Pada 14 November 2018 diberitakan seorang perempuan meninggal dunia karena dipaksa berhubungan seks oleh suaminya, empat hari setelah melahirkan. Selain itu pada 10 Maret 2020, beberapa portal berita online memberitakan suami yang menganiaya istri hingga meninggal dunia. Pelaku mengaku memukul korban saat tidur karena kesal ajakan untuk berhubungan seks ditolak sang istri.

Kedua kasus tadi mengingatkan saya pada perdebatan di lini masa Twitter mengenai consent khususnya dalam pernikahan. Di mana penganiayaan karena penolakan berhubungan seks sering terjadi dan dinormalisasi. Hal ini disebabkan oleh pernyataan bahwa istri harus melayani kapan saja dibutuhkan.

Perdebatan mengenai consent yang diambil dari kata dalam bahasa Inggris terdengar asing, kebarat-baratan, dan diasumsikan sebagai dalih untuk membenarkan perzinahan serta suatu cara merusak keluarga Islam.

Di sisi lain, konsep consent  dipopulerkan oleh gerakan kesetaraan hak perempuan yang lekat dengan stigma menyebarkan agenda feminisme barat dan berlawanan dengan Islam. Konsep consent yang kerap digunakan dalam kampanye penghapusan kekerasan seksual—oleh kelompok tertentu yang mengusung narasi konservatif—dijadikan kambing hitam atas maraknya kasus kekerasan seksual.

Kata consent disetarakan dengan minuman keras, narkoba, pornografi, pakaian korban, atau waktu sebagai penyebab tunggal kekerasan seksual. Masyarakat luput terhadap fakta tingginya kekerasan seksual yang terjadi, seperti pada data terbaru CATAHU 2021 Komnas Perempuan yang mencatat 299.911 kasus dilaporkan selama pandemi.

Masyarakat malah menyederhanakan masalah dengan mencari kambing hitam penyebab kekerasan seksual, daripada melihat ini sebagai permasalahan yang terjadi karena ketimpangan relasi sosial antara pelaku dan korban, kontrol diri pelaku yang buruk, serta perilaku kekerasan yang terus dimaklumi.

Ketika kata consent mulai dipopulerkan, mayoritas muslim menjadi berang dan merasa moral bangsa akan terancam. Seorang pemuka agama tanpa malu menegaskan consent tidak dikenal dalam Islam, apalagi dalam pernikahan.

Hal ini dikarenakan seks dalam pernikahan merupakan kewajiban istri untuk melayani bahkan ketika ia sedang tidak ingin maka ia hanya perlu diam saja saat digauli. Sebuah penolakan terhadap kenyataan tingginya kasus perkosaan dalam pernikahan yang terjadi.

Apakah Islam memang tidak mengenal consent dan menghalalkan pemaksaan dalam relasi yang dibangun, khususnya relasi romantis? Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang perihal consent?

Consent merupakan suatu konsep dalam menjalin relasi antara kedua belah pihak yang dilakukan dengan menyatakan persetujuannya untuk terlibat dalam aktivitas seksual atau nonseksual.

Persetujuan tersebut diberikan dengan kata-kata secara verbal atau secara nonverbal lewat tindakan terbuka yang menyatakan persetujuan. Hal ini dapat terlihat dari antusiasme antara kedua belah pihak dalam memberi reaksi serta komunikasi yang dijalin selama aktivitas. Dengan demikian tanpa consent, aktivitas seksual atau nonseksual termasuk sebuah pelecehan atau kekerasan seksual.

Islam melarang perbuatan kekerasan seksual baik fisik maupun nonfisik. Bahkan dalam Alquran telah disebutkan dengan merujuk pada “ar-rafast” dan “al-fakhasiyah“.

Menurut Muffasirin, ar-rafast ialah ungkapan keji yang menjurus pada seksualitas perempuan.  Misalnya menyebut seorang perempuan sebagai pelacur. Sedangkan al-fakhasiyah merupakan perbuatan juga ucapan yang merendahkan martabat perempuan serta seksualitasnya, yang bisa berupa meraba-raba, menggesekkan kelamin, serta bentuk kekerasan seksual lainnya.

