“Assalamu’alaikum Bis, sudah dapat kabar belum? Bapaknya teteh meninggal.”

Kabar pagi itu mengagetkanku. Langsung saja aku dan kawan-kawan beranjak menuju rumah duka. Kudapati teteh tenang dan ikhlas, dapat mengendalikan diri dengan sadar dan legowo.

Itu adalah pertama kali aku menghadiri upacara pemakaman di tanah melayu, tepatnya di Jambi. Ada yang menarik perhatian, setiap pelayat yang hadir membawa wadah semacam tas yang berwarna warni. Hanya sebesar 2 gelas ditumpuk dan dijejer, tinggi sekitar 30 cm dan diameter 20 cm. Berminggu-minggu kemudian aku tahu bahwa wadah itu bernama tenong.

Tenong adalah suatu wadah berbentuk tabung dengan bentuk bulat atau oval di bagian atasnya. Biasanya berisi berbagai macam makanan mulai dari makanan pokok hingga jajan pasar.

Dalam kasus di atas, piranti tenong yang dibawa menuju ke rumah duka berisi beras yang digunakan untuk “nyumbang” atau diberikan kepada keluarga almarhum/ah. Tenong ini terbuat dari anyaman bambu maupun anyaman dari plastik.

Beranjak di acara tahlilan di malam hari, aku dan pelayat yang lain ketika pulang diberi besek plastik yang berisi makanan ringan atau kudapan. Besek adalah suatu wadah berbentuk kotak (ada juga yang oval) yang terbuat dari anyaman bambu maupun plastik yang biasa berisi makanan pokok maupun makanan ringan.

Sudah menjadi budaya Nusantara bahwa setiap pulang dari suatu perayaan, entah pengajian, yasinan, tahlilan, ataupun berjanjen (pembacaan shalawat Al-Barzanji), biasanya dibawakan besek berisi makanan.

Di Nusantara besek dan tenong sangat populer. Pada tradisi pernikahan di melayu (pada adat Palembang), ada istilah Menyengguk dan Ngebet yang menurut buku Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya (Takari, Muhammad (et al.) 2014) menggunakan tenong sebagai hantaran, tanda bahwa pihak wanita diikat oleh pihak pria.

Sama seperti di melayu, besek dan tenong selalu mewarnai perjalanan manusia pada berbagai perayaan di Jawa. Dalam tradisi Nyadran, warga membawa tenong dari rumah yang berisi makanan untuk kemudian dihampar dan dinikmati bersama-sama setelah acara doa bersama. Selain itu tenong juga dipakai pada berbagai perayaan seperti bersih desa, saparan, maupun sedekah bumi.

Tidak jauh beda dengan dengan tenong, besek juga mewarnai berbagai perayaan di Nusantara. Paling umum, piranti ini digunakan sebagai “wadah berkat” sepulang dari berbagai perayaan.

Sebagai contoh pada perayaan Iduladha, besek digunakan sebagai wadah daging yang dibagikan kepada warga. Besek dipilih karena sifatnya yang kuat, solid, dan mudah dibawa serta dirasa pas dengan makanan yang akan dibawa.

Pada perkembangannya, besek dan tenong bertranformasi tidak hanya digunakan dalam perayaan tapi juga dalam keseharian. Tenong di berbagai tempat menjadi sarana untuk berjualan. Tenongan, begitu disebutnya, yaitu tenong besar berisi berbagai makanan dipanggul dan dijajakan di berbagai tempat.

Selain itu karena bentuknya yang bagus dan estetik, berbagai restoran menjadikan tenong sebagai piranti utama untuk menyajikan makanan. Dimsum, dumpling, sampai siomay saat ini sangat umum disajikan dalam tenong.

Besek pun mulai “naik kelas”. Kalau generasi boomers hanya menggunakan besek sebagai wadah pembungkus makanan sepulang dari berbagai perayaan. Saat ini besek banyak digunakan sebagai wadah bingkisan hari raya. Milenial menyebutnya hampers, dalam Bahasa Indonesia artinya bingkisan atau berkat kalau orang desa biasa menyebutnya.

Isu lingkungan menjadi salah satu hal yang mengangkat kembali besek dan tenong. Kesadaran dari masyarakat untuk tidak menggunakan bahan sekali pakai membuat tenong dan besek kembali dilirik.

Apalagi saat ini berbagai daerah di Indonesia sudah melarang penggunaan kantong plastik dan styrofoam sekali pakai yang merugikan lingkungan. Kuat, solid, dapat dipakai berkali-kali menjadi kelebihan dua piranti tersebut.

Dari sisi estetik, fungsi, isu lingkungan, dan budaya memang sudah saatnya kita melestarikan dan menggunakan lagi dua piranti khas Nusantara tersebut. Nenek moyang kita sudah membuat piranti yang tepat digunakan di berbagai suasana dan nuansa.

Kebiasaan, budaya, dan peradaban memang selalu bergerak maju, baru dan terbarukan, tapi tidak ada salahnya juga kita menggali lagi kebudayaan pendahulu untuk mendapatkan kebijaksanaan di masa kini. Terbukti bahwa tenong dan besek menjadi piranti yang tak lekang oleh waktu. Secara mengejutkan, dapat menjadi solusi dan alternatif utama dari berbagai isu lingkungan, maupun estetika.

Sudah saatnya kebijaksanaan pendahulu kita, digali lagi sebagai dasar dari kemajuan sains dan teknologi. Terbukti dari besek dan tenong yang tetap relevan dan dapat menjawab tantangan zaman. Masih banyak kebijaksanaan pendahulu di Nusantara yang bisa ditawarkan kepada dunia.

Jadi jangan kaget di masa depan ketika membuka besek bukan lagi berisi lemper, pisang, dan kue lapis, tapi berisi cinnamon roll, croissant, atau burger. Atau jangan kaget pula suatu saat di perempatan ring road Barcelona, seseorang bernama Sergio sedang menjajakan tenongan berisi Ravioli, Empanadas, atau Cannoli.

Leave a Response