Tentu masih membekas kuat dalam ingatan bagaimana MUI menyemprit program tayangan televisi di bulan puasa beberapa waktu lalu. Pasca itu, daripada repot meniup peluit atas tayangan-tayangan vulgar yang terus berulang, MUI berbelok arah kemudi. MUI ganti mengganjar stasiun tv yang menampilkan tayangan mengandung unsur Islami selama Ramadhan.
Peluit sekarang lebih di tangan KPI. MUI ganti mengapresiasi tayangan yang mengandung ajakan untuk mengisi puasa dengan ibadah dan menghayati Ramadhan sepenuhnya. Tidak pas mungkin redaksinya, tetapi anggaplah berdekatan dengan kriteria yang digunakan MUI. Penganugerahan itu beberapa kali disematkan usai lebaran.
Puasa dalam dinamika pemaknaan dan pelaksanaannya memang tidak terlepas dari gejolak sosial umat yang menjalaninya. Bagaimana umat memahami puasa, pemaknaan dan pelaksanaan terhadap puasa itu pun berbanding lurus. Bukan rahasia umum, puasa Ramadhan oleh sebagian pelakunya dimaknai pengekangan (imsak) hawa nafsu dari fajar hingga maghrib.
Ada pula yang memaknai pengekangan itu satu bulan penuh, karena berharap akan rahmat dan ampunan yang dijanjikan puasa. Untuk yang pertama, puasa berarti pengekangan selama masa edar siang matahari dan terlepas bebas setelah matahari terbenam. Agaknya, konstruksi pemahaman ini sedikit banyak dipengaruhi oleh halalnya rofats hubungan suami istri usai berbuka puasa (QS. Albaqoroh: 187).
Sejalan dengan ini pula ada yang kemudian berpandangan ekstrem secara budaya, menjalani puasa sekaligus mencari pahala sebanyak-banyaknya dengan cara menutup mata siang hari. Lalu berjaga sepanjang malam. Tahu apa yang dilakukan? Ya, melepaskan diri dari kekangan di waktu malam. Larinya ke arah hiburan dan suka cita.
Dalam Tafsir Jalalain terhadap ayat tersebut, memang menggauli istri, dan juga makan dan minum diperbolehkan dan itu menasyakh, menghapus larangan dilakukannya perbuatan tersebut pada awal Islam. Lalu terkesan bagi sebagian soim pelaku puasa, bebas lepas menikmati kelezatan duniawi. Tampaknya, peluang inilah yang ditangkap pengelola tayangan Ramadhan di stasiun tv swasta di Tanah Air yang dipermasalahkan MUI kala itu.
Dibarengi dengan model tanyangan live, on air, sampai pernah ditayangkan bagaimana pesohor bangun dari tidurnya, maka penonton disuguhi fragmen kehidupan bebas para pesohor yang waktu malam puasa dilalui dengan bercanda. Tidak jarang pula menghadirkan kabar berita yang dibumbui gosip, kuis dan tebak menebak berhadiah. Para pesohor dan aktor yang memerankan acara tv itu tampil dengan busana ala continental, casual dan jauh dari kesan Islami.
Dalam situasi hampir serupa, Hassan Al-Banna, pendiri Ikhawanul Muslimin di Mesir pernah mengkritik keras dalam ceramahnya terhadap fenomena malam Ramadhan yang sedemikian bebas hiburan di Mesir di tahun 1940. Al-Banna mengkritik sebagian masyarakat Mesir yang menjalani puasa sedemikian ketat di siang hari, termasuk tidur pulasnya, namun menghabiskan malam dengan bersenang-senang di bar (Walter Armbrust, 2006).
