Moderasi Beragama kini menjadi diskursus yang massif dalam dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Jika selama ini hanya kaum akademisi dan aktivis yang membincangkan wacana-wacana agama, namun sekarang moderasi beragama telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Secara epistemologis, substansi wacana ini sebenarnya sudah lama, bahkan itu memang salah satu karakteristik mendasar dari ajaran agama Islam. Dalam konteks ini, term moderasi dalam beragama tidak bisa dilepaskan dengan kontestasi politik dan ideologi agama di Indonesia yang belakangan sedang menguat. Hal ini ditandai maraknya propaganda politik identitas terutama polemik narasi “radikalisme”.
Pada satu sisi, ada sebagian pihak ada yang sangat getol untuk melakukan counter attack terhadap gejala serta gerakan yang dilabeli kelompok radikal. Hanya saja, pada sisi lain, ada kampanye melawan radikalisme dinilai menjadi ‘bomerang’ bagi hubungan sesama maupun yang berbeda agama. Singkatnya, kampanye moderasi beragama kemudian dipakai terutama oleh Pemerintah untuk mengganti narasi melawan radikalisme, karena terasa lebih elegant dan soft movement.
Terlepas dari perdebatan diskursus tersebut, tulisan ini hendak menguraikan sekilas tentang implementasi konsep moderasi beragama di tengah pandemi virus coorona (Covid-19) yang masih melanda dunia saat ini. Kita tentu sangat prihatin atas dampak yang ditimbulkan wabah ini, terutama soal krisis ekonomi, lapangan kerja, hingga ratusan ribu nyawa melayang karena terjangkit virus.
Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Wasathiyah (2019: 43), ada satu hal yang patut kita syukuri di tengah situasi sulit seperti ini. Kita merasakan adanya iklim solidaritas yang terus tumbuh di tengah masyarakat.
Banyak kalangan berpunya yang memiliki kepedulian sosial (filantropi) untuk ikut serta memilkul beban dalam menghadapi bencana ini. Salah satunya melalui penyaluran bantuan-bantuan sosial. Patut kiranya hal ini terus kita tumbuhkan agar situasi semakin membaik dengan terus saling membantu dan mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran.
Wasathiyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi. Prinsip ini selalu harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami. Dalam hal ini bisa dipahami bahwa bagi Prof Quraish Shihab, konsep Wasathiyah Islam inilah yang kita kenal dengan moderasi beragama.
Tidak heran apabila paham, sikap, dan perilaku moderat merupakan ajaran yang telah ditandaskan oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat ke-143:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Artinya: “Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat wasath (pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.” (QS: Al-Baqarah: 143)
Menurut pakar Ushul Fiqh Prof Moh. Mukri (2020), sebagaimana dikutip dari situs UIN Raden Intan Lampung, Islam moderat merupakan sikap keberagamaan Islam yang mengambil jalan tengah (wasath) antara dua paham atau pemikiran yang ekstrem. Sikap tersebut merupakan hasil dialektika pemahaman atau pemikiran Islam yang ada sebelumnya.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, contoh sikap moderasi dalam beragama antara lain:
Pertama, bersabar menghadapi musibah Covid-19. Sabar merupakan manifestasi keyakinan teologis (akidah) yang diimplementasikan dalam sikap (akhlak) menghadapi praksis kehidupan sehari-hari.
Kedua, mengikuti anjuran pemerintah, pakar dan pihak berwenang dalam penanganan Covid-19.
Ketiga, mengutamakan keselamatan manusia sesuai dengan kaidah fikih dar’ul dafasid aula min jalbil mashalih, yaitu menghilangkan kemudharatan itu harus didahulukan ketimbang mengambil manfaat.
Keempat, tolong menolong dalam mengatasi Covid-19 dan dampaknya. Tolong menolong harus ikhlas tanpa dibatasi suku, agama dan status sosial. Ini merupakan perwujudan dalam memperkokoh ukhuwah Islamiyah, Basyariyah, dan Wathaniyah. (M. Zidni Nafi’)