Cara keberagamaan setiap daerah dengan coraknya yang khas senantiasa memiliki daya tarik dan kekuatan sosial yang sangat tinggi. Sesuatu yang mengakar kuat dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat akan menjadi tradisi yang melembaga (institutionalized). Termasuk dalam hal ini adalah praktik keberagamaan tahlilan.
Oleh karena, tahlilan adalah ekspresi keberagamaan masyarakat Indonesia yang sudah lama dipraktikkan berkaitan dengan mendoakan bersama orang yang telah meninggal dunia itu telah mengakar kuat di Indonesia.
Pada era disrupsi ini, media sosial merupakan sarana efektif dan efisien dalam menyampaikan suatu informasi kepada pihak lain. Kotler dan Keller (2009) mengemukakan media sosial adalah media yang digunakan oleh konsumen untuk berbagi teks, gambar, suara, dan video informasi baik dengan orang lain maupun perusahaan dan vice versa.
Pendapat tersebut didukung pernyataan Carr dan Hayes (2015) di mana media sosial adalah media berbasis internet yang memungkinkan pengguna berkesempatan untuk berinteraksi dan mempresentasikan diri, baik secara seketika ataupun tertunda, dengan khalayak luas maupun tidak yang mendorong nilai dari user-generated content dan persepsi interaksi dengan orang lain.
Media sosial digunakan secara produktif oleh seluruh ranah masyarakat, bisnis, politik, media, periklanan, polisi, dan layanan gawat darurat. Media sosial telah menjadi kunci untuk memprovokasi pemikiran, dialog, dan tindakan seputar isu-isu sosial. (Dedi Rianto Rahadi, 2017 : 60).
Mau tidak mau, suka tidak suka, realitasnya kita telah berada pada zaman di mana hampir segala transaksi sosial ekonomi dilakukan melalui media yang terkoneksi dengan jaringan internet (daring). Tentu saja, sistem komunikasi semacam ini – dengan kemudahan arus informasi yang mengglobal – membawa dampak positif dan negatif.
Pelbagai dampak negatifnya juga menjadi tantangan tersendiri bagi tradisi keagamaan lokal kita. Salah satu dampak negatif yang begitu masif akhir-akhir ini adalah hoaks. Oleh karenanya, sangat menarik jika kita menganalisis kekuatan tradisi keagamaan kita (tahlilan) dalam melawan hoaks di era disrupsi informasi ini.
Tradisi Tahlilan sebagai Sistem Filterisasi Hoaks di Era Disrupsi Informasi
Tahlilan dalam tradisi Islam Nusantara sudah menjadi sebuah adat yang melembaga di tengah-tengah masyarakat kita. Berbagai macam dzikir dilantunkan, mulai tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan berbagai macam doa dipanjatkan dalam prosesi tahlilan guna mendoakan orang yang telah meninggal dunia.
Acara tahlilan ini juga biasanya memiliki sedikit perbedaan di setiap daerah, mulai dari urutan yang dibaca, sampai dengan lamanya tahlilan; ada yang dilakukan selama 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1.000 hari, bahkan dilakukan setiap tahun tepat di hari meninggalnya si mayit yang kemudian dikenal dengan istilah haul. (Shobirin Akmil, 2012 : 323)
Falsafah tahlilan yang terpenting adalah kepedulian. Peduli pada orang yang ditinggalkan, sekaligus pada yang meninggal. Begitulah indahnya ajaran Islam yang lama diajarkan dan diamalkan para pemuka agama Islam di nusantara, yakni para wali songo.
Itulah hebatnya para wali songo dalam berdakwah dengan menggunakan pendekatan sosio cultural masyarakat setempat sehingga lebih mudah diterima dan mampu bertahan lama, bahkan menjadi sebuah kekuatan kearifan lokal yang berdasarkan praktik keagamaan.
Pada acara tahlilan inilah terjadi sebuah komunikasi langsung yang sangat cair antar peserta tahlilan. Mereka dengan berbagai macam latar belakang profesi akan bercampur di satu tempat penuh dengan obrolan santai yang mampu mengikat dan mengeratkan tali persaudaraan di antara mereka.
Bahkan, tidak jarang tetangga yang sebelumnya bermusuhan – setelah sama-sama sekian lama mengikuti acara tahlilan – mereka akan kembali bersatu seolah-olah tidak ada masalah di antara mereka. Itulah kekuatan tradisi keagamaan lokal tahlilan, atau sering dikenal dengan istilah berkah.
Di sisi lain, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya–di era disrupsi informasi ini–kebanyakan masyarakat kita menerima informasi dan melakukan komunikasi melalui media daring yang tanpa batas dengan efek negatifnya, menjadikan berita palsu, hoaks, dan fitnah dengan mudah beredar.
Namun, di tengah-tengah arus modernisasi yang tidak terelakkan ini, justru tradisi lokal keagamaan tahlilan tetap eksis, semakin merambah ke perkotaan, bahkan diadakan di istana negara kepresidenan dengan konsep dzikir bersama (istighosah) untuk kemajuan negara dan mendoakan para pahlawan yang telah meninggal dunia.
Tradisi tahlilan tetap mengakar kuat meskipun diterpa kemajuan arus globalisasi. Tahlilan dengan berdzikir dan berdoa bersama menjadi sarana masyarakat untuk saling bertegur sapa dan berkomunikasi secara langsung antar anggota masyarakat.
Hal ini mampu mencairkan suasana dan menjadi sarana untuk mengonfirmasi setiap berita-berita yang beredar di tengah-tengah masyarakat, termasuk memiliki kemampuan untuk meng-counter hoaks, atau setidak-tidaknya meminimalisir dampak negatif hoaks.
Jika kita perhatikan dari setiap praktik tahlilan, suasana yang muncul adalah kebaikan, kehangatan, dan komunikasi yang cair penuh canda dalam rangka menghibur keluarga yang ditinggal oleh anggota keluarganya yang telah meninggal dunia.
Di sisi lain, suasana yang dibangun oleh para peserta tahlilan itu memunculkan perasaan dan cara berpikir yang positif sehingga setiap ada berita atau pembahasan negatif yang muncul di tengah-tengah obrolan setelah tahlilan akan segera di-counter oleh forum. Itulah kekuatan tahlilan secara implisit sebagai produk tradisi lokal dengan ciri khasnya gotong royong dan kebersamaan.
Di tengah-tengah era disrupsi informasi di mana hoaks bisa “berkeliaran” dengan leluasa karena kelemahan komunikasi informasi yang dilakukan tanpa batas melalui media sosial, tahlilan menjadi kekuatan tersendiri karena tradisi lokal keagamaan ini telah mengakar kuat.
Melalui tahlilan ini masyarakat tetap bisa berkomunikasi langsung dan membentuk sebuah filterisasi terhadap hal-hal negatif yang datang dari luar, termasuk dalam meng-counter hoaks.