Solidaritas dan kolaborasi lintas elemen masyarakat merupakan antibodi yang mampu membuat kita bertahan, bahkan keluar, dari krisis pandemi virus corona yang kini menyerang negeri tercinta.
Tak mungkin pemerintah, agamawan, sekelompok masyarakat, dokter, ilmuwan, organisasi profesi, bahkan pengusaha kaya raya sekalipun, mampu melawan corona sendirian tanpa bersinergi. Perlu koordinasi ringkas, tindakan strategis, dan kerja sama tulus dengan menyingkirkan segala kepentingan yang berpotensi mengganggu kesetiaan satu sama lain.
Ini penting diutarakan, sebab Covid-19 yang menyerang negeri ini benar-benar membuat kelimpungan. Gelombang kepanikan langsung menyergap ke saentero negeri. Efek lanjutannya ialah ketakutan, kecemasan, ketidakberdayaan, dan kematian yang terus mengintai kapan saja jika pasien terlambat ditangani.
Sebagai negeri yang dilewati cincin api, mestinya kita punya persiapan matang dalam menghadapi berbagai kemungkinan bencana yang datang. Mengutip Siddharth Chandra dari Michigan State University di jurnal Population Studies (2013), di nusantara ini pernah hinggap wabah flu Spanyol. Merenggut sekitar 4,26-4,37 juta jiwa pada 1920.
Fakta-fakta di atas seharusnya membuat kita lebih sigap menghadapi bencana yang bisa datang setiap saat. Boleh jadi, kita tak sigap lantaran kerap berpikir jangka pendek dalam mengelola negara. Seolah tak ada visi jangka panjang jauh ke depan.
Ironisnya, di tengah kegagapan yang menyeruak ke publik, pemerintah pusat dan daerah tak memiliki visi yang sama dalam mengambil kebijakan menyetop penyebaran virus ini. Ego pusat dan daerah meninggi. Koordinasi di lapangan macet. Birokrasi berjalan tak efisien, padahal mesti bergerak cepat. Semakin lama tak sinkron, jumlah korban yang terpapar dan meninggal pun makin banyak.
Akibat “kebuntuan” ini, beberapa kelompok masyarakat sipil langsung mengambil inisiatif. Mereka menggerakkan jaringan yang dimiliki untuk mengumpulkan bantuan sosial. Bantuan ini dikirim segera kepada kelompok-kelompok yang paling rentan terdampak virus mematikan ini. Ada yang membuat lelang—sebagaimana dilakukan K.H. Mustofa Bisri, Prof. Muhammad Quraish Shihab, Gus Ulil Abshar Abdalla, Ienas Tsuroiya, Inaya Wahid, dan tokoh publik lainnya. Ada pula yang membuka rekening donasi. Banyak juga yang membagikan makanan siap santap kepada mereka yang marjinal: langsung ke lokasi mereka berada.
Padahal, kita tahu dari pengalaman negara-negara lain yang berhasil mempersempit penyebaran virus di negeri-negeri mereka, solidaritas dan kerja sama merupakan faktor keberhasilan paling menentukan.
Bukan hanya pemerintah pusat dan daerah saja yang harus solider, masyarakat lintas elemen pun harus memperlihatkan sikap yang sama. Tanpa itu, berbagai upaya yang dilakukan akan sia-sia belaka.
Satu wujud solidaritas itu adalah kepatuhan warga menaati seruan pemerintah untuk menghindari keramaian. Di sini, kita nampak kewalahan. Kita masih berdebat soal apakah perlu mematuhi seruan menghindari keramaian, berhenti menggelar ibadah atau ritual berjamaah di masjid, gereja, pura, vihara, klenteng, serta diimbau membatalkan kehadiran ke majelis ilmu.
Sampai kini memang muncul perdebatan mengenai makhluk renik ini. Sebagian kalangan menganggapnya belum pas disebut sebagai wabah (thaʻun). Padahal, jika merujuk kepada penjelasan para ahli tentang bahaya Covid-19 yang gampang menular lewat interaksi di keramaian, mestinya imbauan tersebut bisa mudah diikuti.
Kepatuhan kita pada seruan para ahli medis, pemerintah (umara), dan ulama (pemuka agama) merupakan bentuk tanggung jawab moral dan sosial kita kepada yang lain. Tak bisa dibayangkan sekiranya ada seseorang memaksakan diri ke rumah ibadah yang dihadiri banyak jamaah lain, padahal dia terinfeksi virus. Berapa banyak jamaah yang berpotensi terpapar mahluk ganas ini setelah ibadah atau ritual dilaksanakan? Bukankah ini malah mencelakakan orang lain?
Jika demikian, boleh dibilang tindakan menyengajakan diri mendatangi keramaian, padahal dia terinfeksi penyakit mematikan, jelas dianggap sebagai kejahatan seperti halnya membunuh manusia.
Soal ini, kita bisa merujuk kepada firman Allah, “Siapa saja yang membunuh seorang manusia—kecuali yang dilakukan (sebagai hukuman) atas pembunuhan atau atas penebaran kerusakan di muka bumi—seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya; sedangkan, siapa saja yang menyelamatkan kehidupan (seorang manusia), seolah-olah dia telah menyelamatkan kehidupan manusia seluruhnya.” (Q.s, Al-Maidah [5]: 32).
Nurcholish Madjid (1939-2005) berpendapat, konteks ayat di atas memang berkisah tentang Bani Israil, tetapi karena ini merupakan hukum universal, maka dapat berlaku juga untuk semua umat manusia. Dari ayat di atas, kita dapat memahami pesan humanisme agama bahwa setiap pribadi memiliki nilai kemanusiaan universal, sehingga kejahatan kepada seseorang dinilai sebagai kejahatan kepada kemanusiaan universal. Karena itu, bertenggang rasa dan menghargai orang lain (agar tidak membahayakan yang lain) adalah mutlak harus dilakukan.
Perspektif inilah yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama, sebab egoisme hanya akan melahirkan manusia-manusia kerdil, perpecahan, sikap saling curiga, serta menghancurkan cita-cita bersama sebagai sesama anak bangsa. Inilah saatnya kita memperbesar empati kemanusiaan dan meluruhkan kepentingan diri demi bangsa tercinta.
Pandemi korona yang menyerbu dunia saat ini merupakan “tamu” yang datang untuk menguji empati dan solidaritas kita sekaligus mempertanyakan kembali tujuan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya: apakah pengembangan sains benar-benar dikerjakan untuk kemajuan umat manusia ataukah terselip hasrat untuk menguasai yang lain? Inilah pertanyaan filosofis yang masih jadi perdebatan penting hingga kini.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa kita tak mungkin melawan virus ganas dan mematikan ini dengan beramai-ramai menulis tagar. Kita harus menggalang solidaritas dan kerja sama lintas batas. Pandemi virus corona adalah ujian solidaritas kita sebagai sesama anak bangsa. Perbedaan pandangan politik harus dikebelakangkan, keselamatan jiwa dan kesehatan warga mesti di urutan terdepan.