Ancaman wabah virus corona (Covid-19) sangat nyata sebagaimana fakta yang terjadi seluruh penjuru dunia. Virus ini diketahui begitu berbahaya bagi kelangsungan hidup umat manusia di dunia, tak terkecuali masyarakat Indonesia.

Saat seseorang tertular virus tersebut, ada dua pilihan baginya, yakni antara bertahan hidup dan berakibat kematian. Pasalnya, hingga kini virus tersebut belum ditemukan vaksinnya. Sehingga, virus tersebut dinilai sangat berbahaya bagi siapa saja yang terinfeksi virus tersebut.

Sayangnya, di tengah wabah pandemik corona yang mengancam jutaan umat manusia, ada saja penyebar informasi hoaks. Virus hoaks ini menyebar lebih cepat daripada virus corona itu sendiri. Tentunya, hal ini dapat memicu situasi bahaya bagi masyarakat. Ketidakpastian dan kepalsuan informasi hoaks itu justru menjadi pemantik kepanikan warga.

Di zaman serba cepat seperti sekarang ini, korban utama dari sebaran virus hoaks ialah netizen. Salah satu dampaknya, masyarakat menjadi panik. Sejak kasus corona masuk di Indonesia, sempat muncul fenomena panic buying yang dilakukan sebagian masyarakat di beberapa daerah. Mereka berbondong-bondong untuk membeli masker sebagai imbas dari isu hoaks yang berantai di media sosial.

Hingga 9 April 2020 sebagaimana dilansir Kompas, ada 81 orang ditangkap oleh pihak berwenang terkait penyebaran hoaks tentang virus corona. Sedangkan jumlah informasi hoaks yang terdata oleh Katadata mencapai angka 1.125 dengan 477 isu.

Dampak dari hoaks tersebut juga dapat memicu perdebatan di kalangan netizen yang tidak berkesudahan. Kebanyakan dari mereka, bahkan sangat mudah terprovokasi informasi receh yang tidak berdasar sama sekali. Akibatnya, banyak di antara mereka yang panik. Sebagian bahkan juga bisa mengalami depresi gara-gara ulah oknum yang tidak bertanggung jawab itu.

Dalam kajian agama Islam, menyebarkan hoaks merupakan perilaku sangat tidak terpuji yang berpotensi merugikan siapa saja. Allah telah mengingatkan kita lewat Surat al-Hujurat ayat 6:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Ayat tersebut memperingatkan kepada kita agar lebih berhati-hati dan melakukan tabayun (klarifikasi) terlebih dahulu saat menerima sebuah informasi. Terlebih jika kita tidak mengetahui asal-usul pembawa informasi tersebut. Secara tegas, ayat ini juga mengajarkan budaya tabayun bagi kita semua saat mendapati sebuah kabar baru. Oleh sebab itu, kita harus lebih berhati-hati untuk teliti menerima dan mempercayai informasi yang kita dapatkan dari berbagai sumber.

Oleh mayoritas ulama, ayat ini turun berkenaan kasus al-Walid bin Uqbah yang ditugaskan Nabi Muhammad menuju ke Bani Musthaliq untuk memungut zakat penduduknya.

Pada mulanya, sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara Rasulullah Saw. dengan al-Harits bin Dhirar, selaku pimpinan Bani Musthaliq setelah menerima ajakan masuk Islam. Di antaranya mereka sepakat untuk membayar zakat yang akan diambil oleh utusan Rasulullah ke kampung tersebut. Dari sinilah awal mula, al-Walid bin Uqbah menjadi utusan untuk memungut zakat.

Ketika al-Walid tiba di sana, masyarakat pun berbondong-bondong membawa zakat mereka. Namun, menghadapi kondisi demikian, al-Walid justru mengira bahwa mereka akan menyerangnya. Sehingga, dia berkesimpulan bahwa penduduk tersebut akan membunuhnya.

Al-Walid pun kembali kepada Rasulullah lalu bercerita, “Sesungguhnya al-Harits melarangku untuk memungut zakat dan ingin membunuhku.”

Seketika Rasulullah pun marah. Beliau kemudian mengutus kembali seseorang, dikatakan Khalid bin Walid untuk menuju ke Bani Musthaliq. Menerima kedatangan mereka, al-Harits melaporkan jika belum ada seseorang yang sampai kepadanya.

Mereka pun menjelaskan kembali, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengutus al-Walid bin Uqbah yang mengira engkau mencegah untuk membayar zakat dan malah ingin membunuhnya.”

Mendengar penjelasan tersebut, al-Harits pun merasa kaget dan mencoba menjelaskan, “Tidak mungkin hal itu saya lakukan. Demi Allah yang mengutus Muhammad Saw. dengan haqq, saya tidak melihatnya dan dia (memang) tidak datang kepadaku.”

Ketika menemui Rasul, al-Harits dicecar pertanyaan, “Apakah engkau mencegah (orang-orang) membayar zakat dan ingin membunuh utusanku?” al-Harits pun menjawab, “Tidak. Demi zat yang mengutusmu dengan haqq.” (al-Suyuthi, 2002: 240).

Berdasarkan riwayat tersebut, yang menjadi titik poinnya adalah sifat fasiq yang ditampilkan oleh al-Walid bin Uqbah. Pantas dia mendapat julukan fasiq karena telah memalsukan cerita sebenarnya saat diutus kepada pimpinan Bani Musthaliq.

Alih-alih menjadi perantara yang baik di antara keduanya, justru al-Walid telah menciptakan kegaduhan antara Rasulullah dengan al-Harits bin Dhirar. Padahal, al-Walid merupakan orang kepercayaan Rasul kala itu.

Jika dikaitkan dengan konteks wabah corona saat ini, ayat di atas sangat relevan untuk menunjukkan betapa bahayanya berita hoaks. Di sisi lain, hoaks juga dapat menjadi virus mematikan dan memicu adanya perselisihan antar dua orang atau kelompok.

Pelajaran berharga lainnya yang perlu kita renungi adalah pentingnya tabayun terhadap berita apapun yang belum pasti nilai kebenarannya. Sehingga, informasi apapun dapat tersaring dengan baik sebelum kita sampaikan kepada penerima selanjutnya.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai muslim ketika menerima berita? Sudah sepatutnya, seorang muslim tidak mudah percaya apalagi terprovokasi kabar abal-abal dan menyesatkan.

Tuntunan sudah jelas, tinggal bagaimana kita mengaplikasikannya. Dalam hal ini, kita sebagai masyarakat dalam lingkungan suatu daerah atau netizen dunia maya harus berupaya membantu pemerintah untuk memerangi penyebaran hoaks. Terlebih saat ini, ketika banyak orang membutuhkan edukasi jangan malah hanya ikut-ikutan memprovokasi.

Tentu saja, hemat penulis caranya begitu mudah untuk dilakukan siapa saja. Dengan gadget, jari-jari kita bisa menjadi agen penyebaran informasi positif. Setiap hari, setidaknya kita harus selektif terhadap informasi yang bernilai edukatif bukan provokatif.

Bukan sekedar kabar hoaks dan asal-asalan, melainkan benar-benar dari sumber tepercaya. Sehingga, satu informasi yang berhasil kita share atau bagikan dapat bernilai pahala kebaikan. Jika penerimanya tergerak untuk mengamalkan informasinya, tentu berlipatlah pahala kebaikan tiap hari kita dapatkan. (MZN)

Leave a Response