para alumni bimbingannya.
Dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan lebih cenderung pada kegiatan yang bersifat penguatan pemahaman keagamaan. Sementara untuk kegiatan sosial yang berdampak pada kehidupan masyarakat hanya bersifat incidental saja. Hal ini dilakukan misalnya dalam bentuk kerja sosial untuk membantu masyarakat yang terdampak bencana alam.
Selain itu, status haji tidak secara otomatis meningkatkan derajat sosial dan memberikan peran sosial pada para jemaah haji. Pada kasus tertentu, status haji hanya memeberikan legitimasi pada peran-peran sosial yang sudah ada sebelumnya.
Pada kenyataannya gelar haji mampu memperkuat posisi sosial mereka di tengah-tengah masyarakat, tetapi bukan sebuah gelar yang menentukan terbentuknya peran tersebut. Status haji mampu mendorong pada peningkatan peran (role taking) di masyarakat.
Pada konteks jemaah haji di wilayah Garut, transformasi spiritualitas kesalehan individual umumnya meningkat. Sebutan haji pada dasarnya adalah sebuah beban dan control sosial pada orang yang sudah melaksanakan ibadah haji.
Gelar tersebut membuat orang yang menyandangnya merasa malu untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas di masyarakat terlebih untuk mengerjakan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang ada dalam ibadah haji itu sendiri. Pada konteks ini haji dapat menumbuhkan kesadaran individual. Kesadaran individual dapat mendorong pada transformasi sosial.
Misalnya dengan menjalankan peran-peran kemasyarakatan seperti menjadi menjadi pengurus masjid (DKM), menjadi muadzin, bahkan menjadi ketua RW dan RT dilingkungan masyarakat merupakan bentuk kepercayaan masyarakat pada pribadi-pribadi jemaah haji yang memiliki sikap yang baik di mata masyarakat.
Bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Garut, sebutan haji adalah sebuah beban sekaligus control yang membuat mereka menjadi lebih berhati-hati dalam berperilaku di tengah-tengah masyarakat. Proses terbentuknya kesalehan sosial sebagai bentuk kesdaran substantif dari ibadah haji terletak pada proses refleksi baik secara individual maupun secara kelompok.
Dalam hal ini, peran lembaga-lembaga keagamaan seperti masjlis taklim akan membantu dalam proses pembentukan kesadaran substantif ini. Di kalangan jemaah haji upaya ini dilakukan misalnya dengan membentuk majlis-masjlis taklim yang menghimpun alumni jemaah haji. Melalui pertemuan dan pengajian upaya untuk memelihara kemabruran dalam bentuk kepedulian sosial terus diperlihara.(AL)
Tulisan ini adalah rangkuman dari desiminasi penelitian yang dilakukan oleh Anik Farida dan Dede Syarif yang diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2020.
Ilustrasi: Viva