Menapaki jejak-jejak peradaban Islam, dapat dimulai dengan memahami teks Al-Qur’an dan menjadikannya cermin peradaban umat Islam. Al-Qur’an telah menginspirasi para intelektual dan cendekiawan Muslim, sehingga dari teks-teksnya itu lahir banyak teks. Hal ini juga sebagai upaya penarikan makna teks Al-Qur’an yang dianggap belum final. Perlu kita tahu bahwa menganggap final sebuah penafsiran Al-Qur’an, secara filsafat dianggap telah menganggap makna Tuhan secara terbatas. Maka dari itu, upaya rekonstruksi penafsiran terus dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan. Sakralitas terhadap kitab tafsir, mengisyaratkan pengkhianatan terhadap transendensi Tuhan dan keMahaKuasaan-Nya.

Refleksi inilah yang kemudian menyebabkan beberapa intelektual Islam dan non-Islam berlomba-lomba dalam rangka menafsirkan teks Al-Qur’an. Wacana penafsiran Al-Qur’an dari zaman klasik sampai kontemporer menunjukkan adanya pergeseran epistemologis yang jelas, baik berupa cara mendekata Al-Qur’an maupun anggapan terhadap teks Al-Qur’an. Perjalanan tersebut telah membentuk imperium raksasa dan cerminan atas kebesaran peradaban Islam. Saya ingin mengutip sedikit apa yang dikatakan oleh Gamal al-Banna, ia berpendapat bahwa kecintaan umat Islam terhadap Al-Qur’an ikut mengalami pergeseran dari kecintaan terhadap Al-Qur’an kepada kecintaan terhadap penafsiran Al-Qur’an. Dan menurutnya, pergeseran tersebut menunjukkan ketergelinciran dan perubahan orientasi dari yang asli menuju yang mewakili.

Saya kira, pergeseran-pergeseran itu terjadi karena adanya relativitas penafsiran teks Al-Qur’an dengan berbagai tuntutan situasi kontemporer yang dirasa belum dialami oleh penafsir-penafsir klasik. Alasan inilah yang menyebabkan salah satu Bint al-Syathi’—seorang mufasir perempuan pertama abad ke-20 juga melakukan pembaruan dalam tafsirnya. Aisyah Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Bint al-Syathi’ merupakan seorang mufasir perempuan yang lahir pada 6 November 1912 di sebuah desa bernama Dumyat, sebuah kota pelabuhan di Delta Sungai Nil, bagian Utara Mesir.

Ayahnya, Syekh Muhammad Ali Abdurrahman, seorang ulama sekaligus pengikut ajaran sufi yang sangat konservatif dan alumnus dari Universitas Al-Azhar. Ia juga seorang pengajar di Dumyat Religious Institute, sebuah sekolah di desanya. Bint al-Syathi’ merupakan nama samara yang memiliki makna anak perempuan tepian (sungai). Nama tersebut digunakan karena sejak kecil Bint al-Syathi’ selalu menghabiskan waktunya di pinggir Sungai Nil untuk membaca buku dan belajar.

Bint al-Syathi’ adalah seorang mahasiwa yang aktif, tekun, dan cerdas ketika kuliah di Universitas Fuad I Cairo. Ia meraih gelar BA pada tahun 1939 di umur 27 tahun, gelar MA tahun 1941 di umur 29 tahun, dan gelar Ph.D pada tahun 1950 di umur 38 tahun. Ketertarikan untuk bergelut dalam bidang tafsir, tentunya banyak dipengaruhi oleh dosennya, yaitu Prof. Amin al-Khulli, seorang pakar tafsir yang kemudian menjadi suaminya, ketika ia bekerja di Universitas Kairo.

Keseriusan Bint al-Syathi dalam bidang tafsir dibuktikan dengan penulisan buku
tafsirnya yang terkenal, Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim terbit pertama kali tahun 1962. Karya ini mendapat sambutan luar biasa dari kalangan intelektual, sehingga ia diundang untuk memberikan kuliah dan konferensi di berbagai negera; Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez, Khartum. Dalam karya ini ia memberikan dan menerapkan metode baru yang masih asing di blantika tafsir Al-Qur’an. Ia menafsirkan Al-Qur’an dari pendekatan sastra, seperti Amin al-Khulli. Meskipun Bint al-Syathi hanya menafsirkan empat belas surat-surat pendek yang terbagi dalam bukunya jilid satu dan dua, namun pemikirannya cukup untuk diapresiasi karena kebesaran pemikirannya. Selain itu metode yang digunakannya telah menancapkan pengaruh luas di banyak kalangan.

Perlu digarisbawahi bahwa pemikiran tafsir Bint al-Syathi’ merupakan bentuk tindak lanjut dari pemikiran metodologis Amin al-Khulli. Diposisikan pada kalangan mazhab sastra dengan pandangan bahwa Al-Qur’an adalah Kitab al-Arabiyat al-Akbar. Keinginan Bint al-Syathi’ dalam menggali bayan Al-Qur’an berangkat dari latar belakang pendidikannya sebagai seseorang yang bergulat dengan kajian sastra Arab. Inspirasi dari Amin al-Khulli, agaknya cukup banyak mempengaruhi pemikiran Bint al-Syathi’ terhadap rumusan metologi tafsir.

Bint al-Syathi’ begitu terkesan dengan sosok Amin al-Khulli yang berani mendobrak metode tafsir tradisional dan menanganinya sebagai teks kebahasaan juga sastra dengan metode yang digalinya. Bint al-Syathi’ merupakan salah seorang murid yang telah mengembangkan dan meneruskan gagasan dari Amin al-Khulli. Menurutnya, tafsir Al-Qur’an bernuansa sastra pada masanya masih terbatas pada materi tafsir itu sendiri dan belum beranjak ke bidang kajian bayan, bersama warisan bahasa fushah dan masih sangat jauh dari dinamika.

Adapun karya-karyanya, yaitu Al-Hayah al-Insaniyyah ‘Inda Abi al-Ala’, Dar al-Ma’arif, 1944 (Tesis M.A pada Universitas Fuad I, Kairo 1941), Risalah al-Ghufran Li al-Ala’, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1954. Edisi I, 1957; edisi III, 1963, edisi IV, 1968, edisi V, 1969, Al-Ghufran Li Abi al-Ala’ al-Ma’arri, kairo: Dar al-Ma’arif, 1954, edisi II, 1962, edisi III, 1968, Disertasi Doktor pada Universitas Fuad I, Kairo, 1950, Ardh, al-Mu’jizat, Rihlah Fi Jazirah al-Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1956, Nisa’ al-Nabiy, Kairo: Dar al-Hilal (1961), Umm al-Nabiy, Kairo: Dar al-Hilal (1961), Banat al-Nabiy, Kairo: Dar al-Hilal (1963), Sukaymah bint al-Husayn, Kairo: Dar al-Hilal (1965), dan masih banyak lagi.

Leave a Response