Sejak dulu, para ulama dan umat muslim Nusantara semua memiliki kecocokan dalam pandangan ber-Islam. Dalam fikih mengikuti mazhab Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti mazhab Imam al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Ghazali dan Abu al-Hasan al-Syadzili. Ini berdasarkan penjelasan KH Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah.

Namun sejak 1330 H, muncullah kelompok, pandangan, ucapan, dan tokoh-tokoh yang saling berseberangan dan beraneka ragam. Ada kelompok berpaham Aswaja yang ikut pengamalan ulama salaf, bermadzhab, mencinta Ahlul Bait Nabi saw dan para wali serta orang-orang saleh, ziarah kubur, sedekah mayit, meyakini syafaat, manfaat doa, ber-tawasul, dan lainnya.

Di sisi lain, ada kelompok seberang yang memandang tak boleh melakukan tawasul, ziarah kubur, sedekah mayit, dan lainnya. Mereka mengambil pandangan dari Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah dan kedua muridnya: Ibnu al-Qayim dan Ibnu Abdil Hadi.

Mereka mengharamkan sesuatu yang disepakati kesunnatannya oleh kaum muslimin semisal ziarah kubur dan lainnya. Serta masih ada juga kelompok seberang lainnya yang disebutkan KH Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah.

Perbedaan paham dalam ber-Islam ini terus berlanjut hingga sekarang, dan entah hingga kapan. Salah satu tema yang hangat dalam masalah perbedaan paham hingga sekarang adalah masalah bidah.

Banyak dari pengikut kelompok yang menolak adanya bid’ah hasanah terus menyerang umat muslim yang menerima bid’ah hasanah sebagai para ahli bidah. Bahkan, tak jarang dicap sebagai kelompok yang sesat, sebab dianggap ahli bid’ah.

Kelompok Wahabi sering gagal paham seputar masalah bid’ah. Di mana, kelompok ini menganggap kalau tak ada bidah hasanah, pokoknya yang namanya bidah ya sesat.

Secara sederhana, bidah berarti: “…mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah saw.” Demikian definisi bidah menurut Imam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam.

Jadi, dalam konteks ini, dapat dipahami kalau bidah adalah sesuatu yang baru yang belum pernah dikenal atau diamalkan pada masa Rasulullah saw.

Dalam menanggapi persoalan baru atau bidah ini, kaum muslim ada yang memandang bahwa tak semua bidah itu sesat dan ada yang memandang kalau semua bidah itu sesat.

Alasan mereka yang menganggap semua bidah itu sesat, adalah berdasarkan dalil hadis Nabi Muhammad saw dari Sahabat Jabir bin Abdullah. “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Dan kullu bid’atin dhalalah (setiap bidah adalah sesat).” (HR. Muslim)

Menurut mereka kalau hadis ini menegaskan semua bidah adalah sesat. Sebab redaksi hadis menggunakan kata “kullu” yang sifatnya general, sehingga bermakna menyeluruh (semuanya). Jadi, semua bidah itu sesat tanpa terkecuali.

Sebenarnya, makna kullu tak selalu bersifat general. Kadang, kullu bermakna menyeluruh, namun dalam artian menyeluruh yang sifatnya dibatasi atau terbatas.

Misalnya kata kullu dalam surah an-Naml ayat 23: “…kulli syai’in….”. Ayat ini menerangkan tentang kekuasaan dan kekayaan Ratu Saba’ yang digambarkan dalam Al-Qur’an dengan term “kulli syai’in”. Ayat ini berarti Ratu Saba’ dikaruniai segala sesuatu. Namun, pada kenyataannya ada banyak yang tak dimiliki oleh Ratu Saba’, bukan?

Sehingga kata kullu dalam an-Naml ayat 23 itu bukan bermakna menyeluruh yang sifatnya general tak terbatas, melainkan bermakna menyeluruh yang sifat jangkauanya dibatasi atau terbatas.

Jadi, kata kullu digunakan untuk menggambarkan kekuasaan dan kekayaan Ratu Saba’ yang amat besar, namun demikian kekuasaan dan kekayaan Ratu Saba’ juga terbatas.

Demikian juga kata kullu dalam hadis, “…wa kullu bid’atin dhalalah.” Oleh para ahli hadis dipandang sebagai kata kullu yang sifatnya terbatas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan ulama ahli hadis Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim: “Sabda Nabi saw, ‘Semua bidah adalah sesat.’ Ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud ‘semua bidah itu sesat’ adalah sebagian besar bidah itu sesat (bukan seluruhnya).”

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban, dari Sayyidah Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tak termasuk bagian darinya, maka sesuatu itu tertolak.”

