Beberapa waktu lalu, jagad media sosial sempat dihebohkan dengan cuplikan tayangan serial Upin & Ipin yang menampilkan tokoh Fizi berkelakar ringan tentang surga hanya bakal dinikmati oleh mereka yang masih memiliki ibu. Fizi, sang pemeran yang masih bocah mencerna mentah-mentah pepatah tentang surga berada di bawah telapak kaki ibu.

Potongan adegan tersebut menuai banyak reaksi para penonton Indonesia dan ramai dibicarakan di media sosial. Banyak yang menganggap Fizi sebagai gambaran anak kurang ajar dan tak tahu diri. Banyak pula yang membela Fizi dan menyikapinya secara bijak.

Dengan cara meluruskan pemahaman tersebut dan meminta para orangtua agar memberikan pengajaran akhlak terpuji yang memadai kepada anak-anak. Agar mereka tidak meniru ulah Fizi yang enteng berbicara tanpa berempati.

Supaya warganet tidak makin kisruh, Fizi akhirnya memberikan klarifikasi yang cuplikannya beredar di media sosial hari ini. Akhirnya Fizi meminta maaf. Ia mengaku melakukan kekeliruan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Dia turut sedih karena ucapannya telah menyakiti Upin dan Ipin.

Meskipun Fizi adalah tokoh rekaan, sebagai penonton, saya ikut terharu menyaksikan penggalan permintaan maaf Fizi. Ia menampakkan raut ketulusan atas permintaan maafnya. Fizi tertunduk menyesal. Ia pun menyampaikan itu langsung kepada korbannya yakni Upin dan Ipin. Ini terlihat di akhir potongan video, ada penampakan Upin dan Ipin.

Ternyata mereka sedang melakukan panggilan video. Inilah keberanian yang mestinya kita duplikasi. Permintaan maaf secara personal dan tidak ditujukan sebagai ajang mengerek reputasi.

Fizi mengajarkan kepada kita yang dewasa, agar tidak menjadi pecundang. Fizi tidak lari dari kealpaan yang ia buat. Ia mengakui bahwa telah melakukan kesalahan. Karena hari-hari sekarang, sebagai dewasa kita seringkali merasa gengsi untuk menyampaikan permintaan maaf terlebih dahulu.

Apalagi jika kita berbuat salah kepada seseorang yang dirasa inferior dibandingkan kita. Justru kita kerap kali mengagung-agungkan diri kita dan mengabaikan begitu saja kesalahan tersebut. Merasa menjadi superior lantas membuat kita melupakan perasaan orang lain. Menganggap orang tersebut pantas kita jadikan sasaran kesalahan kita.

Jadi, mulai sekarang belajarlah dari Fizi, Upin, dan Ipin. Bagaimana mereka bisa saling legowo dalam menyikapi permasalahan. Fizi yang tidak malu meminta maaf dan Upin-Ipin yang berbesar hati menerima permintaan maaf Fizi. Lalu mereka berbaikan, tanpa ada lagi dendam yang menyelimuti.

Mungkin saja dunia akan damai dan tidak seriuh sekarang jika kita kembali mengingat bagaimana menjadi sosok yang tulus seperti yang sering anak kecil lakukan. Hari-hari ini, dunia memang terasa dipenuhi kecamuk orang-orang yang penuh amarah. Para artis misalnya, jika ada di antara mereka yang saling berseteru, mereka saling mengumbar aib lawan. Kalau pun nantinya ada yang menyampaikan permintaan maaf, pasti melibatkan kru sebuah acara.

Permintaan maaf seperti hanya settingan belaka. Seperti sengaja mengejar trafik atau trending. Jika memang melibatkan cameramen karena nantinya akan disiarkan di televisi atau Youtube, sebaiknya harus sudah memohon maaf terlebih dulu kepada pihak yang disakiti. Bukan malah mendahulukan kepopuleran lewat permintaan maaf yang digembor-gemborkan di media massa.

Nyatanya, meminta maaf memang bukan perkara sederhana. Sama sekali tidak mudah untuk diutarakan. Dibutuhkan kebesaran hati untuk melakukannya. Apabila kita ingin meminta maaf, sudah sewajarnya kita harus mau mengesampingkan ego.

Tak ada salahnya untuk mempersiapkan mental ataupun waktu untuk meminta maaf. Supaya permintaan maaf kita sekadar menjadi ucapan pembelaan diri atas kesalahan. Jangan sampai, kita memintaa maaf hanya supaya lawan bicara kita memaklumi kesilapan kita. Jadi pastikan, jangan bubuhi kata “tapi” saat kita meminta maaf.

Sebagai pihak yang meminta maaf, jangan pula memaksa orang lain untuk saat itu juga memaafkan kita. Pasalnya, barangkali kesalahan kita terlalu fatal dan menyisakan luka mendalam bagi orang lain.

Meskipun orang lain masih menjadikan masalah tersebut berlarut tanpa kejelasan setelah kita meminta maaf, setidaknya kita telah berjiwa kesatria. Tekanan dan bayangan rasa bersalah tidak lagi menghantui. Kita bisa sedikit bernafas lega.

Tinggal bagaimana kita melakukan pendekatan terus-menerus kepada orang tersebut supaya dimaafkan. Dengan cara, membuktikan melalui tindakan nyata bahwa kita telah menjadi pribadi yang berbenah dan semakin baik.

Sekarang, apakah kita sudah meminta maaf atas semua kesalahan yang diperbuat? Atau jangan-jangan, kita adalah pribadi yang masih menyimpan kekesalan kepada orang yang telah meminta maaf? Semoga kita semua diberikan kelapangan hati untuk mengakui kesalahan ataupun memaafkan orang lain.

Leave a Response