Sertifikasi dai atau juru dakwah merupakan sebuah langkah penting oleh negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga ketertiban umum warga negara yang diterapkan melalui seleksi terhadap pihak yang berlaku sebagai corong publik. Sertifikasi dai semacam ini sebenarnya sudah berlaku lama dalam sejarah Islam, bahkan sudah diteladankan para ulama generasi salaf dan mutaakhirin.

Kita sering mendengar gelar-gelar yang disematkan kepada beberapa muallif kutub al-turats (pengarang kitab-kitab salaf). Misalnya, Syeikh al-Islam, yang disematkan kepada Syeikh Zakariya al-Anshari. Ada gelar Hujjatu al-Islam, yang disematkan kepada Imam Al-Ghazali. Ada juga gelar Quthbu al-Rabbany, yang disematkan kepada Syeikh Abdu al-Qadir al-Jailani.

Di Indonesia sendiri ada gelar “Kiai”, yang disematkan oleh masyarakat kepada pribadi yang ditokohkan. Ada pula gelar “Gus”, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, masyarakat sering memposisikan Kiai dan Gus ini sebagai sumber fatwa hukum Islam dan solusi tentang problematika hidup.

Terakhir, banyak bermunculan gelar “ustadz”. Seseorang yang tidak berkompeten dalam hukum Islam, namun bisa menguasai media, sudah disebut sebagai “ustadz/ustadzah”. Pihak yang belajar agama Islam sedari kecil di Pesantren, justru tidak memiliki gelar apapun selain dipanggil ustadz oleh murid dan orang terdekatnya.

Padahal, keberadaan alumni pesantren ini justru lebih kapabel dalam penyampaian hukum Islam dibanding sosok yang diustadzkan karena ditopang media tersebut.

Inilah bagian dari ironi gelar  ke-ustadz-an di Indonesia di tengah gencarnya arus informasi. Fenomena ini di satu sisi bisa menjadi sebuah peringatan bahaya bagi masyarakat. Khususnya bagi mereka yang baru memutuskan menimba ilmu agama dari awal atau dasar.

Bahayanya, adalah agama yang seharusnya mampu menjadi sendi penguat dan pengikat kehidupan dan kebersamaan dalam harmoni kehidupan. Akan tetapi, justru tampil dalam wajah garang dan seolah siap untuk mengadili siapa saja sebagai kafir, munafik, dan lain sebagainya. Di sisi yang lain, pihak agamawan yang berusaha menjaga sendi dan elemen bangsa, justru dipandang sebagai sok Pancasilais.

Belakang muncul fenomena massifnya umpatan, kata-kata jorok, penghinaan simbol negara di hadapan massa. Praktik demikian dianggap sebagai sesuatu yang halal dan legal atas nama demokrasi dan menegakkan syariat Islam.

Sejak kapan, Islam membolehkan ajaran-ajaran dan ujaran kebencian (hate  speech) ini disampaikan di hadapan publik? Sejak kapan bahwa umpatan dan ujaran kebencian kepada pihak lain, dianggap sebagai berfahala dan berdasarkan syariat?

Secara tidak langsung, ini adalah fenomena yang riel dan nyata ada di hadapan kita. Dan negara perlu hadir dengan instrumen yang dimilikinya untuk menertibkannya serta menyeleksi panggung massa. Sebab setiap statemen yang disampaikan oleh tokoh publik, adalah pendidikan bagi warga yang lain.

Apakah generasi penerus hendak dididik dengan pola tak ramah semacam itu? Jika iya, maka tinggal menunggu tanggal kehancuran dan keruntuhan negeri ini.

Sesuatu yang sudah mujma’ alaih, merupakan bagian dari soko guru (tiang penyangga negara). Teks Proklamasi, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, adalah tolok ukur utama sendi bernegara.

Mempersoalkan soko guru,  sama saja dengan mempermasalahkan tiang pokok elemen pembentuk kenegaraan. Menggoyangnya, adalah sama saja dengan hendak meruntuhkan negara.

Contoh ungkapan yang mengajak menggoyang sendi bernegara itu misalnya adalah sebagai berikut:

“Indonesia adalah negeri thaghut.”

“Pancasila adalah berhala.”

“UUD 1945 adalah kitab suci selain Al-Qur’an.”

“Orang yang berhukum dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 adalah kafir dan thaghut.”

Jika anda telusuri di berbagai media, ungkapan tersebut banyak disampaikan oleh mereka yang memiliki dasar sinyalemen ke arah meruntuhkan negara. Meski gerakannya masih dalam ranah gerilya dan sembunyi di balik sebuah topeng.

Inilah realitas yang tidak bisa kita pungkiri, bahkan disampaikan oleh pihak yang dipanggil gus, kiai, ustadz, atau pihak yang diulamakan. Saat mereka dipidanakan, mereka menyeru dengan lantang bahwa apa yang sedang dialaminya adalah bagian dari kriminalisasi ulama.

Semua gelar-gelar di atas, pada awalnya merupakan gelar-gelar yang bersifat informal  (tidak resmi oleh negara). Namun, hal itu mendapatkan pengakuan sebab ada norma yang berlaku di Indonesia. Entah di bagian negara lain ada atau tidak norma semacam ini.

Belakangan ini gelar-gelar itu tiba-tiba menjadi booming setelah beberapa peristiwa menggemparkan beberapa waktu yang lalu. Ironinya, mereka tiba-tiba mengaku sebagai ulama, padahal belum ada masyarakat atau pihak yang mengakuinya sebagai ulama. Mereka dibesarkan oleh media, dan bukan dibesarkan oleh keluasan ilmu.

