Memasuki bulan suci seperti saat ini, seringkali muncul pertanyataan di kalangan umat Islam, bagaimana hukum berjimak (bersetubuh / hubungan intim / sanggama) di siang hari bulan Ramadhan menurut Islam (fikih)?

Pertanyaan di atas adalah salah satu hal yang erat kaitannya dengan puasa Ramadhan, yakni tidak melakukan jimak/jima’ (hubungan suami-istri; sanggama; bersetubuh) di siang hari bulan puasa. Aturan Syariat ini telah dijelaskan dengan spesifik baik di Al-Qur’an maupun Hadits Nabi.

Jika aturan ini dilanggar, akan terdapat konsekuensi hukum baik untuk qadha (mengganti) maupun sebagai hukuman atas sebuah pelanggaran.

Bagi seorang muslim yang melakukan persetubuhan (jimak) di siang hari bulan Ramadhan, maka ia dikenai sanksi atau kafarah. Karena hal ini dianggap pelanggaran tingkat tinggi, maka dinamai kafarah ‘udzma, yaitu sanksi berat atau hukuman tingkat tinggi. Dalam sebuah hadis terkait dengan kafarah ‘udzma ini, Rasulullah saw bersabda:

Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR al-Bukhari).

Ada tiga kafarah yang harus dilakukan oleh seorang muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan.

1) Memerdekakan budak (hamba sahaya) yang Islam dan tidak memiliki cacat padanya.

2) Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa jeda. Maka puasa yang demikian dipandang sangat berat dan melelahkan.

3) Memberi makan 60 orang miskin yang muslim dan masing-masing sebanyak 1 mud (kurang lebih sepertiga liter). Dari tiga pilihan ini diambil yang paling mungkin untuk dilakukan. Atau dengan kata lain, jika tidak mampu yang pertama maka yang kedua, jika tidak mungkin yang kedua, maka alternatif terakhir yang ketiga.

Syarat Membayar Kafarah

Sehubungan dengan kafarah ‘udzma (sanksi berat), Syekh Salim ibnu Sumair Al-Hadhrami di dalam kitabnya Syafinatun Najah menjelaskan bahwa di samping meng-qadha (mengganti puasa) maka pelaku jimak di siang hari bulan Ramadhan juga harus membayar kafarah.

Lebih jauh Syekh Salim mengatakan bahwa pelaku sanggama di siang hari bulan suci ini berdosa karena telah melampaui batas atau melanggar syariat Islam dalam hal perusakan puasa melalui jimak, bersetubuh atau sanggama.

Tersebab oleh pentingnya pelaksanaan kafarat, serta besarnya tanggung jawab pelaku, maka Syeh Nawawi Al-Bantani di dalam kitab Kasyifatus Saja, merinci beberapa hal terkait dengan kafarah ‘udzma ini.

1) Kewajiban kafarah ‘udzma dibebankan kepada orang yang menyanggama. Sedangkan orang yang disanggama tidak dibebani sanksi ini. Jadi kalau terjadi sanggama antara suami istri, yang berkewajiban membayar kafarah adalah suami, sedangkan istri (yang disetubuhi) tidak dikenai kewajiban membayar kafarah.

2) Kafarah ini dijatuhkan kepada orang yang merusak puasa (hanya) dengan sanggama. Jadi, kalau merusak puasa lebih dulu dengan perkara lainnya, semisal makan atau minum sebelum sanggama, maka hal ini tidak berkewajiban membayar kafarah ‘udzma. Maka jika ia dipaksa atau tidak tahu tentang keharaman perbuatan ini, ia juga tidak berkewajiban untuk membayar kafarah.

3) Yang dirusak adalah ibadah puasa. Selain ibadah puasa, seperti ibadah shalat atau i’tikaf, maka ia tidak dibebankan untuk melaksanakan kewajiban kafarah.

4) Yang dirusak adalah puasa diri sendiri. Sedangkan merusak puasa orang lain, seperti musafir yang merusak puasa istrinya, maka ia tidak dikenai kafarah.

5) Terjadi di bulan Ramadhan. Kalau kejadiannya di lain bulan Ramadhan, seperti puasa qadha, puasa nazar, dan sebagainya, maka bersanggama di saat seperti ini—meski dalam keadaan puasa—tidak dikenai kewajiban kafarah ‘udzma.

6) Kafarah dijatuhkan karena aktifitas seks atau sanggama—baik melalui anal seks dengan manusia, dengan hewan, dengan mayat, bahkan meskipun tidak sampai keluar mani—dikenakan hukuman membayar kafarah. Sementara, apabila dilakukan di luar sanggama (seks), seperti oral seks, masturbasi, onani, dan sebagainya—meskipun sampai keluar mani—maka perbuatan ini tidak dikenai kewajiban membayar kafarah.

7) Sang pelaku merusak puasa dengan sanggama/bersetubuh. Berbeda kalau pelaku misanya dalam perjalanan (musafir) atau dalam keadaan sakit (yang dikenai keringanan, rukhsoh), maka orang ini tidak dikenai kewajiban kafarah. Karena musafir atau orang sakit mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, maka mereka tidak berdosa dalam sanggamanya.

8) Dosa sanggama pelaku hanya karena puasa. Tidak ada kewajiban kafarah bagi musafir atau orang sakit yang bersanggama. Karena mereka mempunyai keringana untuk tidak berpuasa.

9) Yang dirusak adalah puasa sehari penuh. Tidak ada kewajiban kafarah bagi seorang pesanggama di bulan Ramadhan, dimana pada sisa hari setelah sanggama ia mengalami tunagrahita (gila) atau meninggal dunia.

10) Waktu yang dipakai sanggama adalah tidak meragukan, yaitu siang hari. Kalau terjadi keragu-raguan, apakah waktu sanggama masih malam atau sudah terbit fajar, maka kondisi seperti ini tidak diwajibkan kafarah.

11) Sanggama dilakukan di bulan Ramadhan. Apabila dilakukan pada bulan yang meragukan, misalnya mengira bulan Ramadhan sudah masuk kemudian berpuasa dan bersanggama, kenyataannya masih belum masuk bulan Ramadhan, maka kondisi ini tidak dikenakan kewajiban membayar kafarah.

Demikian penjelasan singkat berkenaan dengan jimak (hubungan intim, bersetubuh, sanggam, antara suami-istri) di siang hari bulan Ramadhan), sehingga mewajibkan pelaku dengan kafarah ‘udzma; yaitu sanksi berat yang harus ditanggung oleh pelakunya.

Hal ini karena keagungan dan keutamaan bulan Ramadhan yang tidak boleh dirusak oleh jimak, padahal kegiatan ini masih dihalalkan pada saat malam harinya. Kesucian dan keagungan Ramadhan seharuanya kita isi dengan kegiatan untuk taqarrub; medekatkan diri kepada Allah swt. Wallahu A’lam.

Leave a Response