“Baik Bang Sofyan, berkali-kali saya dengar ngutip Gus Baha. Gus Baha ini siapa si? Penasaran juga. Sebelum itu, pasti dia tokoh NU karena ada gusnya, anak kiai juga pastinya. Gus Baha itu siapa coba? Saya ingin tahu!”
Demikian kata Robi Sugara sebagai host channel Youtube INC TV saat memulai obrolan dengan salah satu mantan teroris bernama Sofyan Tsauri. Sebagai mantan pelaku teror yang mengagumi Gus Baha, ia pun mulai bercerita tentang sosok Gus Baha di matanya.
Berikut ini ceritan Sofyan Tsauri:
Pertama, beliau putra dari Kiai Nur Salim, bernama Gus Bahauddin Nur Salim. Pesantren Tahfidz Qur’an beliau di Nurukan (Kabupaten Rembang). Beliau termasuk murid dari Mbah Maimoen Zubair. Makanya Gus Baha sering mengutip gurunya.
Saya tidak sengaja tertarik pada Gus Baha. Sudah setahun lebih hampir dua tahun mendengarkan Gus Baha. Awalnya, mendengarkan Gus Qoyyum dulu. Setiap saya dengarkan Gus Qoyyum, selalu ada link ke Gus Baha.
Menarik menurut saya. Kata-katanya menarik. Akhirnya saya mantengin dan dengerin lebih serius. Itu pun mendengarkan ketika saya sedang safar.
Jadi, kebiasaan saya ketika safar mendengarkan ceramah-ceramah, karena untuk mengejar ketertinggalan saya ikut ‘kubu’ sana yang banyak meninggalkan turats-turats (kitab klassik) yang dipakai Ahlussunnah.
Saya mulai membuka diri dengan membaca dan mendengarkan. Hampir semua perkataan Gus Baha bil ma’tsur, dalam arti punya riwayat semua.
Gus Baha mengutip bukan hanya Qur’an hadisnya saja, tapi ahwal ulama, kaidah ushul fiqh-nya keluar semua, sampai nadhom (bait) Alfiyah dan Imrithi pun dihafal semua. Bahkan, sampai Bukhori- Muslim mungkin Gus Baha juga hafal.
Tentang ikrar Gus Baha sebagai ‘alim itu bukan karena kesombongan. Tapi, di akhir zaman ini serba tidak jelas banyak ulama dadakan. Ya maaf, ya gak jelas. Ilmu Nahwu dan Shorof tidak punya, kemudian berfatwa.
Saya sebagai korban fatwa-fatwa tersebut yang ngaji tidak tamat. Memang betul apa yang dikatakan Gus Baha ini. Tidak hanya itu, beliau juga menguasai tentang aliran madzab dan pemikiran.
Maka, ketika berbicara tentang tema tertentu itu dikupas habis oleh Gus Baha. Wah ini amazing betul luar biasa. Betul-betul ‘alim.
Saya sampai mengatakan begini, “Dari pengembaraan saya mencari seorang ustad, guru, atau kiai dari kelompok-kelompok sana; ihwanul muslimin sampai salafi, saya pikir sudah tuntas. Ternyata, ada yang lebih alim dan keren lagi. Kayaknya saya harus berlabuh. Pengembaraan saya kayaknya ke beliau lah ke Gus Baha. Saya lihat sangat luar biasa dan bisa dijadikan panutan dan sangat menginspirasi saya.”
Banyak sekali ungkapan-ungkapan dan kutipan-kutipan di antara para ulama. Beliau suka mengutip dari buku Abu Hasan Al-Asy’ari, lalu tentang bagaimana kaum Khawarij dalam berdalil. Bagi saya, itu tepat semua.
Jadi, kalau kita dengarkan Gus Baha itu kita tersindir juga. Menyindir bukan berarti kita marah, tapi itu jadi koreksi buat kita. Betul kata Gus Baha, cara kita berdalil begini dan begitu dikumpas tutas.
Saya belum pernah mendengarkan, sekalipun itu di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) bagaimana mendeskripsikan setiap masalah sedetail Gus Baha ini.
Sehingga saya merasa, “Wah ini satu yang saya anggap. Kalau mendengarkan yang lain kayak kurang keren. Sudah di sini ternyata ada yang lebih alim lagi.”
