Al-Mandaili yang dibicarakan ini adalah Syekh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib al-Andunisi al-Mandaili (1910-1965). Seorang ulama asal Mandailing, Sumatera Utara. Beliau merupakan salah satu ulama Indonesia yang mendedikasikan dirinya di Mekah al-Mukarramah.

Sementara A. Hassan adalah Ahmad Hassan (1887-1958) seorang muslim reformis asal Singapura yang turut membesarkan nama PERSIS (Persatuan Islam). A. Hassan sering berpindah-pindah, ia pernah di Surabaya, Bandung, dan terakhir di Bangil. Sebab itu terkadang kota-kota tersebut dilekatkan pada namanya.

Karya al-Mandaili yang menyorot tajam tokoh Islam puritan A. Hassan, berjudul Al-Mazhab, atau Tiada Haram Bermazhab. Buku yang beraksara Melayu-Jawi ini ditulis atas permintaan Tuan Guru Haji Hasan Ahmad al-Fathani untuk menanggapi buku A. Hassan bertajuk Al-Mazhab, Wajibkah atau Haramkah Bermazhab?.

Kitab al-Mandaili ditulis sewaktu beliau di Mekah, tepatnya 19 Rajab 1378 H (22 Januari 1959 M) dan selesai pada 8 Ramadan 1378 H (18 Maret 1959). Kitab ini dicetak oleh penerbit al-Anwar di bawah penyunting Idris al-Marbawi, di al-Azhar Mesir, pada bulan Ramadan 1379 H. Al-Marbawi juga memberikan legalisasi kitab ini khususnya kepada pembaca Melayu-Nusantara.

Persoalan pertama yang disanggah al-Mandaili adalah seputar Ijma’ (konsensus). A. Hassan beranggapan bahwa Ijma’ yang boleh diikuti adalah Ijma’ para sahabat Nabi, sedangkan Ijma’ ulil amri (ulama) setelah mereka tidak boleh dipedomani, baik dalam urusan dunia apalagi urusan ibadah.

Membantah sikap A. Hassan tersebut, al-Mandaili menerangkan bahwa Ijma’ tidak dibatasi hanya pada konsensus sahabat Nabi, namun juga termasuk Ijma’ para mujtahidin dan bukan dalam persoalan ibadah saja, tetapi juga dalam persoalan lain. Al-Mandaili mengajukan dalil Alquran surah al-Nisa [4]: 115 dan hadis riwayat al-Tirmidzi yang menyatakan mustahil umat Islam bersepakat dalam kesesatan sebagai argumen untuk membantahnya.

Al-Mandaili juga menambahkan bahwa Ijma’ itu beragam, ada Ijma’ Qauli dan Ijma’ Sukuti, keduanya bisa dipedomani. Ijma’ itu tidak bisa berdiri sendiri, ia berkaitan erat dengan teks Alquran, hadis, dan Qiyas (analogi). Ia mencontohkan kasus ‘lemak babi’, para ulil amri bersepakat untuk ber-ijma’  bahwa ‘lemak babi’ diqiyaskan pada daging babi, sedangkan para sahabat Nabi tidak pernah berijma’ demikian.

Selain itu, Al-Mandaili juga membantah pandangan A. Hassan yang menganggap bahwa qiyas tidak berlaku pada urusan ibadah. Al-Mandaili menyebutkan, pandangan tersebut tertolak dan tidak memiliki dalil sama sekali. Al-Mandaili mengutip pendapat Ibn Aqil al-Hanbali yang menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri telah melakukan banyak qiyas.

Misalnya, Rasul menganalogikan mencium istri dengan berkumur-kumur pada saat beribadah puasa. Al-Mandaili juga menuturkan lebih lanjut, qiyas (analogi) tidak bisa berdiri sendiri, ia senantiasa berkait berkelindan dan berkesesuaian dengan apa yang terdapat dalam Alquran, hadis, dan ijma’.

A. Hassan menyebut bahwa ‘mazhab’ baru ada setelah tiga generasi pasca Nabi wafat. Pernyataan ini disangkal mentah-mentah oleh al-Mandaili, sebagai perkataan orang-orang jahil. Jika yang dimaksudkan adalah mazhab imam empat itu pernyataan yang benar, tetapi bila yang dimaksud makna mazhab secara etimologis, itu tentu tidak betul sama sekali.

Al-Mandaili menerangkan, alasannya sebab pada masa sahabat dan tabi’in tidak semuanya mampu berijtihad, mereka juga memiliki kelompok-kelompok (mazhab) dan tokoh-tokoh senior (mujtahid) yang menjadi panutan. Maka jika menganggap semuanya mampu berijtihad maka tentu sangat keliru.

Begitu pula dalam problem “mengambil hukum langsung dari Alquran dan sunnah”, tentu menjadi batal hadis, tentang jawaban Muadz bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Ketika ditanya Rasulullah, jika tidak terdapat dalamAlquran dan sunnah, ia menjawab: ijtihad. Akan tetapi tidak semua sahabat maupun tabi’in mampu berijtihad.

