ibadah haji pada hakikatnya merupakan ibadah personal, namun dalam pelaksanaannya tidak terhindarkan bersifat kolosal, dan oleh sebab itu hadirnya peran pemerintah dan pihak-pihak terkait merupakan suatu keniscayaan mengingat pentingnya perlindungan terhadap jemaah haji serta kelancaran proses ibadah haji tersebut, dari Tanah Air hingga ke Saudi Arabia dan kembali lagi ke Tanah Air.

Sebagai ibadah kolosal, penyelenggaraan ibadah haji pun tidak lepas dari perhatian pemangku kebijakan. Dalam UU No 17 tahun 1999 dinyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan kepengurusan penyelenggaraan yang baik, agar perlaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama, serta jemaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga memperoleh haji mabrur.

Perkembangan mutakhir dengan perhatian pemerintah di atas, dibuktikan lagi dengan munculnya undang-undang penyelenggaraan ibadah haji yang baru. Dengan diundangkannya UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelelenggaraan Ibadah Haji, bukan hanya menegaskan komitmen pemerintah pusat, namun semakin memastikan terjaminnya kualitas pelayanan jemaah haji oleh pemerintah daerah. Salah satunya pelayanannya adalah transportasi jemaah haji.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) juga tidak luput dari perhatian terhadap calon jemaah haji. Pemprov Sulut menyiapkan dana subsidi untuk jemaah haji yang diberitakan bahwa jemaah calon haji (JCH) menerima Rp 3,5 juta, dan jumlah yang sama juga diberikan kepada Tim Pembantu Haji Daerah (TPHD) yang berangkat bersama-sama ke Tanah Suci. Jumlah ini hampir naik tiap tahunnya.

Akan tetapi, sayangnya belum dijelaskan secara rinci seperti apa komponen transport lokal para jemaah haji dari Provinsi Sulawesi Utara. Proses pencairan subsidi itu sendiri masih menyisakan pertanyaan terkait dasar hukum dan mekanisme pendistribusiannya.

Dalam penelitian ini, dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus riset ini, yaitu:

1) Apa yang melandasi tingginya komitmen Pemprov Sulawesi Utara terhadap jemaah calon haji dan jemaah haji di wilayah Sulawesi Utara?

2) Bagaimana mekanisme penyaluran subsidi terhadap Jemaah haji dilakukan?

3) Apa saja jenis bantuan yang diberikan Pemprov Sulawesi Utara terhadap jemaah haji?

4) Seperti apa respons penerima subsidi, yaitu para jemaah haji yang menerima subsidi tersebut?

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Adapun sumber data diperoleh dari beberapa informan yang dipilih antara lain perwakilan Pemprov Sulut, perwakilan Kanwil Kemenag Sulut, perwakilan Jemaah Haji, perwakilan penyedia travel Haji dan Umrah, ormas dan tokoh masyarakat.

Untuk menggali regulasi dan model pendistribusian subsidi, tim penulis menemui dan mewawancarai otoritas pemangku kebijakan tentang haji di tingkat Provinsi Sulawesi Utara maupun di tingkat Kota Manado. Begitu pula tentang peran pemerintah secara teknis masalah penyelenggaraan haji dilakukan kepada pihak dari Seksi PHU Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara dan Kantor Kemenag Kota Manado.

Untuk menjamin bahwa distribusi dana tersebut lancar dan sampai ke penerima serta untuk apa pemanfaatannya, tim penulis menemui beberapa jemaah, sekaligus juga pihak Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang membimbing calon jemaah. Untuk mengetahui tentang pengaturan regulasi haji, tim penulis menemui anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara.

Perhatian pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemkot Manado terhadap jemaah haji cukup terlihat. Dukungan dari pemerintah setempat dibuktikan dengan disalurkannya dana tali kasih sebagai ganti dari pengeluaran biaya lokal yang telah dibayarkan kepada jemaah. Biaya lokal ini tidak tercover dalam biaya ONH. Karena itu jemaah haji mengeluarkan extra cost untuk menanggung biaya lokal tersebut.

Provisi Pemprov Sulawesi Utara untuk jemaah haji ini, walaupun belum diperdakan, ternyata telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara di bahwah kepemimpinan Gubernur Sinyo Sarundajang, sekitar tahun 2007. Waktu itu jumlahnya baru pada angka Rp. 500 ribu. Jumlah subsidi, atau sering disebut dana tali kasih itu terus meningkat hingga sekarang mencapai angka Rp. 3,5 juta. Bagi jemaah, jumlah dana tali kasih itu dirasakan telah mencukupi untuk membantu pembiayaan biaya lokal (transportasi dan biaya makan) dari Manado ke Balikpapan.

Pelaksanaan pelepasan ini pada saat jemaah hendak terbang ke embarkasi Balikpapan. Jemaah haji dipanggil satu demi satu dan kemudian jemaah diberikan uang tunai yang dibungkus dalam amplop. Setelah menerima, jemaah diharuskan tanda tangan atau cap jempol. Selanjutnya jemaah haji menuju bis yang akan membawa mereka ke Bandara Sam Ratulangi untuk masuk ke pesawat yang membawa mereka ke Embarkasi Haji Balikpapan. Adapun dana dari Pemkot Manado diterima jemaah haji di balai kota Manado dan diserahkan setelah pelepasan jemaah haji dari walikota Manado.

Namun sayangnya, sekali lagi program ini sejak Gubernur Sarundajang itu, hingga hari ini belum memiliki kekuatan hukum tetap. Ia hanya berupa dana subsidi yang diberikan pemerintah daerah melalui proposal dari lembaga ataupun invidu di masyarakat. Kebijakan ini tampak lebih hanya untuk memberi kepuasan dan kebahagiaan kepada masyarakat, hal mana mengarah pada proses transaksional utilitarianisme yang pelaku utamanya adalah pemerintah daerah.

Karena itu, wajarlah apabila dikesankan media bahwa pemerintah daerah setempat memperhatikan jemaah haji dengan cara pemberian tali kasih tersebut, sebab memang belum ada aturan lokal yang mengharuskan. Logis pula jika makin tahun, jumlahnya semakin besar, walaupun untuk konteks Manado, belum seluruhnya mengkover biaya lokal jemaah haji Kota Manado. (AL)

 

Tulisan ini adalah rangkuman dari desiminasi penelitian yang dilakukan oleh  Fakhruddin M dan Zaenal Abidin Eko Putro yang diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2020.

Leave a Response