“Saya harus akui bahwa selama ini belum ada yang menarik. Saya bukan orang yang misalnya kalau dengerin ceramah itu suka yang lucu-lucu. Kadang saya juga butuh yang detail juga.”
Beliau mengatakan rusaknya agama dan penyimpangan karena orang yang serius atau khusuk. Nah, dia ingin jadi wali dari jalur ini. Memberikan sisi-sisi yang sebenarnya Islam itu memberikan kemudahan.
Bukan berarti memudah-mudahkan, tetapi memberikan kemudahan. Makanya ada wali karena tidak melaksanakan sholat qabliyah dan ba’diyah.
Gus Baha berkata, “Bagaimana mungkin orang yang sudah 70-80 tahun kafir hanya karena satu kalimat saja yaitu laa ilaaha illa Allah. Kemudian gara-gara salah matok, dicatok kafir.”
Ini kan menyindir orang-orang takfir, orang-orang Wahabi takfir. Ada Wahabi yang tidak takfiri, kita berbicara yang takfiri itu suka memandang setiap dosa dalam satu derajat dan satu hukum. Wa lam yaral iman illa martabatun fil hukmi (tidaklah mereka melihat keiman itu seperti satu derajat dalam satu hukum).
Jadi, ketika ada orang Islam melakukan amalan kekufuran atau kemusyrikan maka gugur Islamnya. Padahal tdak setiap orang yang melakukan cabang-cabang kekafiran itu otomatis dia jatuh ke kekafiran, begitu juga dengan orang yang melakukan cabang-cabang keimanan otomatis kita sebut beriman.
Nah, cara-cara berdalil orang-orang Wahabi takfir banyak disinggung oleh Gus Baha dengan cara metodologinya. Ini yang unik menurut saya.
Beliau tidak hanya digandrungi oleh NU saja. NU bangga. Kita para jihadis juga mulai menyukai. Dan makanya izinkan, mudah-mudahan saya bisa sowan ke beliau.
Kita sedang mengatur waktu untuk meminta waktu kepada beliau. Mudah-mudahan beliau mau kita sowanin.
Kita sebagai mantan teroris yang pernah berbuat resah gaduh di Negara ini. Kita kembali, tapi dengan ‘izzah atau dengan ilmu. Dan saya percaya bahwa Gus Baha bisa memahami kondisi kami ini dan bisa memberikan pencerahan-pencerahan.
Gus Baha pernah membahas bagaimana kesalahan para jihadis dalam memaknai ayat-ayat. Karena ketika kita menafsirkan terlalu tekstual, terpaku terhadap teks, kadang tidak melihat bagaimana makna ini apa sudah nasakh, mansukh, muqoyyad, mutlak, mujmal, atau apa yang ada disiplin ilmu Qur’an.
Kita kadang tidak melewati tahapan seperti itu. Sehingga kita memaknai ayat secara literal, apa adanya dan menyesatkan.
Bukan berarti kita tidak takzimul nusus, tapi lihat dulu konteknsya. Sehingga butuh ulama seperti Gus Baha untuk menjelaskan secara detail.
Ada kelompok-kelompok jihad yang mulai membuka diri. Kemudian mereka mencintai Islam, belajar Islam. “Yang bener yang mana sih?” Karena hasil eksperimen mereka gagal kan masuk penjara.
Lantas kita Islamnya kudu seperti apa? Sampai kemudian muncullah Gus Baha. Itu teman-teman menemukan, “Oh, ini ternyata yang menjelaskan seperti ini”.
Kita ini kehausan. Akhirnya ketemu. Allah menakdirkan ketemu seperti Gus Baha. Beberapa saya tawarkan share ceramah Gus Baha ke grup jihadis. Ternyata, mereka suka.
Kemudian, seperti ketika ada kasus-kasus politik NU yang agak-agak manuver yang agak pragmatis. Mereka tidak lagi melihat itu.
“Coba dulu lihat Gus Baha dulu, pendapatnya Gus Baha pasti tidak begitu.”
Nah, Gus Baha dijadikan standar. Hal ini berbarti ada objektivitas dalam melihat persoalan.
Ketika ada manuver yang agak ngeselin bagi sebagian ‘kubu’ sana, mereka tidak lantas melihat itu bagian dari NU itu sendiri. Tetapi, mereka lihat Gus Baha terlebih dahulu. Akhirnya, ini perkembangan yang luar biasa. (Hafidhoh Ma’rufah)
Simak sumber video di sini.