Al-Mandaili juga menyangkal sikap A. Hassan yang menyatakan bermazhab dan bertaklid itu serupa, keduanya merupakan yang dilarang oleh Allah, Rasul, dan imam mujtahid. Al-Mandaili menjawab, jika yang dimaksud dalam persoalan ushuluddin, maka memang diharamkan bertaklid. Tetapi dalam persoalan furuiyah dibolehkan bertaklid. Sebab, orang awam tidak mampu berdalil, sedangkan mutjahid haram berijtihad pada soal furuiyah.

Al-Mandaili menyodorkan banyak argumen tentang ini, ia mengutip ayat Alquran surah al-Nahl 43 dan al-Anbiya 7. Ia juga menyitir pendapat al-Ghazali di dalam al-Mustasyfa,  yang menyatakan bahwa berijtihad bagi orang awam adalah sebuah kesulitan, berhujjah dengan surah al-Hajj 78. Ia juga mengutip pendapat imam al-Haramain dan al-Asfarani.

Al-Mandaili juga menolak pernyataan A. Hassan: “Selama ada orang yang tahu bahasa Arab serta ilmu-ilmunya, ilmu tafsir, ilmu ushul, ilmu musthalahul hadits kadar yang cukup buat memeriksa dan memaham arti-arti dan maksud-maksud Alquran dan Sunnah, maka selama itu pintu ijtihad tetap terbuka siapa yang masuk ke pintu itu jadilah ia mujtahid.

Al-Mandaili menjawab: “Perkataan itu tiada benar, karna banyak lagi syarat-syarat ijtihad yang tiada disebutnya, tiada syak bahwasanya orang yang masuk ke pintu ijtihad itu tiada ia jadi mujtahid melainkan ada padanya segala syarat-syarat karena lazim daripada ketiadaan syarat ketiadaan masyruth.

Al-Mandaili juga menyindir secara personal, A. Hassan sebagai orang yang aktif di dunia penerbitan dan gemar membaca buku-buku. Kata al-Mandili: “Dan adapun ada percetakan dan ada uang pembeli kitab-kitab maka yang demikian itu tiada ada ia membukakan pintu ijtihad, bahkan yang sebenarnya ada membukakan pintu taklid kepada pengarang kitab tafsir dan syarah hadis.

Tidak ada yang aneh dari ungkapan al-Mandili ini, sebab di sampul kitabnya telah tertulis. Seorang muslim harus melihat dalilnya dan siapa orang yang menyampaikannya. Melalui testimoni ini al-Mandaili menekankan belajar agama melalui guru yang menguasai argumen yang kuat, bukan hanya sekadar otodidak melalui buku-buku.

Al-Mandaili membentak keras A. Hassan yang ditudingnya menulis bukunya al-Mazhab hanya berisi karangan-karangannya belaka, tanpa keterangan Alquran dan hadis. Padahal ia mewajibkan orang lain untuk menyertakan keduanya.

Bahkan al-Mandaili mengancam, jika A. Hassan tidak mampu mendatangkan dalil-dalil Alquran dan hadis terhadap uraian karyanya “al-Mazhab”, “Maka kami larang akan dikau daripada mengarang kitab-kitab”. Sebagaimana ia telah melarang orang-orang yang tidak menerangkan dengan Alquran dan hadis menjadi guru agama.

Al-Mandaili mematahkan semua argumentasi A. Hassan, yang dijadikannya sebagai pijakan untuk mengharamkan bermazhab. Al-Mandaili menyimpulkan: “Dengan beberapa ayat Alquran dan hadis dan perkataan sahabat dan ulama atas dilarang bermazhab tetapi satu pun dari segala dalilnya itu tiada ada yang menunjuk atas haram bermazhab, maka segala dalilnya itu tiada ada yang setuju dengan madlul.

Sebelum menutup kitabnya, al-Mandili menyatakan siap untuk berhadapan langsung “bertukar pikiran” dengan A. Hassan, atau dengan orang-orang yang mengharamkan bermazhab, atau dengan orang-orang yang mewajibkan keluar dari mazhab.

Menyesalnya, perdebatan itu tidak terjadi. Sebab A. Hassan telah meninggal dunia tahun 1958, sedangkan al-Mandaili menulis kitab bantahan setahun setelahnya 1959. Tampaknya al-Mandaili tidak mengetahui tentang informasi kematian Hassan, lantaran tempat yang berjauhan dan sulitnya komunikasi, al-Mandaili di Mekah sementara A. Hassan di Bangil.

Paling tidak, polemik bermazhab selalu saja dipertentangkan oleh kaum tua dan kaum muda hingga abad ke-20 M. Al-Mandaili walaupun lebih muda dari A. Hassan, ia lebih dipengaruhi paham tradisionalis, sedangkan A. Hassan cenderung reformis yang getol sekali menyerukan pemurnian agama dan membuka seluas-luasnya pintu ijtihad.

Leave a Response