Bagaimana cara memilih teman atau sahabat yang baik menurut ajaran Islam? Pertanyaan ini sering muncul di kalangan generasi Muslim yang berkeyakinan bahwa teman yang baik sebagai hal yang penting. Hal ini sebagaimana penjelasan Rasulullah dalam hadits:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu akan terpengaruh oleh agama temannya, maka hendaknya seseorang dari kalian melihat kepada siapa dia berteman.” (HR. Abu Dawud)
Hadist di atas memberikan nasihat tentang tata cara memilih teman dalam ajaran Islam. Sebuah ungkapan lama yang menyatakan, berteman dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi. Ungkapan ini bisa saja benar karena bagaimanapun teman akan memberikan pengaruh terhadap perilaku keseharian seseorang.
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali memberikan tips mengenai bagaimana cara memilih teman atau sahabat yang baik. Tips berikut ini ia terangkan dalam kitab karyanya yang berjudul Bidayatul Hidayah.
Imam Al-Ghazali berkata, “Jika engkau mencari orang untuk dijadikan sahabat dalam mencari ilmu, urusan agama, dan urusan dunia, maka kau harus memperhatikan darinya lima (5) hal berikut.”
Pertama, yang harus diperhatikan adalah akalnya, dalam arti cerdas dan berilmu. Menurut Imam Al-Ghazali, berteman dengan orang bodoh tidak ada manfaatnya dan akan berujung pada keputusasaan dan permusuhan.
Dalam syair Imam Ali berkata:
Janganlah berteman dengan orang yang bodoh telah karena akan celaka engkau dan celaka pula dia.
Berapabanyak orang yang bodoh telah merusak orang yang bijak ketika berteman dengannya.
Seseorang akan disamakan dengan seseorang yang lain, jika dia selalu bersama dengannya.
Seperti sepasang sandal, apabila sandal itu dijajarkan.
Antara sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, terdapat persamaan dan kerserupaan saat bersanding dengannya.
Antara hati dengan hatii yang lainnya terdapat getaran saat berjumpa.
Kedua, perhatikan akhlaknya. Jangan bersahabat dengan orang yang tidak bagus akhlaknya serta buruk kelakuannya. Perumpaan orang yang buruk akhlaknya seperti orang yang tidak mampu menguasai dirinya ketika amrah atau ketika tinggi nafsunya.
Seorang ahli hikmah memberikan wasiat kepada putranya untuk bekal memilih teman. Dia adalah Al-‘Utharidi. Pesan tersebut berisi perintah untuk berteman dengan orang yang menjaga kehormatan temannya, mencukupi kebutuhan temannya, menambahkan kemuliaan temannya, membantu menjaga ibadah temannya menghargai dan menutupi keburukan temannya, dan lain sebagainya.
Ketiga, hal selanjutnya yang harus diperhatikan ketika memilih teman adalah kesalehannya. Orang saleh akan mengajak kepada kebaikan dan menjauhi maksiat. Imam Al-Ghazali melarang untuk berteman dengan orang fasik yang tidak takut Allah dan mengajak kepada kemaksiatan.
“Dan janganlah engkau mengikuti orang yag hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan perilakunya sudah melawati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]:28)
Keempat, tidak tamak dunia. Orang yang tamak merupakan racun hati yang mematikan. Bergaul dengan orang tamak dapat menyebabkan ketamakan kita bertambah dan sebaliknya bila bergaul dengan orang-orang yang zuhud akan menyebabkan menguatnya sifat zuhud.
Sebenarnya, secara fitri hati manusia diciptakan ingin selalu meniru serta mengikuti. Tabiat dan sifat manusia ini saling menulari tanpa disadari. Sehingga hal ini juga mempengaruhi kuatlitas diri kita akibat pertemanan tersebut.
Kelima adalah kejujuran. Imam Al-Ghazali menyebut seorang pembohong adalah fatamorgana. Dia seakan mendekatkan yang terlihat jauh dan menjauhkan yang terlihat dekat. Tetapi, hal ini bukan kenyataan hanya sebatas tipuan saja.
Dalan realitanya, tidak ada manusia yang memiliki kelima kriteria tersebut. Ada yang jujur tapi tidak sholeh, ada yang tamak tapi taat beragama. Ada yang buruk akhlaknya tapi cerdas, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu dalam hal ini, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa hendaknya kita memilih di antara dua pilihan. (1) Mengasingkan diri untuk beribadah, atau (2) bergaul dengan secukupnya.
Ada tiga macam tipe Sahabat menurut Imam Al-Ghazali.
Pertama, sahabat dalam urusan akhirat. Dalam pertemanan ini maka carilah keuntungan dalam bidang agama.
Kedua, sahabat dalam urusan duniawi. Maka carilah keuntungan berupa akhlak yang mulia darinya. Dan ketiga, sahabat dalam bersenang-senang dan bersantai-santai. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali tidak menganjurkan untuk mengambil manfaat apapun darinya.
Sementara Imam Al-Ghazali juga membagi manusia menjadi 3 bagian:
Imam Al-Ghazali cukup realistis. Sebagai manusia kita tidak mungkin tidak dihadapkan pada manusia yang satu macam saja. Oleh karena itu pada manusia yang bertipe penyakit hendaknya kita tetap bertoleransi dengan tetap bersikap baik hingga kita terbebas darinya.
Sejelek apapun perangai manusia, kita tetap mendapatkan kemanfaatan, yakni berupa petunjuk dari Allah untuk merenungi keburukan masing-masing. Sehingga hal tersebut dapat menyadarkan kita untuk menjadi lebih baik.
Nabi Isa as pernah ditanya seseorang, “Siapa yang telah mendidikmu?” Nabi Isa menjawab, “Tak ada yang mendidikku tentang adab. Akan tetapi, aku melihat perilaku orang bodoh dari seorang yang bodoh, lalu aku menjauhinya.”
Demikian cara memilih teman yang baik dalam ajaran Islam menurut Imam Al-Ghazali. Semoga Allah selalu menuntun kita melalui teman-teman yang baik dan cerdas.