KH Husein Muhammad dan KH A Musthofa Bisri (Gus Mus) adalah dua sosok ulama yang bersahabat dekat. Banyak momen di antaranya dalam berbagai seminar, pengajian, dan pertemuan lainnya. Bagi Kiai Husein, salah sati kenangan indah bersama Gus Mus yakni saat acara di Jombang.
“Tiba-tiba aku teringat suatu moment indah bersama Gus Mus beberapa waktu lampau di sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur. Kebersamaan itu begitu mengesankan. Kami berdua diminta bicara soal pesantren hari ini. Gus Mus bicara lebih dulu. Aku senang,” tulis KH Husein Muhammad melalui akun Facebook pribadinya.
Kiai Husein menceritakan waktu itu Gus Mus tampil sebagaimana biasa orasi yang selalu memukau dan membahagiakan publik. Audiens pun acap tegelak-gelak jika Gus Mus bercanda tetapi serius.
“Menyaksikan itu, aku begitu rendah diri. ‘Aku harus bicara apa dan bagaimana? Bagaimana jika mereka kemudian satu persatu meninggalkan kursinya?’ kata hatiku. Aku berpikir mencari cara agar mereka juga terkesan, terhibur dan tak bubar,” pikir Kiai asal Cirebon itu.
Kiai Husein lantas menemukan ide. Ia akan menyanyi terlebih dahulu sebelum memberikan pandangan tentang tema acara. Ia mulai percaya diri sebab teman-temannya menilai suaranya cukup bagus, merdu dan tidak false.
Manakala Gus Mus selesai bicara, pembawa acara mempersilakan dirinya bicara, lalu Kiai Husein segera memulai dengan menyenandungkan nyanyian untuk Gus Dur, “Guru Bangsa”, karya Krishna.
“Ada tepuk tangan hadirin yang meriah usai aku menyanyi. Alhamdulillah. Aku jadi mulai percaya diri dan melanjutkan bicara soal karakter pesantren,” ungkapnya dengan nada senang.
Pada sesi terakhir, usai tanya jawab, panitia meminta Kiai Husein dan Gus Mus membaca puisi. Gus Mus membacakan puisi lebih dulu dengan mengatakan demikian, “Siapa bilang suaraku lebih jelek dari suara kiyai Husein?, he he”.
“Aku dan hadirin tak mengerti maksud Gus Mus bicara begitu. Apa mau menyanyi seperti aku? Hadirin menunggu apa yang akan terjadi,” tanya Kiai Husein pada diri sendiri.
Lalu Gus Mus membacakan puisi yang ditulisnya beberapa tahun lalu. Puisi itu berdjudul Aku Masih Ingat Nyanyian itu. Di dalam puisi itu Gus Mus menyelipkan nyanyian Indonesia Pusaka, karya komponis legendaris Indonesia terkemuka bernama Ismail Marzuki.
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
S’lalu dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata
Lalu Gus Mus menambahkan syair kritikal:
Indonesia air mata kita
bahagia menjadi nestapa
Indonesia kini tiba – tiba
S’lalu di hina – hina bangsa
Di sana banyak orang lupa
Dibuai kepentingan dunia
Tempat bertarung berebut kuasa
Sampai entah kapan akhirnya
“Aku bilang dalam hati, ‘Wow, suara Gus Mus, boleh juga nih. Ini saingan berat. Puisinya hebat. Tepuk tangan pun membahana,” kesan Kiai Husein atas puisi dan lagu yang dibawakan Gus Mus.
Kiai yang dikenal mumpuni dalam kajian fikih perempuan itu teringat, bahwa lagu di atas sering dinyanyikan Gus Mus di sejumlah momen yang relevan. Rupanya lagu itu begitu mengesankannya di hatinya.
“Indonesia tanah air beta, yang indah, subur makmur, aman, damai, gemah ripah loh jinawi. Akan tetapi, belakang situasi indah itu terganggu berat. Tanah air itu tengah dihancurkan oleh banyak penghuninya sendiri yang rakus dan dipermalukan di hadapan dunia oleh sebagian rakyatnya sendiri,” kesalnya.
“Dan Gus Mus tampak geram. Beliau melancarkan kritiknya yang tajam melalui lirik yang diciptakannya sendiri dengan tetap dalam nada nyanyian itu.” Demikian Kiai Husein merasakan suasana saat itu.
Di balik hingar bingar acara itu, Kiai Husein mendengar bisikan seorang teman atas penampilan puisi dan lagu dua sosok kiai yang sama-sama pernah mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa itu.
“Rupanya acara ini bukan sekedar bicara tentang pesantren dan masa depan bangsa, tetapi juga menjadi ajang ‘audisi’, sekaligus ruang menggugat konservatisme, kemapanan dan kerakusan manusia-manusia Indonesia,” tutup Kiai Husein dengan nada tertawa tipis-tipis. (M. Zidni Nafi’)