Baru-baru ini, ada sebuah video yang cukup viral dalam media sosial Instagram. Video yang diunggah oleh akun bernama @loker_semarang pada awal September yang berisi tentang pertanyaan kepada para perempuan, “Berapa minimal gaji calon suami lo untuk nikahin lo?”
Postingan tersebut mengundang banyak pro kontra netizen. Apalagi pada masa pandemi ini media sosial menjadi platform bagi mereka untuk saling berkomentar dan berdebat tanpa tahu latar belakang dan akar permasalahan.
Ujaran ketidaksetujuan akan jawaban kaum hawa yang menjawab pertanyaan tersebut sangat banyak. Salah satunya demikian, “Gaji segitu seleranya bukan elu,” ujar @**virdp dalam kolom komentar.
Selain itu, ada juga @**o_prass yang turut memberikan pendapat, “Itu yang nuntut gaji minimal 20 juta, kita sebagai laki-laki juga nuntut wanita harus bisa masak enak, nyuci____ yang paling utama harus bisa melayani suami apapun yang suami mau !!!!! Sanggup nggak???”
Setelah ditelusuri, ternyata video yang beredar tersebut berasal dari Youtube yang diunggah oleh akun Nurani Bicara dengan judul “Nurani Bercerita Eps. 23 | Minimal Gaji untuk Nikah”.
Di dalamnya, ada juga banyak narasumber laki-laki yang ditanyai hal serupa. Tentunya bukan “berapa minimal gaji calon istri lo untuk menikah dengan lo” melainkan “berapa gaji minimal ketika menikah nanti”.
Dalam Undang-Undang Perkawinan tepatnya pada pasal 80 ayat (4) huruf a Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
Secara jelas, memang tidak ada penjelasan berapa penghasilan minimal, bagaimana jika suami tidak mampu, dan bagaimana jika istri yang menanggung nafkah. Lalu, pertanyaan intinya, bagaimana harus memahami pasal dan video viral di atas dalam kaca mata Islam? Ada beberapa pandangan para ahli perihal masalah tersebut.
Pertama, menurut KH. Husein Muhammad, seorang pembaharu pemikiran hukum Islam, dalam bukunya Fiqh Perempuan menjelaskan tentang bagaimana kewajiban nafkah bagi suami dalam sebuah keluarga.
Kiai Husein menerangkan, berdasarkan Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34, terlihat jelas bahwa tanggung jawab nafkah istri dan keluarga dibebankan kepada suami dengan usaha terbaik yang dimilikinya berupa pangan, sandang dan papan. Menurutnya, apabila suami tidak memenuhi kewajiban tersebut, istri dapat menuntutnya atau mengambilnya meskipun tanpa izin suami.
Adapun istri, berdasarkan pendapat Kiai Husein, tidak memiliki kewajiban bekerja dan berusaha menutupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk keluarganya. Namun, dalam beberapa kondisi semisal tidak ada lagi orang yang membiayainya atau keluarganya, ia diwajibkan untuk bekerja. Terlebih, apabila suaminya miskin, sedangkan sang istri kaya. Dalam hal ini maka istri boleh menafkahinya dan dianggap sebagai hutang suami. Akan tetapi, lebih baik dan istri akan mendapat pahala ganda apabila istri secara suka rela memberikannya tanpa harus dianggap hutang suami.
Kedua, menurut Nur Rofi’ah, seorang pendiri Kajian Gender Islam (KGI), secara jelas dan gamblang beliau menyebut dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah tentang pengalaman perempuan yang berupa menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Pengalaman biologis pada perempuan yang kelimanya adalah hal yang menyakitkan menjadikan ia tidak dibebani atas nafkah keluarganya.
Banyak perempuan dengan menstruasi setiap bulannya ia harus mengalami hal menyakitkan seperti tak bisa berdiri, punggung dan perut sakit, bahkan sampai dengan harus bed rest.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa hamil adalah pengalaman perempuan yang akan menjadikan sakit yang bertambah-tambah (QS. Luqman (31): 14). Melahirkan merupakan sebuah taruhan bagi seorang perempuan akan nyawanya.
Sedangkan perempuan nifas akan mengeluarkan banyak darah selama beberapa minggu bahkan bulan, sampai dengan perempuan menyusui yang merupakan proses melelahkan dan kesabaran atas istri selama dua tahun.
Itulah mengapa dalam Surat An-Nisa’ 34, Allah menyebutkan laki-laki sebagai pemimpin yang dibebankan atasnya nafkah.
Namun, hal ini tidak sama sekali menutup kemungkinan bagi istri untuk menjadi pendukung dalam meningkatkan income keluarga. Hal-hal seperti nafkah bisa saja dirembug bersama supaya bingkai kasih sayang dalam keluarga tetap terjaga.
Relasi suami istri yang baik adalah relasi yang diperkuat satu sama lain dengan berbagai bahasa, kasih sayang, ungkapan, pernyataan bahkan perbincangan antara keduanya, salah satunya perbincangan tentang nafkah dalam keluarga.
Jadi meskipun memang dalam berbagai kaca mata hukum Islam nafkah merupakan kewajiban suami, namun hal tersebut masih bisa diperbincangkan antara keduanya.
Hal itu seperti permasalahan tentang “gaji” dalam video sebagaimana diterangkan di awal tulisan. Sebenarnya masih banyak hal yang dapat dibicarakan lagi terlepas dari keinginan mereka atau pasangan memiliki penghasilan dengan nominal yang disebutkan.