Pada dasarnya inti ajaran agama, khususnya Islam, mengajarkan prinsip keadilan. Di antara prinsip keadilan tersebut berupa keadialan ekonomi, politik, dan gender equality. Secara mendasar agama Islam tidak membedakan kedudukan, hak, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.

Keduanya diberikan potensi dan peluang untuk menjadi seorang hamba yang ideal. Dalam istilah agama, hamba ideal diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa. Selain itu, keduanya dibebani hak dan tanggung jawab dalam mengelola kehidupan di bumi. Demikianlah pesan ajaran agama dalam al-Qur’an.

Dalam sejarah Islam, dapat ditemui beberapa perempuan tangguh yang kedudukan mereka setara dengan laki-laki seperti Aisyah binti Abu Bakar, perempuan cerdas periwayat hadits istri Nabi, saw., Nusaibah binti Ka’ab, atau biasa disebut dengan Ummu Umarah si perisai Rasulullah saw., dan Khaulah binti Azur yang dijuluki dengan pedang Allah dari kalangan wanita.

Selain perempuan-perempuan tersebut, terdapat salah seorang perempuan yang dikenal dengan doanya yang mampu mengetuk dan menembus langit ketujuh, dialah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram, seorang sahabat Nabi saw. yang memiliki kedudukan istimewa.

Adapun nama lengkapnya adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram al-Anshariyyah al-Khazrajiyyah. Khaulah sendiri merupakan istri dari Aus bin Shamit bin Qais. Aus adalah sahabat Nabi yang dikenal sebagai seorang pemberani dan pandai berkuda. Beberapa kali suami Khaulah ini, ikut terlibat peperangan bersama Rasulullah, seperti Perang Badar, Perang Uhud, dan perang Khandaq.

Jika dilihat dari nasabnya, pasangan suami istri ini memiliki hubungan darah yang cukup dekat yakni saudara sepupu. Secara umur Khaulah lebih muda dibandingkan Aus.

Khaulah merupakan perempuan pemberani dan tegas. Sikap inilah membuat dirinya berani “berdebat” dengan Nabi saw. Perdebatan ini berawal dari kasus Zhihar yang ditimpakan oleh suaminya kepada dirinya.

Suatu hari ketika Khaulah sedang melaksanakan sholat, datanglah suaminya, dan meminta dirinya untuk berhubungan badan. Khaulah menolak ajakan suaminya, sehingga membuat suaminya marah dan berkata “engkau bagiku seperti punggung ibuku.

Dalam tradisi Arab saat itu, menyamakan istri dengan punggung ibunya merupakan bentuk cara suami menceraikan istrinya.

Mendengar ucapan suaminya, Khaulah datang dan mengadu kepada Nabi saw. atas apa yang telah dilakukan suaminya kepadanya. Mendengar aduan Khaulah, Nabi menanggapinya dengan bersabda, “Aku tidak mendapat perintah apa-apa mengenai permasalahanmu. Menurutku, engkau telah haram digauli oleh suamimu. Mendengar penjelasan Nabi saw. Khaulah mendebat dan tidak menyetujui keputusan Nabi saw. tersebut. Ia menjelaskan kepada Nabi resiko yang dideritanya jika berpisah dengan suaminya.

Khaulah berkata kepada Nabi bahwa suaminya (Aus) telah mengambil masa mudanya, memakan hartanya, dan telah diserahkan perutnya untuk suaminya. Kini ketika usianya telah menua dan ia tidak dapat beranak lagi, tiba-tiba suaminya melakukan zhihar kepadanya.

Mendengar penjelasan Khaulah, Nabi tetap mengulangi dengan jawaban yang sama. Hal ini didasari karena belum adanya wahyu yang menjelaskan tentang hukum dari permasalahan tersebut.

Khaulah lalu mengadukan perkaranya kepada Allah swt. karena didorong rasa takut berpisah dengan suaminya. Dengan menengadahkan tangannya ke atas ia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya saya mengadu kepada Engkau, sebab belum ada ayat yang Engkau turunkan yang berkaitan dengan masalah ini (zhihar).

Sebelum Khaulah bangkit pulang, Jibril turun dengan membawa ayat 1-4 surah al-Mujadilah. Kemudian Nabi saw. membacakan ayat tersebut kepada Khaulah. Betapa senangnya hati Khaulah mendengar ayat tersebut.  Allah membela Khaulah atas kasus yang dideritanya.

Khaulah diberi umur panjang oleh Allah swt. Ia pernah bertemu dengan Umar ditengah jalan, yang saat itu umar sendiri sudah menjadi soerang khalifah. Melihat Umar, ia menghentikannya, lalu mendekatinya. Ia berbicara kepada Umar dengan nada yang tegas dan keras. Umar mendengarkannya dengan tekun hingga ia selesai berbicara.

Imam Qurthubi menjelaskan bahwa Khaulah ketika itu menghentikan Umar yang sedang menaiki keledai dan menasehatinya.

wahai Umar, dahulu saat masih kecil, engkau dipanggil dengan sebutan Umair (Umar kecil), lalu setelah besar engkau dipanggil dengan nama Umar, sedang kini engkau dipanggil dengan gelar dan nama Amirul Muminin. Maka bertakwalah kepada Allah karena siapa yang yakin bahwa dia akan mati pastilah takut ketinggalan melakukan kebajikan dan siapa yang yakin adanya hisab pastilah ia takut siksa. Demikianlah nasehat Khaulah kepada Umar.

 Salah seorang yang ikut bersama umar berkata: Sungguh telah banyak pemuka dan pembesar suku Quraisy yang diabaikan atau terhalangi disebabkan engkau mendengarkan perempuan tua itu.

Mendengar perkataan itu, Umar menjawab: Bagaimana engkau ini, tahukah kamu siapa dia? Ini adalah perempuan yang didengar keluhnya oleh Allah di atas langit ketujuh. Dia adalah Khaulah binti Tsalabah. Demi Allah, seandainya dia belum pergi sampai malam tiba, aku tidak akan beranjak sebelum dia menyelesaikan percakapannya.

Ada dua hal yang dapat diteladani dari Khaulah, pertama, Nabi mendengar dan memahami benar pengaduan khaulah. Artinya, Nabi tahu bahwa yang dikemukakan oleh Khaulah adalah benar. Namun, Nabi tidak dapat memutuskan sebuah hukum sebelum turunnya wahyu. Nabi saw. menduga bahwa Allah tidak akan membiarkannya tanpa mengabulkan permintaannya.

Kedua, Khaulah tahu bahwa Allah tidak akan mungkin membiarkan ketidakadilan atas dirinya yang di-zhihar. Dia menduga keras bahwa Allah akan membenarkan dan mengabulkan permintaannya.

Di sisilain, Khaulah berupaya meyakinkan Rasulullah tentang kebenaran pandangannya atas bentuk ketidakadilan zhihar. Yang lebih mengagumkan lagi adalah Allah mendengar dan mengabulkan aduannya tersebut. Dari kasus ini, dapat diketahui bahwa betapa tingginya kedudukan wanita, sehingga Allah mendengar, memperkenankan dan mengabulkan aduannya.

Dari sini pula, dapat ditarik benang merah bahwa perempuan bebas menyeruakan pendapatnya diruang publik. Toh Allah saja mendengar aduan Khaulah terhadap bentuk ketidakadilan, apalagi kita.

Wallahu Alam.      

 

Leave a Response