Kontekstualisasi ajaran Islam dengan bahasa lokal di Nusantara atau meminjam istilah Azyumardi Azra, vernakularisasi juga memiliki jejak secara manifest pada tatanan kehidupan beragama Muslim Solor Watan Lema di kawasan Nusa Tenggara Timur. Dalam bahasa yang lebih lugas Almarhum Gus Dur menyebutnya dengan istilah pribumisasi Islam (Indigenisasi Islam).

Persentuhan terma Islam dengan kultur lokal Muslim Solor Watan Lema diaksentuasi secara cerdas bahkan jenius ke dalam idiom lokal melalui istilah, metafora, simbol, syair, tatanan adat dan budaya, bahkan kisah-kisah mengenai sirah nabawi yang telah digubah dengan sudut pandang lokal-lengkap dengan alur, plot, penokohan, interest konflik dan latar cerita yang bercorak Lamaholot sebagai rumah kebudayaan Muslim Solor Watan Lema.

Sebagai sebuah perumpamaan semiologis, untuk menghitung jumlah hari pergantian ibadah puasa di bulan suci Ramadan misalnya–Muslim Solor Watan Lema membahasakannya tidak secara noumerik, melainkan menggunakan kata benda, Kluba (kendi). Puasa diasosiasikan seperti kendi yang memiliki sifat dasar sangat sensitif, rapuh dan mudah pecah karena wujudnya yang terbuat dari unsur tanah liat. Olehnya itu dibutuhkan sikap mawas diri (kehati-hatian) tingkat tinggi kala menjunjungnya.

Metafora puasa Muslim Solor Watan Lema ini tidak hanya merepresentasikan kearifan lokal (local wisdom) pada tataran leksikal dan kultural tapi sekaligus mendedahkan makna religius yang sarat dengan tendensi esoteris (Tasawuf).

Secara etimologis kata qluba (kendi) merupakan serapan dari akar aksara Hijaiyah yang terdiri dari huruf Qa, Lam dan Ba. Ketiga huruf ini membentuk satu komponen kata qulub dalam fonem bahasa Arab, kalbu dalam fonem bahasa Indonesia dan qluba dalam fonem bahasa Lamaholot yang menjadi lingua franca Muslim Solor Watan Lema. Apabila kluba/kendi pecah maka air yang dikandung akan tumpah. Pun puasa, apabila seorang Mukmin tidak berhati-hati menjaga kalbu sebagai “bait” Allah, maka dalam pengertian esoteris puasa kehilangan esensinya bahkan terdistorsi pada level biologis an sich, hingga pada akhirnya bukan iman yang terbit dalam dada, melainkan rasa lapar dan dahaga.

Perumpamaan di atas mengisyaratkan pada kita bahwa ajaran Islam di Solor Watan Lema telah “dicangkok” ke dalam DNA kebudayaan lokal melalui dakwah kultural secara adekuat sehingga layak untuk ditelisik proses sejarah serta dasar-dasar epistemologi dan ontologi yang melandasinya.

Muslim Solor Watan Lema dalam rentang sejarahnya yang panjang juga dikenal oleh karena kecanggihannya  menguasai aspek teknologi maritim dan ilmu astronomi kuno (teknik pembuatan perahu dan teknik membaca rasi bintang serta arah angin) sehingga  memungkinkan mereka berintereaksi secara luas dengan berbagai suku bangsa di Nusantara baik secara ekonomi, politik, kultural dan intelektual.

Di dunia pendidikan, misalkan, sekolah, dalam pengertian yang luas–bagi Muslim Solor Watan Lema telah dipraktikan dalam khazanah budayanya jauh sebelum sekolah dalam konsep kontinental kita impor dari peradaban barat. Muslim Solor Watan Lema, pra kolonialisme telah menjadikan namang tukan/ruang publik (tanah lapang yang berada di halaman rumah suku yang berfungsi sebagai tempat pertemuan), rumah jou (guru ngaji), juga langgar atau masjid sebagai “sekolah” berbasis halaqoh/majlis, kendati dengan sistem yang sederhana dan dalam ruang lingkup yang berbeda.

