Kisah mengenai orang-orang sakti yang hidup pada zaman dahulu selalu meninggalkan kesan takjub bagi orang-orang yang hidup di zaman modern ini. Penulis sendiri sudah terbiasa mendengar cerita tutur dari orangtua tentang kisah-kisah orang terdahulu, terutama kisah mengenai sesepuh Cirebon. Salah satu sesepuh di Cirebon yaitu Kiai Abdul Qohar.
Mungkin sebagian orang Cirebon sendiri lupa dengan sosok kharismatik tersebut. Jadi, mari kita mengingatnya kembali. Menurut buku Silsilah Keturunan Buyut K. Abdul Qohar yang disusun oleh KH. Machmud Rois Mertapada Cirebon, Kiai Abdul Qohar merupakan keturunan dari Sultan Banten (Pangeran Seba Kingking Muchammad Yusuf Chasanuddin, salah satu putra dari Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati).
Kiai Abdul Qohar dilahirkan pada hari Senin Kliwon, 12 Januari 1799. Ia pernah menjadi Pengulu Besar Cirebon. Ia memiliki empat istri. Tiga istri berasal dari bangsa manusia, dan satu istrinya berasal dari bangsa jin. Pekerjaan Kiai Abdul Qohar setiap harinya adalah menulis (menyalin) Alquran yang merupakan pesanan orang-orang. Saat itu, belum ada tempat percetakan di wilayah Cirebon. Satu Alquran membutuhkan waktu satu bulan untuk menyelesaikannya.
Selain menulis Alquran, Kiai Abdul Qohar juga memiliki buku catatan yang berisi khasiat obat-obatan. Khasiat obat-obatan yang ada dalam catatan tersebut merupakan obat-obatan yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Kiai Abdul Qohar mengetahui informasi khasiat obat-obatan tersebut dari tumbuhan dan hewan secara langsung.
Jadi, misal ada sebuah tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit, maka tumbuhan tersebut akan mengatakannya langsung kepada Kiai Abdul Qohar. Begitu pun dengan hewan-hewan. Jika ada seekor hewan yang dirinya berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit tertentu, maka ia akan mengatakannya kepada Kiai Abdul Qohar bahwa ia dapat menjadi obat penyakit tersebut.
Pada saat Kiai Abdul Qohar menjabat menjadi Penghulu Cirebon, ada seorang Bupati Bandung (yang biasa dipanggil dengan sebutan Kanjeng Bupati) yang juga memiliki kesaktian. Ia dapat menjelma menjadi dua. Saat itu, ia mengetahui bahwa Kiai Abdul Qohar memiliki kesaktian yang masyhur juga. Oleh karena itu, ia memiliki keinginan untuk menguji kesaktian Kiai Abdul Qohar.
Singkat cerita, Kanjeng Bupati Bandung tersebut mulai menguji kesaktian yang dimiliki Kiai Abdul Qohar. Kanjeng Bupati sebenarnya sudah mengetahui bahwa Kiai Abdul Qohar tidak memiliki kijang, namun ia sengaja menyuruh pengawalnya untuk meminta kijang kepada Kiai Abdul Qohar. Maka, berangkatlah pengawalnya tersebut.
Sesampainya di rumah Kiai Abdul Qohar, pengawal kemudian menyampaikan pesan dari Kanjeng Bupati. Lalu Kiai Abdul Qohar heran, mengapa ia dimintai kijang, padahal ia tidak memiliki kijang seekor pun. Kiai Abdul Qohar akhirnya menangkap maksud Kanjeng Bupati tersebut. Ia mengetahui bahwa ia sedang diuji kesaktiannya oleh Kanjeng Bupati.
Oleh karena itu, ia memberikan sesuatu kepada pengawal Kanjeng Bupati dan pemberian tersebut berubah menjadi kijang. Pengawal Kanjeng Bupati membawa kijang tersebut dan menyerahkannya kepada Kanjeng Bupati. Akhirnya Kanjeng Bupati percaya bahwa Kiai Abdul Qohar memang sakti. Namun tidak hanya berhenti di situ. Ia masih penasaran dengan kesaktian yang dimiliki Kiai Abdul Qohar.
Setelah satu minggu berlalu, Kanjeng Bupati memerintahkan pengawalnya untuk menemui Kiai Abdul Qohar lagi. Namun kali ini tujuannya bukan untuk meminta kijang, tetapi untuk mengundang Kiai Abdul Qohar agar hadir ke rumah Kanjeng Bupati.
Kiai Abdul Qohar memenuhi undangan tersebut. Ia hadir ke rumah Kanjeng Bupati. Kanjeng Bupati mengetahui kedatangan Kiai Abdul Qohar dan ia menggunakan kesaktiannya, yakni menjelma menjadi dua. Kiai Abdul Qohar pun mengetahui bahwa Kanjeng Bupati menjadi dua untuk menguji kesaktiannya.
Lalu, Kiai Abdul Qohar masuk ke rumah dengan mengucapkan salam. Sebelum Kiai Abdul Qohar duduk, datang lagi seseorang yang menyerupai Kiai Abdul Qohar, lalu datang lagi Kiai Abdul Qohar ketiga, keempat, dan seterusnya sehingga kekurangan tempat duduk. Mengetahui hal tersebut, Kanjeng Bupati merasa kalah kesaktiannya dibandingkan dengan kesaktian yang dimiliki Kiai Abdul Qohar. Kanjeng Bupati yang mengakui kesaktian Kiai Abdul Qohar, akhirnya ia berguru kepada Kiai Abdul Qohar.