Jadi, ada sisi lain dari norma masyarakat yang dilanggar. Seorang ulama merupakan gelar informal yang disematkan oleh masyarakat dan bukan atas dasar pengakuan diri pribadi. Inilah norma yang dilanggar itu.

Norma ini,  seumpama penyebutan beberapa istilah, seperti gelar Syeikh bagi para guru tau di-sepuh-kan di sejumlah perguruan tinggi Timur Tengah. Mereka mendapatkan pengakuan disebabkan keluasan ilmunya, dan bukan sekedar terbatas pada faktor usia. Dan gelar itu menyerupai gelar Kiai di Indonesia. Gelar itu menggambarkan wilayah keluasan dan kedalaman ilmu seseorang.

Sebenarnya pemberian gelar kemasyarakatan ini sudah ada di Indonesia dan dipraktikkan oleh lembaga. Sebagai contoh praktis adalah langkah pemberian gelar oleh sebuah lembaga verifikasi nasab serta diakui secara umum hasil verifikasinya. Misalnya pemberian gelar “Habib” atau “Syarifah” yang diberikan oleh Rabithah ‘Alawiyah.

Hasil verifikasi yang dikeluarkan Rabithah ini ditujukan untuk menelusuri jalur kemurnian nasab keturunan Rasulullah yang ada dan tinggal di Indonesia. Ini adalah salah satu contoh pemberian gelar di Indonesia.

Di satu sisi, penataan terhadap pemberian gelar juru dakwah memang bukanlah sebuah langkah populis dan bisa diterima oleh semua pihak. Namun, dalam bingkai tertentu, ketika banyak hal yang melatarbelakangi munculnya beberapa tokoh komunikator publik dan massa. Sehingga terkadang membuat silang sengkarut dalam memandang penerapan suatu hukum yang berlaku dalam Islam dan dalam konteks ke-Indonesia-an.

Maka upaya penerbitan sertifikat khusus komunikan publik adalah menempati status dlarurah li al-hajah (darurat  yang disebabkan karena faktor kebutuhan).

Hajat yang paling dianggap mashlahah serta dominan adalah (1) hajat ketertiban umum penduduk selaku warga negara. Di sisi lain, (2) kebutuhan terhadap dai yang diharapkan memiliki wawasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Ini mutlak dilakukan sebab Indonesia adalah bangunan sebuah negara yang memiliki pilar-pilar berupa Teks Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, dan Pembukaan UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia membutuhkan sebuah alat/instrumen yang bisa dipergunakan untuk mendukung penertiban warga negaranya. Tujuan untuk menyeragamkan yang menyelesihi terhadap 4 pilar pokok di atas.

Selama ini, kendali yang dimiliki oleh negara terhadap munculnya tokoh-tokoh publik yang berprofesi sebagai dai lewat UU Ormas. Sedangkan mandat pelaksananya adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Peraturan yang melibatkan kedua kementerian ini, rupa-rupanya belum mampu meredam gejolak yang ditimbulkan oleh lahirnya beberapa juru dakwah. Terutama mereka yang terkadang mengafilisikan diri tidak kepada satu Ormas pun. Dan hal itu menjadi sulit ditindaklanjuti disebabkan karena mereka sudah terlanjur diterima oleh massa tertentu.

Apalagi  bila kemudian massa itu mengafiliasikan diri pada sebuah partai politik tertentu. Melawannya, akan senantiasa terbentur oleh alasan demokrasi dan hak melaksanakan / mengamalkan ajaran agama sesuai kepercayaan masing-masing.

Padahal, tolok ukur pelaksanaan dan pengamalan kehidupan beragama di Indonesia,  adalah sudah pasti memiliki syarat utama. Tentu saja tidak merongrong ke 4 pilar tiang penyangga negara. Sebab,  kita saat ini adalah ada dalam bingkai negara. Ibarat negara adalah rumah, bagaimana mungkin seseorang yang tinggal di dalam rumah, lantas mahu merobohkan bangunan rumah itu sendiri?

Ironisnya, karena berbagai faktor, ternyata negara tidak punya instrumen hukum yang kuat untuk menindak tegas juru dakwah itu. Kendati apa yang disampaikannya secara nyata terbukti merongrong 4 pilar sendi bernegara. Membiarkan kekosongan instrumen ini justru berbahaya bagi ketertiban itu.

Di sinilah, negara perlu hadir dengan ditopang oleh instrumen hukum tersebut. Dan instrumen itu bisa hadir dalam bentuk sertifikasi dai atau juru dakwah.

Menjaga ketertiban bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan yang lebih kuat dari demokrasi itu sendiri. Menghadirkan instrumen sertifikat dai atau juru dakwah merupakan bagian dari menjaga hak demokrasi mayoritas warga negara di sisi yang lain yang jumlahnya lebih banyak, sebab mereka membutuhkan sisi keamanan tersebut.

Ketiadaan instrumen penertiban, justru akan melahirkan tu[h]an-tu[h]an kecil di sekitar masyarakat. Dan hal ini seolah menjadi pihak yang menguasai kunci surga dan neraka. Mereka akan bebas mengharu-biru keadaan tanpa adanya kebijakan kontrol sistem, baik oleh negara atau kekuatan ormas yang lain. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Response