Ramadan telah tiba. Kehadirannya disambut suka cita. Umat Islam riang gembira. Betapa tidak, pintu ampunan terbuka dan pahala baik dilipat ganda. Namun, kita sendiri kerap kali alpa, tak dapat memanfaatkan momen berharga yang hanya ada sebulan saja.
Pasalnya, era digital menghadirkan gelombang informasi yang begitu melimpah sehingga tak sedikit orang yang tak dapat memilah, mana informasi salah dan mana informasi yang sah. Hal demikian sedikit banyak berdampak pada puasa yang mestinya dijalani dengan penuh gairah, tetapi justru diiringi dengan resah.
Kita sering kali menginginkan informasi yang sejalan dengan asumsi dan harapan pribadi. Jika demikian tak terjadi, rasanya ingin saja memaki, mengeluarkan argumentasi yang nirsubstansi. Pandangan demikian sebetulnya lebih menunjukkan aspirasi, tanpa nilai inspirasi. Hal itu tidak perlu dilakoni oleh kita yang mengaku sebagai umat Islam sejati. Terlebih dalam keadaan puasa seperti saat ini.
Inilah saatnya kita mengurangi gerak jempol tangan pada layar ponsel pintar yang menyisakan jejak di kolom komentar. Jika tak berdampak positif bagi orang lain dan pribadi, langkah ibu jari hanya menjadi pemuas nafsu diri. Padahal dalam berpuasa, kita dituntut untuk dapat mengendalikan dan menahan hawa nafsu dan angkara murka.
Jempol pada layar harus dilangkahkan pada penulisan yang mengandung kalam hikmah agar hidup semakin cerah. Bukan partisan yang justru melahirkan resah dan gundah. Jika komentar kita hanya nyinyir belaka, mending diam lebih sahaja. Sebab sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Dailami dari Ibnu Umar, dikutip oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Ithaf ahlil Islam bi Khushushiyyatis Shiyam, menyebutkan bahwa diamnya orang berpuasa mengandung tasbih.
Ramadan sengaja Allah hadirkan kepada kita untuk dapat melatih diri selama sebulan penuh. Hal tersebut mestinya dijalani dengan segenap ruh sehingga puasa tidak hanya melahirkan keluh akan lapar dan dahaga yang membuat lemas tubuh. Jika demikian, yakinlah bahwa hati kita tengah keruh.
Agar dapat kembali suci, hati kita mestinya dicuci dengan meningkatkan amal baik tanpa henti, dan amal buruk yang harus disudahi. Sebab sebagaimana yang Allah firmankan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 183, puasa dilakukan untuk melahirkan muslim yang lulus dari bulan Ramadhan dengan membawa predikat orang bertakwa.
Predikat itu tidak hanya dilihat saat bulan Ramadan saja, melainkan sepanjang masa. Seperti seorang alumnus, ia tidak hanya dilihat saat menempuh studi, tetapi menjadi apa selepas ia lulus.
Kita mungkin pernah mendengar beberapa santri yang ketika di pondok biasa saja, tetapi selepas kembali ke masyarakat, ia menjadi orang yang berguna, bahkan bagi agama, nusa, dan bangsa. Justru merugi jika dalam madrasah itu dinilai prestasi, tetapi selepas lulus tidak terlihat buahnya.
Pun dengan Ramadan. Rugi jika dalam menjalani bulan Ramadan senantiasa ibadah dan menjauhi maksiat, tetapi setelah Ramadan lewat, hal itu pun juga berlalu.
Madrasah Ramadan melatih diri kita untuk senantiasa bersabar. Pakar Tafsir Indonesia Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Menyingkap Tabir Ilahi, menjelaskan bahwa seorang yang sabar akan menahan diri dan untuk itu ia memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja, agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya.
Oleh karena itu, penting bagi kita di era media sosial ini untuk bersabar, menahan diri dari berkomentar tentang hal-hal informasi yang bersileweran di beranda akun kita. Terlebih membagikannya sembari membubuhi komentar miring, satir, dan sebagainya dengan tujuan yang tidak jelas kebaikannya bagi pembaca.