Dalam satu riwayat lain, masih dari Aisyah, Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan, yang tak ada hukum kami di atasnya, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Dalam hal ini, KH Idrus Ramli mengomentari 2 hadis ini dalam bukunya Bid’ah Hasanah: Sebuah Pendekatan Baru, kalau makna hadis ini secara tekstual: “Orang yang mengada-adakan, atau memulai suatu amalan dalam agama, yang tidak termasuk bagian dari agama, maka amalan tersebut tertolak.” Secara kontekstual bermakna: “Orang yang mengada-adakan, atau memulai suatu amalan dalam agama, yang termasuk bagian dari agama, maka amalan tersebut tidak tertolak….”

Berdasarkan pandangan itu hadis ini menjelaskan kalau tak semua perkara baru atau bidah itu adalah sesat dan tertolak. Sehingga hadis ini juga menjadi hadis yang membatasi makna general dalam hadis “kullu bid’atin dhalalah (semua bidah adalah sesat).”

Imam Syafi’i membagi bidah menjadi 2 bagian: “Bidah itu ada 2 macam. Bid’ah mahmudah (bidah terpuji atau bid’ah hasanah) dan bid’ah madzmumah (bidah tercela atau bid’ah sayyi’ah/bid’ah dhalalah).

Pembagian bidah kemudian lebih dirinci oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam yang membagi bidah menjadi lima (5). Pembagian bidah menjadi 5 tak hanya oleh Imam Izzuddin, namun juga banyak ulama berpandangan demikian. Keterangan ini bisa dilihat dalam buku Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah yang disusun PWNU Jawa Timur.

5 macam pembagian bidah tersebut yakni, bid’ah wajibah (bidah yang wajib), bid’ah mandubah (bidah yang sunnah), bid’ah mubahah (bidah yang mubah), bid’ah makruhah (bidah yang makruh), dan bid’ah muharramah (bidah yang haram).

Dalam pembagian bidah ini bisa diketahui dengan jelas kalau tak semua bidah itu adalah sesat. Bahkan ada bidah yang justru wajib untuk dilakukan.

Bagaimana mengetahui suatu bidah itu masuk dalam kategori wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram?

Caranya yakni dengan membandingkan bidah pada kaidah-kaidah syariat. Misalnya, kalau bidah itu sesuai atau masuk kaedah wajib, maka masuk kategori bid’ah wajibah. Dan begitu seterusnya. Ini sejalan dengan hadis dari Aisyah r.ha yang telah dikutip di awal: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan, yang tak ada hukum kami di atasnya, maka amalan tersebut tertolak.”

Jadi, makna hadis secara kontekstual, suatu amalan yang diada-adakan (bidah) yang ada hukum agama atau merupakan bagian dari agama, berarti itu terterima. Dan cara melihatnya adalah dengan mencocokkannya pada kaidah-kaidah syariat, sehingga bisa diketahui bidah itu masuk dalam kategori wajib, sunnah, mubah, makruh, atau malah haram sebagai bidah yang tertolak.

Contoh bid’ah hasanah misalnya, bid’ah penghimpunan mushaf Al-Qur’an yang “diadakan” oleh Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, dan Zaid bin Tsabit ra. Dan juga pemberian tanda titik pada mushaf yang “diinisiasi” oleh tabi’in bernama Yahya bin Ya’mur.

Ini masuk dalam bidah yang wajib dilakukan, sebab termasuk dalam upaya menjaga bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang artinya sebagai upaya menjaga agama. Hal ini karena menjaga agama adalah wajib, maka kedua bidah itu termasuk bid’ah wajibah, atau dengan kata lain bid’ah hasanah.

Bid’ah muharramah misalnya bidah dalam ajaran Qadariyah, Jabariyah, dan paham lainnya yang merupakan paham yang diada-adakan dan jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.

Bid’ah mandubah misalnya salat tarawih berjamaah yang diinisiasi oleh Umar bin Khattab ra. Bahkan, Umar bin Khattab ra berkata terhadap bidah salat tarawih berjamaah kalau: “Sebaik-baik bidah adalah ini.”

Bid’ah mubahah misalnya makan makanan yang lezat, pakai pakaian mewah, dan lainnya. Yang di mana, kita ketahui dari riwayat, kalau Nabi saw orang yang dalam makan selalu sederhana dan berpakaian pun sederhana. Namun, kalau umatnya ingin makan makanan lezat selagi halal dan tak berlebihan, tentu dibolehkah.

Serta bid’ah makruhah misalnya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushaf Al-Qur’an. Atau, perkara-perkara baru lainnya yang bersifat makruh.

Dengan pemahaman bid’ah hasanah yang demikian, bisa dipahami kalau sesungguhnya tak semua bidah adalah sesat. Bahkan, justru ada bidah yang wajib untuk dilakukan semisal penghimpunan mushaf Al-Qur’an dan pemberian tanda titik pada mushaf Al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Leave a Response