Dalam literatur peradaban Islam, tidak banyak tercatat peran kaum perempuan dalam dunia kepemimpinan.

Namun hal tersebut bukan berarti kaum perempuan tidak mempunyai peran sama sekali dalam dunia kepemimpinan. Karena jika dilacak ke belakang, ternyata akan kita jumpai peran kaum perempuan dalam dunia kepemimpinan.

Salah satu sosok perempuan yang mempunyai peran penting dalam dunia kepemimpinan adalah Shajarat al-Durr. Dia adalah sosok perempuan yang pernah menjadi pemimpin Dinasti Mamluk di awal-awal dinasti tersebut berdiri.

Nama Shajarat al-Durr sendiri merupakan sebuah julukan yang mempunyai arti pohon mutiara, sebab dia adalah sosok perempuan yang sangat menyukai permata laut.

Lahir di daerah Armenia pada abad ke-13 dari keluarga Kipchack, atau yang dikenal dengan orang-orang Turki yang Nomaden. Menurut Ibnu Batuta, orang Kipchack adalah orang-orang berambut pirang yang mana kaum perempuan mempunyai status tinggi atau dimuliakan dalam kelompok tersebut.

Terkait dengan asal-usul Shajarat al-Durr, para sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Shajarat al-Dur adalah anak perempuan Abdullah, serta budak al-Malik al-Shalih Najmuddin al-Ayyubi (pemimpin Dinasti Ayyubiyah) yang kemudian dijadikan istrinya sebagaimana dikatakan oleh al-Yunini dalam Dzayl Mir’at al-Zaman dan Ibn Taghri Birdi dalam al-Nujum al-Zahirah.

Ada juga yang mengatakan bahwa Shajarat al-Durr adalah anak perempuan dari saudara Khalifah al-Mu’tashim yang bernama Fathimah. Namanya pertama kali muncul dalam catatan sejarah di tahun 636 H atau 1239 M, yaitu sebagai seorang penghuni harem Istana al-Mu’tashim seperti yang dijelaskan oleh Qasim Abduh Qasim dalam karyanya Ashr Salatin al-Mamalik.

Pada tahun 637 H/1240 M, Khalifah Dinasti Abbasiyah al-Mu’tashim memberikan Shajarat al-Durr kepada al-Malik al-Shalih Najmuddin al-Ayyubi yang merupakan penguasa Dinasti Ayyubiyah. Ketika Dinasti Ayyubiyah menguasai Mesir, Shajarat al-Durr dinikahi oleh al-Malik al-Shalih.

Disamping menikahi Shajarat al-Durr, dia juga membawa sejumlah besar orang-orang Kipchack ke Kairo untuk dijadikan tentara. Orang-orang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Mamluk.

Karena begitu cintanya kepada Shajarat, penguasa Dinasti Ayyubiyah sering membawanya ke mana-mana bahkan ke medan peperangan. Sang istri pun ternyata tidak pernah menolak hal tersebut, dan juga tidak melarikan diri dari pertempuran. Dari sinilah, Shajarat al-Durr kemudian menjadi sosok penting, yaitu sebagai orang yang mengatur strategi militer kerajaan waktu itu. Dan pendapat-pendapatnya sering menjadi penentu kemenangan pertempuran.

Kepercayaan Shalih al-Ayyub kepada Shajarat al-Durr semakin bertambah ketika urusan-urusan istana diserahkan kepadanya, terutama saat Shalih al-Ayyub sedang pergi berperang. Bahkan, tugas-tugas kenegaraan dilimpahkan kepada Shajarat secara menyeluruh saat Shalih al-Ayyub sedang menderita sakit keras.

Di saat Shalih al-Ayyub sakit keras, terjadi juga perang Salib VII melawan pasukan Perancis yang dikomandoi oleh Louis IX yang ingin menguasai kota al-Manshurah.

Shalih al-Ayyub dan pasukannya pada waktu itu terdiri dari kalangan Mamluk Bariyah yang direkrut untuk melakukan peperangan Salib. Keberadaan Shajarat pada peristiwa ini juga begitu penting, yaitu sebagai orang yang mengatur berbagai strategi perang.

Shalih al-Ayyub yang sebelumnya sudah sakit, akhirnya meninggal dan posisi kepemimpinan di Dinasti Ayyubiyah menjadi kosong. Kematian Shalih al-Ayyub sendiri dirahasiakan oleh Sharajat dan juga Fakhruddin yang merupakan pemimpin tertinggi pasukan muslimin dari Khurasan, dan juga dirahasikan oleh Baha’uddin Ibn Hanna yang berposisi wazir, serta Jamaluddin Muhsin yang merupakan kepala urusan istana.

Alasannya adalah kondisi saat itu sangat genting, dan khawatir terhadap pasukan Perancis yang sedang menuju al-Manshurah. Shajarat dan Fakhruddin pun sepakat menjalankan pemerintahan sampai Muazzam Turansyah yang merupakan Putra Shalih al-Ayyub datang ke Mesir.