Enam puluh tahun kemudian, Armbrust masih menemukan hal yang sama di sebagian masyarakat Mesir. Dalam tayangan tv, muncullah Sonya, sosok kartun yang diperankan seorang perempuan yang menjadi master kuis, Fayza Hasan. Presenter cantik ini mengenakan busana ala Barat, sesuatu yang kontras dengan perempuan Mesir pada umumnya. Dalam kuis yang diselingi dengan tarian dan lagu itu, ditawarkan berbagai hadiah dengan sponsor dari perusahaan barang kimiawi, Nasr Company yang memproduksi insektisida, deterjen dan parfum murah.
Dalam kuis malam Bulan Ramadhan itu, yang jawabannya gampang ditebak seperti kuis-kuis televisi di sini, beragam hadiah ditawarkan mulai dari tiket haji dan umrah, tv warna, mesin cuci, kompor, sepeda, dan lain-lain produk dari sponsor. Program kuis tersebut dinamakan Fawazir Ramadhan (Tebak-tebakan Ramadhan).
Potret pemikiran kritis seperti ditunjukkan Al-Banna tentu tidak jauh dari masyarakat yang mengitarinya. Doktrin Islam tentang makna puasa digunakan untuk menegur fenomena konsumerisme dan hedonism puasa. Sempritan Al-Banna terhadap cara puasa sebagian orang Mesir itu sebenarnya akan menemukan relnya jika membuka catatan kehidupan Al-Banna jauh sebelumnya, tepatnya di tahun 1920an.
Di masa mudanya, Al-Banna diangkat menjadi guru Bahasa Arab di sebuah sekolah dasar di Kota Ismailia, kota yang maju pesat setelah dibukanya Terusan Suez. Tahun-tahun itu, kota itu dipenuhi para pedagang dan tentara dari Eropa, yang gaya hidupnya sangat mengganggu pemahaman Islam Al-Banna dan sejawatnya (Encyclopedia Britannica).
Jelas sekali fenomena puasa di kalangan sebagaian masyarakat Mesir itu tak ubahnya ternyata dengan potret puasa bagi sebagian masyarakat Indonesia. Puasa yang mengandung makna menahan diri itu, kemudian menjadi ajang konsumerisme dan hedonisme semu.
Apalagi masuknya media audio visual serta kapitalisme yang menopangnya, menjadikan Bulan Puasa sebagai ajang menangguk keuntungan dari paket hiburan yang dikemas sedemikian rupa. Iklan berbagai produk hilir mudik bergantian. Paket kuis yang juga sebenarnya iklan itu pun muncul, dan lebih sering ketimbang waktu di luar Ramadhan.
Sebuah potret ibadah puasa yang hedonis dan konsumeris yang dikritik oleh Hassan Al-Banna puluhan tahun silam di Mesir dan juga dikritik MUI beberapa waktu lalu di Indonesia. Syahdan, apalagi belakangan ini Youtube dan media sosial lainnya jauh lebih terbuka dalam membuka peluang memanjakan mata dan telinga orang yang berpuasa.
Oleh karenanya, tidak salah kalau umat terus diingatkan oleh alim ulama, para dai dan muballigh tentang makna dan hakikat puasa. Pesan pengekangan dan menahan diri itu pantas disuarakan terus kepada umat Islam. Di tengah pandemi Covid-19 ini apalagi.
Di saat social distancing, physical distancing maupun lockdown dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan, tentu himbauan dan ajakan puasa untuk menghindari foya-foya menjadi sangat relevan. Inilah berkah yang mengiringi datangnya puasa tahun ini. Sembari yakin bahwa musibah covid-19 ini akan berlalu dan semua dapat melaluinya, datangnya bulan penuh rahmat ini dapat memperkuat penghayatan akan makna puasa itu sendiri dan menjalaninya dengan sepenuh penghayatan.
Jadi, teguran Hassan Al-Banna pada sebagian orang Mesir dalam menjalani puasa, dan juga MUI terhadap stasiun tv swasta itu masih sangat relevan untuk direnungkan lagi di tengah berbarengannya musibah covid-19 dan buan puasa 1441 hijriah ini.