Dalam kalender Hijriyah, bulan Safar terhitung sebagai bulan kedua. Menurut catatan sejarah, bulan ini menyimpan peristiwa-peristiwa penting. Salah satunya adalah peristiwa duka permulaan Rasulullah SAW sakit yang mengantarkan pada kematian.
Rasulullah SAW diutus untuk menyampaikan risalah yang berisi ajaran-ajaran agama Islam. Ketika misi dakwahnya telah rampung, selesai sudah tanggug jawabnya. Dalam arti lain, Rasulullah akan berpamitan untuk selamanya begitu misinya tercapai.
Menjelang kewafatan, ada beberapa indikasi yang menandakan usia Rasulullah tidak lama lagi. Pada bulan-bulan Ramadhan, beliau beri’tikaf selama sepuluh hari. Akan tetapi pada tahun 10 Hiriyah, beliau beri’tikaf sampai 20 hari. Selain itu, malaikat Jibril juga bertadarus Al-Qur’an dengan Rasulullah sebanyak dua kali, tidak seperti Ramadhan sebelum-sebelumnya yang hanya satu kali.
Saat Haji Wada’, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Wahai manusia sekalian. Perhatikanlah kata-kataku ini. Sesungguhnya aku tidak mengetahui, barangkali setelah tahun ini aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian dalam keadaan seperti ini selamanya.” (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Andalusi, Al-‘Iqdul Farîd. [Beirut: Darul Kutub al’Ilmiyyah, 1983], juz IV, halaman 148)
Ucapan yang sama-sama mengindikasikan perpisahan juga beliau sampaikan saat melempar Jumrah Aqabah. Nabi bersabda:
Artinya: “Tunaikanlah manasik (haji) kalian sebagaimana aku menunaikannya. Barangkali aku tidak akan menunaikan haji lagi setelah tahun ini.”
Tepat pada bulan Safar tahun 11 Hijriyah, Rasulullah pergi ke daerah Uhud. Sesampainya di sana, beliau melakukan shalat untuk para syuhada, sebagai ungkapan perpisahan, baik untuk orang-orang yang masih hidup atau yang sudah mati.
Setelah itu beranjak ke mimbar, dan bersabda, “Sungguh aku akan mendahului dan manjadi saksi atas kalian. Demi Allah, sungguh sekarang aku telah melihat telagaku. Aku telah diberikan kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi.”
“Demi Allah, aku tidak akan mengkhawatirkan kalian seandainya musyrik setelah kepergianku. Tetapi yang aku khawatirkan adalah apabila kalian berlomba-lomba dalam memperebutkan kekayaan dunia.”
Menurut Ibnu Hajar dalam Fatḫul Bârî, riwayat ini kemudian menjadi dasar disyari’atkannya shalat jenazah bagi orang yang mati syahid.
Pada pertengahan malamnya, Rasulullah juga keluar menuju pemakaman Baqi’ untuk memohon ampunan bagi orang-orang yang telah mendahului. Di akhir doa, beliau bersabda, “Sesungguhnya kami akan menyusul kalian.”
Menurut sejarawan Safyurrahman al-Mubarakfuri, tepat pada hari Senin, tanggal 28 atau 29 bulan Safar, tahun 11 Hijriyah, Rasulullah menghadiri jenazah sahabat di kuburan Baqi’. Begitu kembali dan sampai di perjalanan, kepala beliau mulai merasakan pusing dan sekujur tubuh panas menggigil. Saking tinggi suhu panasnya, sampai-sampai sahabat yang membersamai waktu itu merasakan panasnya melaliu sorban yang beliau kenakan.
Dalam keadaan sakit, Nabi masih menjadi imam shalat selama sebelas hari dari total sakit selama 13 atau 14 hari. (Al-Mubarakfuri, Raḫîq al-Makhtûm, [Riyadh: Muntada ats-Tsaqafah, 2013], halaman 391)
Semakin hari, semakin parah sakit yang Rasulullah rasakan. Tepat satu hari menjelang wafat, Nabi memerdekakan budak-budakya, bersedekah sebanyak enam atau tujuh dirham, serta memberikan senjata-senjata yang Nabi miliki untuk orang-orang Muslim.
Memasuki waktu Shubuh pada hari Senin, tepat di hari kewafatannya, Abu Bakar menjadi Imam shalat. Sesuatu yang mengejutkan terjadi saat tiba-tiba Rasulullah membuka tirai rumahnya untuk melihat jama’ah. Padahal, akhir-akhir ini beliau terlihat sakit parah.
Rasulullah tersenyum dan tertawa. Lantas Abu Bakar mundur ke shaf belakang karena mangira Rasulullah akan menjadi imam shalat. Melihat itu, Rasulullah berisyarah dengan tangannya agar Abu Bakar terus melanjutkan menjadi imam.
Saking bahagia melihat kondisi Rasulullah tampak membaik, hampir saja para sahabat yang tengah melakukan shalat jama’ah membatalkannya.
Dalam keadaan sakit yang begitu parah di hari kewafatan, Rasulullah berada di rumah ‘Aisyah dan dalam pangkuan istri tercintanya itu. Ketika Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah dan memegang siwak, Rasulullah melihatinya.
Aisyah yang paham lantas menawarkan kepada Nabi, “Maukah kuambilkan siwak itu untukmu?” Nabi mengangguk. Melihat tekstur siwak yang begitu kasar, ‘Aisyah pun melunakannya agar lebih nyaman digunakan. Lantas Nabi bersiwak dengan cara yang sangat baik.
Rasulullah kemudian memasukkan kedua tangannya ke sebuah bejana berisi air, mengusapkannya ke wajahnya, dan berkata, “La ilaha illallah, sesunguhnya kematian itu mengalami sekarat.”
Tidak lama setelah bersiwak, Nabi mengangkat tangan atau jarinya dan mengarahkan tatapannya ke arah langit-langit. Nabi berdoa demikian,
Artinya: “Bersama orang-orang yang Engkau limpahkan nikmat, yaitu para nabi, orang-orang yang shiddîq, para syuhada, dan orang-orang shaleh. Ya Allah, ampuni dan kasihanilah aku. Temukanlah aku dengan rafîqul a’lâ. Ya Allah, temukanlah aku dengan rafîqul a’lâ.”
Rasulullah pun menghembuskan napas terakhir. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.
Menurut mayoritas ulama, kata rafîqul a’lâ yang dimaksud dalam doa tersebut adalah para nabi yang berada di surga ‘Illiyyîn paling tinggi. Kata rafîq sendiri merupakan bentuk tunggal dengan makna plural. (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2017], juz VIII, halaman 169)
Safyurrahman al-Mubarakfuri mencatat peristiwa ini terjadi pada pagi waktu Dhuha dalam cuaca yang begitu panas. Tepatnya pada hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah. Usia Nabi ketika itu mencapai 63 tahun lebih empat hari. (Al-Mubarakfuri, Raḫîq al-Makhtûm, [Riyadh: Muntada ats-Tsaqafah, 2013], halaman 395)