Kematian Shalih al-Ayyub yang disembunyikan pada akhirnya terdengar sampai ke pimpinan pasukan perang salib. Setelah tahu jika pemimpin Dinasti Ayyubiyah telah meninggal, para tokoh Mamluk sepert Farisuddin Aqthay al-Jamdar dan Rukn al-Din Baybars menyampaikan informasi tersebut kepada Turansyah.

Namun, Shajarat sudah terlebih dahulu mengantisipasinya dengan menyurati Turansyah dan menjelaskan kepadanya. Di sisi lain, Louis IX yang sudah mengetahui hal tersebut langsung melakukan serangan dengan jumlah tentara 110.000.

Dalam pertempuran tersebut, pasukan umat Islam yang dipimpin oleh Baybars berhasil mengalahkan pasukan Perancis di pertempuran yang terjadi selama 3 hari.

Kemenangan tersebut juga tidak lepas dari Shajarat al-Durr yang merangkai berbagai strategi untuk mengalahkan tentara salib yang dipimpin oleh Louis IX dari Perancis.

Setelah kemenangan tersebut, Turansyah dan rombongannya sampai di al-Manshurah pada 27 Februari 1250 M. Kedatangannya langsung disambut oleh Shajarat al-Durr, namun Shajarat al-Durr setelah itu langsung pergi ke Baitul Maqdis untuk menghindari konflik dengan Turansyah. Dan mulai saat itulah, pemerintahan berada di tangan Turansyah.

Turansyah kemudian melanjutkan peperangan melawan pasukan Perancis pimpinan Louis IX sampai akhirnya Louis IX menyatakan kalah dalam peperangan tersebut, dan diapun ditawan bersama para petinggi militernya.

Namun, Turansyah yang masih sangat muda dan belum banyak mempunyai pengalaman dalam memegang kekuasaan yang besar akhirnya banyak membuat kesalahan. Dia merayakan kemenangannya dengan mengundang para tokoh Mamluk ke Fariskur. Dan sebelumnya juga mencopot jabatan orang-orang Mamluk yang sudah mengabdi lama, dan menggantinya dengan mengangkat orang-orang terdekatnya.

Bahkan saat sedang mabuk, dia mengancam akan memperlakukan orang-orang Mamluk dengan kejam. Melihat hal tersebut, para petinggi Mamluk merasa khawatir sehingga bersepakat untuk membunuh Turansyah.

Setelah Turansyah meninggal, para tokoh Mamluk langsung mengangkat Shajarat al-Durr secara aklamasi sebagai pemimpin mereka. Hal ini juga menandai berakhirnya Dinasti Ayyubiyah dan menjadi awal kekuasaan Dinasti Mamluk.

Pengangkatan Shajarat al-Durr sebagai pemimpin dikarenakan para tokoh Mamluk melihat bahwa Shajarat al-Durr mempunyai kapabilitas, apalagi Shajarat al-Durr sering diajak oleh suaminya ke medan perang dan mempunyai jasa besar dalam melawan tentara salib.

Alasan lainnya adalah kondisi negara yang tidak menentu pasca meninggalnya Shalih al-Ayyub, apalagi ketika dipimpin oleh putranya dari istri pertamanya yaitu Turansyah. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Turansyah membuat situasi dalam negeri pada waktu itu semakin kacau, karena Turansyah lebih mengutamakan pasukan yang dibawanya daripada orang-orang Mamluk yang sudah bertahun-tahun menjadi elit di Dinasti Ayyubiyah.

Pengangkatan Shajarat al-Durr pun bukan tanpa polemik, karena banyak yang tidak setuju. Salah satu tokoh yang tidak setuju adalah Khalifah al-Mu’tashim.

Ketidaksetujuan tersebut kemudian dijawab oleh Shajarat al-Durr dengan menikahi Izzudin Aybak yang merupakan prajurit Mamluk sambil tetap memainkan peranannya dalam urusan pemerintahan.

Jadi pada hakikatnya, secara de facto kekuasaan sebenarnya terletak di tangan Shajarat al-Durr, bahkan urusan keuangan dan perbendaharaan kerajaan masih berada di tangan Shajarat al-Durr. Bahkan secara de facto, Shajarat memerintah di Mesir selama 7 tahun.

Bagaimanapun keadaannya, masa pemerintahan Shajarat al-Durr memang tidak bertahan lama. Tetapi dia mempunyai jasa dan sumbangsih besar dalam membela Islam bersama orang-orang Mamluk pada waktu itu ketika menghadapi tentara salib.

Dimulai pada masa Dinasti Ayyubiyah (564-648 H/1169-1250 M) dan Dinasti Mamluk (648-922 H/1250-1517 M) termasuk perang Salib VII antara pasukan perancis dengan umat Islam dalam perang al-Manshurah 5-8 Dzulqa’dah 647 H / 8-11 Februari 1250 M yang dikoordinasikan oleh Shajarat al-Durr, perang Farisku 3 Muharram 648 H/6 April 1250M dipimpin oleh al-Mu’azzam Turansyah.

Leave a Response