Agama (dīn) dan beragama (tadayyun) adalah dua dimensi yang terintegrasi. Agama merupakan seperangkat keyakinan dan amalan yang bersumber dari wahyu–yang dipilih dengan kesadaran–untuk meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Sedangkan beragama berarti mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sosiologis, manusia pada umumnya cenderung beragama dalam dua bentuk, yakni formal dan substantif. Bentuk pertama merupakan model beragama yang mengutamakan formal-logika ajaran agama guna mewadahi kepentingan umat beragama. Adapun bentuk kedua adalah model beragama yang menekankan implementasi substansi ajaran agama dalam dirinya dan masyarakat.
Apapun pilihan model keberagamaan seseorang, ketika berhadapan dengan realitas masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, ia seharusnya dan semestinya memperagakan corak keagamaan yang moderat, toleran, kooperatif, dan demokratis. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur pernah berkata, “Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya.”
Corak keagamaan yang moderat, toleran, kooperatif, dan demokratis bisa disederhanakan dengan “beragama secara damai.” Corak ini dapat diaktualisasikan melalui bantuan berbagai pihak, yakni 1) manusia dengan pemahaman keagamaan yang toleran; 2) pemerintah dengan berbagai kebijakan yang adil tanpa diskriminasi; dan 3) umat beragama dengan partisipasi penuhnya.
Menurut Prof. Nasaruddin Umar dalam pengantar buku Al-Qur’an Bukan Kitab Teror, ketiga pihak tersebut adalah komponen utama dalam beragama secara damai. Jika salah satu dari ketiganya hilang atau tidak berperan secara penuh, maka beragama secara damai hanya akan menjadi utopia belaka. Bisa dikatakan bahwa ketiganya adalah syarat-syarat yang wajib ada, terutama dalam konteks keindonesiaan.
Pertama, pemahaman agama yang toleran mesti dimulai dari penafsiran yang baik. Islam merupakan agama kedamaian. Namun, kita masih menjumpai di sekitar kita adanya ketidaksesuaian antara pesan damai agama dan implementasi beragama. Banyak terjadi kekerasan dan ujaran kebencian atas nama agama, padahal agama Islam sendiri mengajarkan cinta dan kedamaian.
Kita seharusnya berkaca pada nilai-nilai substansial yang diajarkan Alquran. Bagaimana Alquran menjembatani antara pesan universal Allah dengan praktik beragama?
Bagaimana Alquran mengajarkan prinsip-prinsip perdamaian serta strategi mewujudkannya dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan bernegara? Sudahkah kita meresepsi nilai tersebut dan mengimplementasikannya?
Salah satu sikap beragama yang paling penting dalam Islam adalah ishlāh. Ia diartikan sebagai upaya mendamaikan konflik (conflict resolution). Alquran bahkan menggunakan kata imperatif, ashlihū (QS. Al-Hujurat [49]: 9) bagi mukhatab-nya dalam rangka memerintahkan membina kedamaian dalam konflik. Sebab, salah satu tugas orang yang beragam adalah mendamaikan pihak yang bertikai dengan mencari kesepahaman dan kesepakatan damai.
Apabila perundingan damai tidak berhasil dilakukan, maka langkah yang harus ditempuh adalah menyelesaikan dengan bentuk mediasi atau musyawarah yang berperan signifikan dalam usaha bina damai (peace building). Karena musyawarah adalah ruang dialog antar pihak yang berselisih untuk mencari titik temu suatu permasalahan agar keduanya bisa damai dan berdamai.
Kedua, kebijakan pemerintah yang adil tanpa diskriminasi berperan penting dalam mewujudkan perdamaian. Dalam hal ini, pihak-pihak berwenang seperti kementerian agama harus berupaya sekuat tenaga membina harmonisasi dan kedamaian umat beragama. Salah satunya adalah dengan memberi peran kepada organisasi setiap agama–tanpa terkecuali–dalam usaha mewujudkan damai di Indonesia.
Ketiga, umat beragama hendaknya mempraktikkan kekuatan agama sebagai sebuah kekuatan sentripetal atau kekuatan kekohesifan yang menyatukan. Bukan kekuatan sentrifugal yang memecah belah antara umat beragama. Dengan bersikap demikian, pemahaman agama dan implementasi nilai keagamaan akan mewujudkan persamaan dan persatuan di tengah perbedaan dan kemajemukan.
Dialog antar agama (ḥiwār al-adyān) adalah sarana dan media paling efektif dalam mewujudkan kekuatan sentripetal tersebut dan dapat mencegah konflik horizontal. Biasanya, model ini diawali dengan kesepakatan dan kesepahaman bersama serta dilandasi oleh iktikad baik demi perdamaian. Dalam dialog, kita dapat membahas berbagai persoalan yang bersifat universal dan inklusif.
Prof. Nasaruddin Umar mengklasifikasikan pembahasan dalam dialog antar umat beragama ke dalam 3 prioritas utama, yakni: 1) dialog tentang kehidupan sehari-hari yang menjadi aspek paling mendasar bagi manusia; 2) dialog tentang kerja sosial berkaitan dengan kualitas dan intensitas kerjasama yang serius antar pemeluk agama; 3) dialog teologis dalam rangka memahami satu sama lain.
Dalam konteks relasi anta umat beragama, pemaksaan kehendak pribadi kepada pihak lain merupakan cara yang kurang bijaksana. Sebab memahami kepentingan publik (mashlaḥah ‘āmmah) lebih mulia daripada reaktif kepada masyarakat dengan protes secara berlebihan atas nama ajaran agama. Pengendalian emosi seringkali lebih sulit dan lebih mulia dari menuruti emosi.
Sikap damai adalah cara terhormat sebagai warga negara dalam masyarakat majemuk. Sebab kedamaian bisa menjadi kekuatan dakwah yang lebih efektif dan efisien daripada dakwah dengan pemaksaan kehendak, caci maki, dan ujaran kebencian. Dakwah bil hal atau dakwah dengan tindakan-tindakan positif ini adalah jalan terbaik sebagaimana yang telah diajarkan Nabi Muhammad saw.
Sudah saatnya berbagai polemik, ketegangan, dan konflik antar umat beragama yang mewabah di Indonesia didekati dengan cara kembali pada sinaran Alquran dan hadis yang berisikan nilai-nilai ketuhanan. Yang tentu sangat berguna bagi fondasi keberagaman dan keberagamaan bangsa. Sudah saatnya kita beragama secara damai dan memaknai perbedaan sebagai suatu keniscayaan ilahi. Wallahu a’lam.