Kajian-kajian agama kita masih lalai saat bicara tentang kekerasan seksual dan berkutat dengan bahasan-bahasan yang diproduksi secara massal dan cenderung menyalahkan korban. Seperti perempuan merupakan sumber fitnah, pendek akal, serta harusnya diam di rumah, tidak berpakaian menggoda atau menggunakan parfum.

Merujuk pada ar-rafast dan al-fakhasiyah serta besarnya dosa melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan. Mufti Mesir, Syauqi Ibrahim Allam menyatakan:

“Kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk dosa besar, dan tindakan yang paling keji dan buruk dalam pandangan  syariat. Kekerasan seksual hanya lahir dari jiwa-jiwa yang sakit dan birahi-birahi rendahan sehingga keinginannya hanya menghamburkan syahwat dengan cara binatang, di luar nalar logis dan nalar kemanusiaan.”

Dalam Islam, hubungan rumah tangga harus dijalani dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Ini merupakan konsep kesalingan antara suami dan istri dalam membangun rumah tangga. Yakni dengan menekankan keikhlasan di antara keduanya selama berinteraksi dan menjalaninya dengan ikhlas. Sehingga tujuan pernikahan yang samawa, mawaddah, wa rahmah dapat tercapai. Untuk itu maka dibutuhkan persetujuan bersama mengenai tata cara berinteraksi antar pasangan tersebut.

Karena itulah Islam melarang adanya al-ikrah (paksaan) dalam hubungan antar sesama muslim, khususnya suami istri.

Dalam kitab Qurrotul Uyun yang ditulis oleh Syaikh Qasim bin Ahmad bin Musa bin Yamun disebutkan hubungan seks dengan paksaan (ikrah) merupakan perbuatan tercela karena menghilangkan hak istri untuk mendapat kenikmatan serta dapat merusak iman. Hal ini juga tidak sesuai dengan konsep mu’asyarah bil ma’ruf seperti yang disebutkan di Q.S  Al-Baqarah 2:228:

مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”

Kata ikrah disebutkan secara berulang dalam Alquran dengan konteks kekerasan seksual. Seperti pada Q.S An-Nur 24:33 yang membahas mengenai pemaksaan pelacuran. Dalam fiqih, beberapa ahli fiqih menggunakan kata al-ikrah untuk merujuk pada perkosaan.

Seperti Al-Juzairi menyebut istilah az-zina bil al-ikrah yang berarti suatu kekerasan seksual dilakukan dengan paksaan serta di bawah ancaman. Sedangkan Sayyid Syabi’ menyebutnya dengan al wath’u al ikrah yang berarti hubungan seksual dengan paksaan. Di mana korban tidak senang juga tidak rela akan perbuatan tersebut.

Karena itulah Islam tidak menghukum korban kekerasan seksual. Mereka tidak menginginkan hal tersebut melainkan di bawah paksaan. Hal ini telah diatur dalam Alquran di Q.S Al-An’am 6:145:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَا غٍ وَّلَا عَا دٍ فَاِ نَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak  menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika Allah saja tidak menghakimi korban kekerasan seksual, maka manusia tidak selayaknya menghakimi korban berkontribusi atas kejahatan yang menimpanya. Mencampuradukkan antara seks dengan persetujuan serta kekerasan seksual hanya akan membuat kita terjebak.

Sederhananya, dalam melihat kekerasan seksual cukup berfokus pada ketidakadaan persetujuan, karena jika kegiatan seks tersebut dilakukan dengan paksaan maka hal tersebut merupakan suatu kejahatan.

 

Sumber:

Scott D. Kattie, Colin. 2017. “Sexual Violence, Consent, and Contradictions: A Call for Communication Scholars to Impact Sexual Violence Prevention” dalam Jurnal Pursuit”

Faula Arina . 2018. “Konsep Keluarga Sakinah Menurut Kitab Qurrotul Al-Uyun Karangan Syaikh Muhammad At-Tihami bin Madani.”

 

Leave a Response