Materi sekolah namang tukan secara konten berbeda dengan sekolah rumah Jou atau sekolah langgar/masjid. Dan metode pengajaran sekolah rumah Jou dan sekolah langgar adalah monolog atau ceramah  dengan penekanan materi pada aspek fiqihistik sehingga “murid” hanya sebatas bejana kosong yang siap diisi dengan basis values (nilai) apa saja. Sedangkan sekolah namang tukan adalah sekolah para mursyid (guru) yang bernuansa dialogis ketimbang monolog, dengan model majlis atau FGD (Focus Group Discussion) dalam istilah modern.

Di sekolah namang tukan (ruang publik) inilah para mursyid mentransformasi pengetahuan mengenai ilmu agama pada khalayak ramai, berdiskusi, bahkan berdebat atau melakukan kritik nalar secara terbuka untuk saling menguji dan mem-validasi wawasan keilmuan serta pemahaman mereka secara holistik yang bersumber pada “kanon” epistemologi Islam; Alquran dan As-Sunah.

Khatib Abong Namang dan Imam Atakoja dalam sejarah lisan Lamahala dituturkan pernah menggelar “sekolah namang tukan” di Lamuda sebagai medium dialog atau untuk mem-validasi “maqom” keilmuan di antara keduanya.

Selanjutnya kata namang yang merupakan istilah geografis dalam term kebudayaan Lamaholot tersebut oleh para ulama Solor Watan Lema ditransformasi bahkan dikukuhkan menjadi semacam “gelar atau titel akademik” yang melambangkan (atau menjadi petanda) otoritas untuk mencirikan level keilmuan seseorang.

Penanda “akademis” itu tampak pada sederetan nama ulama pesohor Solor Watan Lema yang menggunakan “titel/gelar” namang sebagaimana berikut ini; Khatib Abong Namang di Lamahala, Maleng Uba Namang di Terong, Dile Dai Namang di Lamakera, Laba Lepan Namang di Lohayong dan Jou Isa Panggo Namang di Menanga.

Iklim budaya “dialektika” semacam ini membentuk geneologi mental  dan tradisi  bagi  Muslim Solor Watan Lema sehingga lahirlah komunitas Muslim dengan watak budaya yang tidak hanya asik dengan dirinya sendiri, melainkan menjadi komunitas Muslim kosmopolit–dalam artian terbuka pada berbagai “genre” keberislaman yang datang dari berbagai belahan dunia luar seperti Arab, Persia, Gujarat, Cina, Sumatra, Ternate, Makasar, Buton, Jawa, dll.

“Sekolah namang tukan, sekolah rumah Jou, sekolah langgar atau masjid” seperti yang telah digambarkan di atas menjadi “arsenal” yang turut membumikan Islam secara bertahap sehingga embedded (tertanam), menjadi terpadu, menjadi integrated, menjadi bagian integral budaya lokal yang membentuk weltan schauung (pandangan dunia) Muslim Solor Watan Lema.

Karena itulah, mengutip sebuah larik yang ditulis budayawan Radhar Panca Dahana–Islam mengajarkan umatnya untuk “membaca” dan “belajar hingga ke negeri sejauh mungkin”, untuk memahami perbedaan, menggali pengetahuan, dan membentuk adab dan budaya bersamanya.

Dalam prinsip yang abstrak, dalam keberpihakan moral dan tauhid, Islam universal, namun dalam keberpijakan adab ia berbaur, berkompromi. Karenanya, Islam tidaklah harus Arab, Persia, atau Turki. Islam juga (Solor Watan Lema, Flores, pen), Jawa, Papua, Kurdi, Niger, Bavarian, New Yorkian, Kirgis, Uzbek dan seterusnya.

Leave a Response